chapter 35

9.2K 131 11
                                    

            Di sini aku berdiri. Menikmati sisa hidupku menjelang keabadian. Kelak aku sungguh bersyukur dengan semuanya. Telah di berikan kenangan manis dan berharga untuk tidak di lupakan. Mengingat setiap detil peristiwa yang telah terjadi padaku. Pada keluargaku. Dulu mungkin aku mengungkiri jika aku menolak untuk di jadikan yang terakhir karena menurutku pertama adalah yang utama dan terspesial. Mengingatkanku kembali pada sebuah kenyataan pada sebuah takdir yang ada melekat di diriku jika aku mendapatkan tempat terakhir untuk kehidupan seseorang.

Seseorang yang menyimpan cinta sejati menjadi lebih menghormati, mencintai dan menyayangi pasangan sepenuh hati. Dengan mencintai pasangan apa adanya dan sabar dengan kekurangan dia. Tidak berpaling dan tetap setia menjaga komitmen, meski saat itu ada yang orang lain yang mengalihkan perhatianku. Aku pun yakin bahwa sang kekasih merupakan pilihan tepat untuk mejadi pendamping hidup.

Aku menikmati untuk setiap detik, menit, dan jam.

Merasakan ke teguhan hati yang aku genggam.

Jalan yang dulunya gelap menjadi terang dengan kehadiran senyumannya.

Udara yang pengap menjadi lepas dengan hembusan sejuk dari sanubarinya.

 Dan hati, sungguh aku tak rela membagikannya dengan orang lain dengan kebahagiaan, kebanggaan, kesenangan yang aku dapati. Egois dan tak berperilaku. Karena aku sangat menyayangi Mas Aryo.

Ketika lengkap sudah kehadiran anakku yang pertama, hidup di antara kehidupanku dengan kehidupannya.

Merasakan kesempurnaan ketika aku bisa memiliki dua insan dan aku berjanji aku akan menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku.

Terima Kasih Ya Allah, Ya Robbi. Atas kehendak-Mu lah aku memiliki keluargaku yang juga menyayangiku, mencintaiku dan mengingatku.

Dan terima kasih, Engkau tlah mempercayakan semuanya padaku.

“Serius banget dek!”, aku hanya tersenyum melihat Mas Aryo masuk ke kamar dan bergegas menghampiriku di tempat tidur.

“Iya nih. Lagi curhat”, jawabku. Selidik, Mas Aryo mendekatkan diri ke arah tablet yang aku pegang dari tadi. Mungkin dia membacanya karena senyumannya teruikir begitu jelas. Sambil membelai rambut Mas Aryo yang ada di sampingku untuk membaca curhatanku, aku berkata, “Itu anugrah terbesarku Mas. Aku mau anugrah yang indah itu aku bagikan dengan orang lain”

            Selesai membaca Mas Aryo ikut merangkul pinggulku. “Bukan dua insan dek tapi lima insan”

“Iya aku tahu itu. tapikan nggak juga Utic kasih tahu mereka dua insan. Biar di kira nggak kebanyakan mas”. Mas Aryo mengulum senyum.

“Emang kenapa kalau kebanyakan. Banyak anakkan banyak rejeki”, sanggahnya.

“Cukup aku dan Mas Aryo yang tahu arti 5 insan itu siapa”, seperti terkait oleh medan magnet yang cukup kuat, aku menyenderkan kepalaku pada pundhak kiri Mas Aryo.

“Sepi yah mas. Biasanya berisik kayak di pasar”, kataku lemah. Seperti tidak ada tenaga untuk menjelaskan betapa aku merindukan anak-anakku.

“Kan baru sehari di tinggal. Lagian kita berdua juga butuh waktu bersama, ya nggak?”. Aku mengangguk iya. Tinggal berdua seperti ini dengan Mas Aryo tanpa ada seorangpun yang mengganggu mengingatkanku pada masa-masa pertama pernikahan kami.

            Aku tersenyum sendiri membayangkan ketika aku dan Mas Aryo masih baru untuk mengenal satu sama lain. Mungkin karena hubungan kami yang dulu belum pernah dekat dalam arti pacaran dan lansung menikah dengan jarak waktu dua bulan untuk persiapan. Malu dan sungkan setiap kali ingin memulai suatu kegiatan apapun. Ketika hendak ngobrolpun harus duduk dengan sopan agar merasa rileks. Sungguh itu benar-benar mutlak dasar cinta mengapa aku lebih memilih cara ini. Cinta yang tumbuh di atas saling ingin mengetahui ketika halal menjadi saksi.

MarryTic : Love is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang