Pukul empat sore dan Jimin bersiap pulang ke kos-kosannya. Mengabaikan bagian tengah celana yang menggembung penuh; meminta untuk dibebaskan. Ia merasa sangat marah tadi. Sudah berapa kali dilecehkan satu hari ini, tapi sebagai seorang Park Jimin, ia tetap bersabar.
Kau hanya harus menutup mata mu, merilekskan pikiran dan bernapas dengan tenang.
Tarik napas.. dan hembuskan. Lakukan lagi untuk yang ketiga kalinya dan kau akan tenang.
"Sialan!"
Oke, tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya Jimin melampiaskan kemarahannya kepada sebuah kaleng sarden bekas di depannya. Menendangnya kasar sampai membuat bunyi yang nyaring didengar.
Sebelumnya, ia ingin sekali menendang, memukul, mencabik dan melempar wajah si tampan Kim Taehyung ke dalam keranjang basket di lapangan kampus. Tapi tidak, mana mau wajahnya ditandai sebagai pelaku kriminal karena telah melukai pangeran bungsu 'Kim'. Ia sih, tidak.
Berjalan ke arah tikungan, Jimin mendengar suara game Apex Legends dimainkan. Salah satu permainan favorit Jimin. Jadi, dibanding memilih mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang mulai melemah, yang ia lakukan sekarang menjalankan kaki ke arah suara itu dan menemukan sebuah konter game kecil di ujung jalan.
Bangunan kecil, kira-kira 4 × 4 meter, berwarna abu gelap kusam. Tidak ada penutup seperti pintu di sana, karena yang ia lihat hanyalah ruangan terbuka dengan penjaga toko yang sedang duduk di depan komputer hitam. Mengetik di sebuah keyboard yang berada di bawahnya dan mengerut ketika yang didapat tidak sesuai dengan yang ia maksut kan.
Masuk setelah melepaskan sepatunya, Jimin mendapat tatapan penuh tanya dari semua yang ada di sana. Tapi ia mengabaikan dan membungkuk kecil untuk memberi hormat kepada mereka.
Dan ruangan yang ia kira hanya sebuah kubus kecil ini sangat lah panjang. Jikalau ruangan yang ia lihat sebelumnya hanya berisi komputer atau bisa dibilang warnet maka, setelah melewati pintu cokelat dengan tulisan 'games' Jimin disuguhkan dengan puluhan televisi full screen yang berjajar berhadapan di kanan kiri langkahnya.
Penempatan setiap PSP di sana benar-benar rapi. Kabel hitam yang menyambungkan antara PSP dan televisi tipis itu juga tertata tanpa berbelit; ringkas.
Ruangan ini juga dilengkapi peredam suara, air conditioner, kulkas yang berisi minuman, etalase snack, rokok, dan asbak. Tidak terlalu bising, karena hampir semua pemain PSP-nya memakai headphone di telinga mereka.
Tapi ada satu orang yang menarik perhatian Jimin, seorang remaja dengan hoodie hitam dan celana panjang jeans panjang yang duduk di pojok ruangan. Satu-satunya pemain yang tidak menggunakan headphone di telinganya, ia bermain dengan raut datar juga jemari tangan yang dengan lincah nya bergerak di setiap tombol PSP.
Melangkah ke arah remaja itu, Jimin mendudukkan bokongnya di lantai sebelah si pemuda. Memperhatikan karakter yang pemuda itu mainkan dengan ekspresi menggebu. Sesekali ikut meringis ketika karakter yang dinamai 'Justin. S.' tertembak ketika mengisi senjata bertipe Assault Riffles; R-301 Carbin.
Senjata tingkat A yang biasanya digunakan oleh pemula dan memiliki tingkat kerusakan lebih rendah, tapi tidak cukup untuk membunuh lawan karena jumlah peluru yang terdapat di sana hanya 18 untuk setiap magazine.
Jimin rasa remaja di samping kanannya ini akan mati sebentar lagi. Menoleh ke arah si pemain, Jimin merasakan sebuah tangan menggenggam jemarinya. Seolah meminta semangat dan Jimin balik meremas tangan lebar tadi.
Dan terkejut melihat layar dua belas inchi menampilkan tulisan besar 'you are the champion' di sana. Jimin sendiri masih melongo, tidak menyangka remaja yang memegang erat tangannya bisa memenangkan permainan ini.