Letta menggerutu kesal, seluruh badannya pun terasa pegal. Pagi tadi adalah jadwal mata pelajaran olahraga. Entah pemanasan macam apa yang disuruh gurunya tadi, yang jelas sekrang Letta merasa lelah luar biasa.
Dari tadi pagi pun rasanya banyak sekali masalah, mulai dari guru yang menegur kelasnya kotor, sampai guru matematikanya menegur karena hampir sebagian anggota kelasnya tidak mengerjakan PR.
Alasan mereka tidak mengerjakan PR yang diberikan adalah karena setiap PR yang diberi tidak pernah diperiksa, entah mengapa hari ini lain hal. Mungkin gurunya hari ini sedang bersemangat memeriksa dan menghukum siapapun yang tidak mengerjakan PR.
Sampai saat ini pun ia belum pulang, Letta duduk di depan kelas sambil menunggu Ibram yang menata tugas dan mereka akan mengumpulkannya.
Ibram menyenggol Letta yang sedang memegangi kepala dengan mata tertutup, "napa lo, gagar otak?"
"Bentar pusing kepala gua."
Ibram menutup pintu dan semua jendela kelas, kemudian beranjak mengajak Letta menuju ruang guru, "ayo Let sebelum ruang guru ditutup."
Letta bangkit dengan ogah-ogahan. Beruntung kali ini Ibram tidak membebaninya dengan menyuruh membawa sebagian buku yang akan dikumpulkan.
Sampai pintu ruang guru langkah Ibram terhenti membuat Letta yang ada dibelakang nyaris menabrak tubuh gempalnya, "jangan berhenti mendadak napa!"
"Masih banyak guru Let, lu yang masuk ya," pinta Ibram. Memang masih ada beberapa guru yang belum beranjak dari tempatnya. Sepertinya mereka sedang sibuk memeriksa tugas anak didiknya, Letta ingin menolak tapi Ibram berujar lagi, "gue nggak pakek dasi, lo yaa.. pliss"
Tanpa persetujuan Letta, Ibram sudah melimpahkan buku-buku itu dan mendorong gadis itu masuk. Letta hanya pasrah, tidak pernah sekalipun Ibram tidak menyebalkan.
Setelah selesai dengan tugasnya, Letta keluar dari ruang guru dan mendapati Ibram tidak sendiri. Cowok itu sedang ngobrol dengan Vito dengan diselingi tawa. Tak heran jika mereka cukup akrab karena kelas sebelas tahun lalu keduanya berada dalam satu kelas yang sama.
"Udah dulu ya To gue balik dulu," Ibram yang berpamitan terlebih dahulu setelah melihat Letta yang mulai mendekat.
Vito mengangguk sekilas, kemudian ia menoleh pada Letta dan tersenyum, "buru-buru pulang nggak?"
Sebenarnya Letta ingin segera pulang karena tubuhnya yang lelah luar biasa. Ia ingin dengan segera berbaring di kasur kesayangannya, tapi mendengar pertanyaan Vito ia refleks menggelengkan kepala.
"Mau makan mie ayam dulu nggak?"
"Boleh," Letta menerima ajakan Vito, hal yang Letta suka dari Vito adalah senyuman cowok itu. Dulu sebelum mereka sedekat sekarang, Letta jarang mendapati Vito tersenyum manis seperti yang cowok itu lakukan saat sedang bersamanya.
Memakan mie ayam dengan minum es teh manis dan pemandangan ektrakulikuler paskibraka adalah hal yang menyenangkan. Mie ayamnya yang memang enak ditambah pula ditemani dengan orang yang kita suka adalah perpaduan yang pas.
Masih malu-malu dan hati yang ketar-ketir takut salah ucap atau tingkah itu yang dirasakan Vito dan Letta.
Keduanya belum memiliki keberanian lebih untuk saling mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
"Lo suka nggak?" Vito bertanya.
"Suka sama lo?"
"Ha? Bukan maksudnya mie nya."
"Oh," wajah Letta sudah sangat merah sekarang. Kenapa ia mengajukan pertanyaan seperti itu, dengan menahan malunya ia menjawab, "suka kok, mienya enak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arletta [END]
Teen Fiction• END • PART LENGKAP Baca aja dulu, kalau suka jangan lupa masukin library😉. Oh iya, vote & komennya jangan ketinggalan 🤭 Arletta, seorang gadis yang cukup berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Ia sangat terampil dalam bidang menyany...