Hanya Rindu oleh Siti Muanifah

115 14 4
                                    

Malam kelam, tanpa ada sapuan bintang yang tersebar. Benda-benda pengisi kekosongan langit itu seolah menghilang. Sinar cahaya bulan pun ikut meredup seolah merasakan sebuah kesendirian. Malam yang biasanya terang walau tanpa penerangan kini tergantikan oleh malam yang gelap, sunyi, juga mungkin suram. Hembusan nafas dunia bergerak pelan, dari utara ke selatan atau mungkin sebaliknya, dari kiri ke kanan atau mungkin sebaliknya, dari barat ke timur atau mungkin sebaliknya, dari atas ke bawah atau tidak!! Itu terlalu mustahil.

Makhluk makhluk berbadan hijau berlomba-lomba menghasilkan oksigen dunia. Dahan satu dengan yang lainnya saling bertubrukan. Pohon satu dengan yang lainnya saling bergoyang seirama searah dengan udara. Ah, jangan melupakan daun daun kering terpaksa terlepas dari rantingnya karena tiupan sang angin. Bahkan mereka tak memberontak meski harus terpisah dengan temannya, meski mereka harus merasakan sakit ditulangnya.

Dengan bantuan cahaya temaram dari sebuah lampu diujung jalan, nampak sosok makhluk yang tengah berjalan pelan. Rambut panjangnya terurai indah dan menjuntai kebawah, menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya terseok pelan bak manusia tanpa tenaga. Baju putih lengan panjang serta celana hitam selutut menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya. Menghalangi tubuhnya dari dinginnya udara malam yang menusuk menembus pori-porinya.

Kakinya ia biarkan telanjang. Menikmati betapa kasarnya tekstur jalanan. Malam ini benar benar tenang. Tak ada satupun suara binatang yang bersahutan, saling bernyanyi mengiringi satu sama lain. Sedari tadi sosok itu terus menunduk, menyembunyikan paras rahasianya. Entahlah, apa yang menarik dari aspal hitam pijakannya. Sedetik kemudian ia mendongak dan rupanya tak terlalu mengejutkan. Wajahnya begitu menakutkan. Bukan karena rusak dengan hiasan aliran darah. Wajahnya seperti mayat hidup, pucat pasi. Entah itu karena kedinginan, kelaparan, atau memang ia adalah jelmaan makhluk tak kasat mata yang berkelana didunia nyata.

Langkah demi langkah ia lewati dengan tenang. Matanya menyorot kedepan tanpa tujuan. Ia hanya mengikuti naluri hatinya ingin melangkah kemana. Bangunan bangunan indah nan tinggi tampak diujung sana, bersiap menyapanya. Lampu lampu disepanjang jalan membantu memberinya penerangan. Deru motor juga klakson menyambut pendengarannya. Ah, nampaknya ia telah berjalan begitu jauh. Bagaimana ia sampai disini tanpa berkendara?

Matanya mengedar tanpa berkedip. Seakan ia takut apa yang telah ia lihat akan lenyap seperti dia. Berbagai macam penjual begitu santai menunggu dagangannya, menunggu si pembeli tiba dan menawar harga barangnya. Dari ujung barat sampai ujung timur tanpa celah selalu terisi penjual. Mereka saling berebut menawarkan dagangannya. Batik khas kota sebelah menjadi ikon pakaian di pasar ini, bakpia isi kacang menjadi icon makanan dipasar ini, juga berbagai lukisan gantungan kunci kayu menjadi ikon assesoris pasar ini. Suara musik angklung ditiap gang, suara bising kendaraan, juga suara berisik para manusia begitu memekakkan telinga. Diujung sana, bus-bus besar terparkir rapi. Ada yang diam juga ada yang mengantri untuk melanjutkan perjalanannya.

Tepat 3 meter didepannya papan plang populer dijalan ini. Lihat, mereka saling berebut mengabadikan foto pribadinya dibawah papan plang itu. Saling berdesakan seolah tak ada hari esok. Kenangannya kembali terputar dikepalanya. Mata sendunya memperhatikan tempat itu. Mengabaikan berbagai macam lontaran kalimat pujian juga cacian untuknya. Memangnya dia bisa apa? Penampilannya saja mirip seorang gelandangan. Maniknya tak lagi menangkap orang-orang yang saling berebut menggunakan kameranya. Gadis itu hanya melihat seorang anak kecil perempuan yang tengah menahan langkah seorang wanita paruh baya. Anak itu berlari dengan cucuran air mata. Berusaha mengejar ibunya yang juga berlari menuju bus. Wanita itu tak mempedulikan anaknya yang tengah menangis meraung raung. Ia hanya memberikan selembar kertas bergambarkan seorang wanita cantik, dirinya sendiri. Wanita itu mengecup pelan kening sak anak, lantas berlari tanpa aba-aba. Ia meninggalkan anugerah terbesarnya, disini. Sendiri, tanpa ada yang menemani.

