"Khan gue mau bilang sesuatu."
Setelah terdiam cukup lama dan hanya duduk dengan menikmati secangkir kopi di kedai tepi pantai, akhirnya salah satu dari mereka membuka pembicaraan juga. Lawan bicaranya segera menoleh kala tadi perhatiannya terfokus pada senja di kaki langit.
"Kenapa?"
"Gue dapet beasiswa itu...."
Hati gadis di depannya, Khana, segera mencelos mendengarnya. Ia sudah menduga, sangat mustahil jika seorang Bani akan gagal mendapatkan beasiswa itu. Dia pintar, jenius, dan begitu berambisi. Sekolah mana yang akan menolak siswa sehebat itu.
"Wah selamat ya."
Walaupun mengucapkannya begitu sulit, Khana tetap mencoba tersenyum lebar. Tidak mungkin kan ia bersedih ketika mendengar bahwa sahabatnya sendiri berhasil.
"Tentu." Bani tersenyum menanggapi.
Khana berpikir, walaupun ia sudah tahu, bahwa Bani adalah seorang pria paling tidak peka di dunia. Ah, tidak usah jauh-jauh, di Indonesia saja, sepertinya, jika diadakan juga olimpiade orang paling tidak peka, Bani pasti jadi juaranya.
"Harus dirayain dong nih."
"Dirayain gimana?"
"Waktu Bani tinggal sebulan lagi kan?"
Bani mengangguk, membuat Khana segera berpikir cepat. Sejurus kemudian ia tersenyum dengan jari telunjuk diacungkan.
"Bani kan bakal ninggalin Khana," ucap Khana dengan berat hati, kemudian melanjutkan, "Bani mau nggak ngabulin satu permintaan Khana?"
Bani mengernyitkan keningnya, tanda bertanya. Tidak perlu mengeluarkan kata, Khana kan bukan Bani yang sering tidak peka. Jadi walaupun dari raut wajah saja, Khana sudah tahu lawan bicaranya sedang memikirkan apa. Oh, Khana bukan peramal. Ia hanya gadis yang suka mendalami sedikit tentang ilmu psikologi.
"Khana punya sebuah misi."
"Misi apaan?"
"Misi untuk membuat detik-detik terakhir kebersamaan kita lebih bermakna, misi tujuh hari, ya ya, cuman tujuh hari kok Ban."
Bukannya merasa senang halnya Khana, Bani malah seperti tengah menertawakan sesuatu. "Kekanakan banget," ucapnya sejurus kemudian. Khana merengut tak suka, bibirnya ia cebikkan. "Gue bukannya nggak bakal balik lagi. Kalau ada waktu gue bakal pulang kok ke Indonesia."
"Ih tetep aja lama, lagian cuman tujuh hari, cuman ada tujuh misi. Mau ya Ban," Khana tetep keukeuh pada maunya barusan. Akhirnya, Bani mengalah saja, toh memang tidak ada salahnya memenuhi keinginan gadis itu. Kebersamaan mereka setelah lima tahun dan akan berpisah beberapa Minggu lagi memang patut dirayakan. Ia mengangguk dan akhirnya mengiyakan saja. Membuat Khana segera semringah dan tersenyum senang.
-o00o-
"Baniiii..." Khana berteriak di samping jendela kamar Bani, berniat membangunkan pria itu. Memang terkadang tidak sopan. Tapi toh siapa yang akan menegurnya, orang tua Bani saja sedang berada di luar kota.
Di dalam sana, Bani sedang menggerutu, tidurnya jadi terganggu akibat teriakan membahananya Khana. Ia segera bangkit dari tempat tidur dengan langkah gontai menuju jendela, lalu membuka kasar tirainya. Sekarang, baru terpampang jelas, senyum semringah Khana yang tadi berniat menyambut pagi Bani dengan gembira. Menyembunyikan rasa sedihnya sebisa mungkin.
"Bukain pintu." Tanpa banyak kata lagi, Khana segera berlari menuju pintu depan setelah mengisyaratkan agar Bani membukakan pintu rumahnya yang terkunci.
Bani yang memang sudah terbiasa dengan sikap konyol Khana akhirnya menurut saja. Ia membiarkan Khana masuk ke dalam rumahnya. Kalau biasanya pagi-pagi begini Khana numpang minta gula untuk membuat kopi, kali ini Khana malah berbalik memberi. Bukannya membawa secangkir kopi, ia malah membawa rantang cukup besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lomba Menulis Cerpen 2020
NouvellesLomba ini dibuat sebagai sarana untuk mengasah kreativitas para penulis. Pembaca berperan sebagai juri. Vote akan dihitung berdasarkan jumlah like, comment dan view tiap judul cerpen. Jadi jangan lupa untuk mendukung karya favorite kamu, ya.. ^_^