"Ibuuuuuuuu...." Anak itu berteriak lantas terjatuh bersimpuh diatas aspal, dibawah papan plang Jl. Malioboro

Gadis itu menunduk. Setetes air mata jatuh ke pipi tirusnya. Kedua telapak tangannya terkepal erat disisi tubuhnya. Dirinya tak pernah lagi bisa menatap wajah malaikat dunianya setelah perpisahan itu. Bukan perpisahan sementara semata, perpisahan yang menjadi awal titik kesendiriannya. Tempat ini menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan sang ibu, selamanya. Ibunya tersenyum begitu tulus kala itu. Lambaian tangannya terus terngiang dibenaknya. Bahkan kecupan hangat dikeningnya masih terasa hingga saat ini, detik ini.

Tangan mungilnya meraba keningnya. Tangan itu bergetar hebat. Bibirnya melengkung tipis meski air mata kembali menetes. Entahlah, ia begitu merasa sepi ditengah ramai. Ia merasa kehilangan sosok malaikatnya. Tak ada lagi seorang yang ia panut. Ayah? Bahkan, memandangpun ia belum pernah, sama sekali.

Helaan nafas terdengar begitu pelan. Satu persatu manusia pergi setelah mendapat objek bidikannya. Hanya tersisa sepi ditempat itu. Dulu, tak ada bangku disitu. Namun kini terpajang sebuah kursi panjang berwarna putih tepat dibawah papan plang. Kakinya ia seret menuju tempat itu. Tubuhnya terlalu ringkih jika terus berdiri dan berjalan tanpa henti. Punggungnya ia sandarkan pada punggung kursi. Tangan kanannya merogoh saku celana. Mengambil kertas usang yang menjadi satu-satunya benda peninggalan ibunya.

Dipegangnya foto itu dengan gemetar. Matanya tak lepas sedikitpun dari wajah sang ibu. Andaikan senyum itu masih ia lihat saat ini, andaikan tawa renyahnya selalu menghiasi harinya. Andaikan ibunya masih menemani harinya, ia takkah serapuh ini. Dirinya butuh pelukan ibunya, ia butuh kehangatan dalam dekapan sang ibu. Ia ingin menceritakan betapa kejamnya dunia. Ia ingin bercerita betapa sulitnya hidup tanpa dirinya, ia ingin mengeluh betapa hancurnya hidupnya setelah kepergiannya.

Tetes demi tetes cairan bening menerobos pertahanannya. Ia terisak pelan. Jemarinya terulur mengelus wajah ibunya bahkan ia berharap bisa mengelusnya, lagi. Air matanya mengalir deras tanpa ia cegah. Ia memeluk erat foto ibunya, berharap ia direngkuh ibunya.

Ia mendongak, menatap langit malam. Katanya Tuhan selalu ada, ia ingin bicara pada-Nya. Ia ingin meminta pada-Nya. Tolong pertemukan ia dengan ibunya, sekejapi saja. Meski dalam mimpi, tak apa. Matanya memandang rembulan yang binarnya redup persis sepertinya. Matanya seolah berbicara "Bulan, aku rindu ibu. Kau tak rindu dengan bintang?"

Gadis itu semakin mendongak berharap menemukan Tuhan-Nya. Ia ingin berkata "Tuhan, katanya rindu bisa diobati dengan bertemu. Apa benar? Tapi mengapa aku tak pernah bertemu ibuku? Tuhan, bisakah aku meminta kepada-Mu? Tolong.. sampaikan rinduku padanya, jagalah dirinya disana, jangan biarkan ia tersiksa, dan segera pertemukan aku dengannya. Aku menyayanginya, aku butuh dirinya."

Ia memejamkan matanya erat. Membiarkan wajah dan rambutnya basah dengan air mata. Membiarkan angin malam membelai wajahnya. Dadanya terasa sesak menahan rindunya pada sang ibu. Dirinya memukul dadanya, berharap rasa sesaknya hilang. Segala emosi berkumpul didadanya. Sungguh ia ingin bertemu. Ia ingin berteriak sekuat tenaga bahwa ia tengah menahan sesak karena rindu. Tapi pita suaranya terasa tak berfungsi. Hanya deraian air mata yang selalu menghiasi hidupnya kini. Ia selalu merasa tak berguna, ia merasa hidupnya sebuah kesalahan. Ia hanya gadis rapuh yang butuh direngkuh. Ia hanya rindu. Ya, Rea hanya rindu.



Tentang Penulis:

Nama : Siti Muanifah

Facebook : Siti Muanifah

Instagram : @m_anifah13

Akun WP : @faa_13

Alamat : Kab. Kediri, Jawa Timur

Lomba Menulis Cerpen 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang