Rendiana

16 1 0
                                    

"Ren," panggil Diana.

"Apa?" tanya Rendi.

"Ini jelek nggak sih? Warnanya norak gak? Di gue cocok nggak?" tanya Diana bertubi-tubi, membuat Rendi menghela napasnya.

Baginya, hal seperti ini sudah seperti camilan sehari-hari. Diana selalu bersikap berlebihan jika berhubungan dengan kencan.

"Diana, kalau nanya tuh satu-satu, gue bingung harus jawab yang mana dulu," ujar Rendi.

"Ya udah sih, tinggal jawab aja," balasnya seraya memilih beberapa pakaian.

Rendi mengembuskan napasnya perlahan, "Cantik. Lo, pakai apa aja cantik."

Bukannya senang, Diana malah mengerucutkan bibirnya, "Iya, tapi yang mana?"

"Semuanya cocok, Diana," balas Rendi seraya mengacak-acak rambut Diana membuat empunya kesal namun justru terlihat menggemaskan.

Gadis itu sudah memutari mal ini lebih dari empat jam, dan Rendi begitu sabar menemaninya berbelanja untuk membuat gadis itu terlihat cantik di depan calon pacarnya.

Ya, Rendi dan Diana adalah sahabat, mereka bersahabat sejak duduk di bangku sekolah. Banyak yang bilang mereka pasangan yang cocok jika berpacaran, tapi entah kenapa mereka tidak pernah mau mencoba.
Diana adalah wanita dengan sejuta pria sedangkan Rendi masih betah dengan kesendiriannya. Sangat bertolak belakang.

"Ren," panggil Diana seraya memesan makanan. Mereka telah selesai memilih pakaian dan sekarang berakhir di sebuah cafe dekat mall untuk mengisi perut yang sudah berdemo sedari tadi.

"Hm," balas Rendi masih sibuk dengan ponselnya.

"Gue udah nggak sabar buat nanti malam," ujar Diana tersenyum miring.

Rendi menghentikan aktivitasnya lalu menatap lekat gadis di depannya, "Mau sampai kapan, Ana?"

Rendi tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, dia tidak pernah puas untuk mematahkan hati laki-laki. Entah sudah berapa banyak laki-laki yang sudah ia patahkan hatinya dengan cara yanng halus namun tetap tidak mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan.

"Sampai ... nggak tau," jawab Diana dengan santainya.

"Kasian anak orang, lo patahin terus hatinya. Gue mohon hentikan. Gue pengen lo bahagia," balas Rendi.

"Lo sendiri? Kenapa betah banget sama ke jombloan lo itu?" tanya Diana penasaran.

Bagaimana tidak, sejak mereka bersahabat tidak satu pun gadis yang Rendi kenalkan padanya, berbanding terbalik dengannya yang selalu mengenalkan mangsanya pada pria itu. Kadang Diana berpikiran kalau Rendi itu tidak suka wanita. Haha ... Maaf ini ngaco.

"Ya, karena gue gak suka sama mereka," jawab Rendi seraya menyeruput es jeruk pesanannya yang baru saja sampai.

Diana memutar bola matanya malas, sudah sering sekali ia bertanya soal ini dan Rendi selalu menjawab hal yang sama. Membuatnya jadi geregetan sendiri.

"Lo suka cewek nggak sih, Ren?" tanya Diana mulai ngaco.

Rendi mengerutkan alisnya, "Ya suka lah. Gue masih normal kali."

"Ya udah, pacaran," pinta Diana, "gue juga pengen liat lo bahagia, Ren."
Rendi diam sejenak lalu mengeluarkan kalimat yang membuat gadis itu langsung diam tak berkutik.

"Ya udah, ayo pacaran."

Diana sampai dibuat cengo dengan perkataan yang baru saja keluar dari pria itu. Lalu tak selang berapa lama tawanya pecah membuat pria itu harus menarik bibirnya paksa.

"Haha ... boleh juga becandaan lo kali ini, Ren."

Gue serius, Diana. Cewek yang gue suka tuh, lo. Tanpa disadari gadis itu telah mematahkan hatinya. Lagi, lagi dan lagi.

Diana selalu menganggap ucapan Rendi candaan, gadis itu hanya menganggapnya sebatas sahabat, tidak lebih.

Rendi memejamkan matanya kuat saat tiba-tiba rasa sakit mulai menyerang kepalanya. Denyutannya semakin menyiksa, namun Rendi berusaha tetap terlihat baik-baik saja di depan Diana.

"Ana, gue ke toilet dulu ya," izinnya langsung pergi tanpa menunggu jawaban Diana.

Rendi menyalakan air kran dan badannya langsung merosot ke bawah begitu saja. Denyutannya semakin lama semakin menyiksanya, darah segar terus menetes dari hidung mancungnya. Sudah setengah tahun ia terus merasakan siksaan ini.
Ia terus membenturkan kepalanya pada tembok sesekali menarik rambutnya kuat.

Melakukan apa saja untuk menghilangkan rasa sakitnya. Setelah mimisannya berhenti, Rendi membasuh wajah pucatnya yang terlihat jelas dipantulan cermin.

"Ana nggak boleh sampai curiga." Gumamnya.

Rendi berjalan gontai menghampiri Diana yang sudah menunggunya, lalu dia tersenyum tipis membuat Diana sedikit curiga. Entah kenapa sejak Rendi pamit tadi, perasaannya menjadi tidak enak.

"Ren, lo sakit? Muka lo pucet loh," kata Diana menempelkan punggung tangannya di dahi Rendi.

Rendi memejamkan mata saat tangan Diana menyentuh keningnya, "gak apa-apapa. Udah selesai?"

Diana hanya mengangguk meski raut wajahnya masih terlihat khawatir.

"Ya udah, yuk!" ajak Rendi, ia harus segera mengantarkan gadis itu pulang sebelum dia semakin curiga.

"Ren, kita ke rumah sakit ya," bujuk Diana. Gadis itu masih khawatir dengan kondisi sahabatnya, apalagi wajah Rendi terlihat sangat pucat.

Rendi tersenyum tipis, "Ngapain? Gue gak apa-apa, Ana. Gak usah lebay gitu."

"Buat memastikan aja, Ren."
Decitt! Rendi menghentikan mobilnya dan menggerang keras seraya menjambak rambutnya. Membuat Diana panik setengah mati.

"Ren, lo kenapa?" tanya Diana disela isakannya.

Rendi semakin menggerang kesakitan, bahkan air matanya sampai keluar dari pelupuk matanya. Diana semakin panik, bingung harus berbuat apa. Terlebih setelah itu Rendi tidak sadarkan diri.

Dengan bantuan beberapa orang yang lewat, Rendi langsung dipindahkan ke jok tempat Diana tadi duduk, sementara Diana menggantikan posisi Rendi untuk menyetir dan membawanya ke rumah sakit.

Setelah sampai, Rendi langsung dibawa ke ruangan ICU untuk mendapatkan penanganan segera.

Tidak lama kemudian dokter keluar, Diana langsung menghampirinya untuk menanyakan keadaan sahabatnya itu.

Diana begitu syok ketika mendengar penuturan dokter, bahwa Rendi menderita kanker otak dan sudah memasuki stadium akhir. Diana merutuki dirinya sendiri karena merasa menjadi sahabat yang bodoh, tidak tau penderitaan sahabatnya selama ini.

"Boleh saya bertemu dengannya, Dok?" tanya Diana.

Dokter Fajar mengangguk seraya pamit untuk memeriksa pasien lain.
Diana berjalan mendekati Rendi yang masih terbaring di tempat tidur, pria itu tersenyum kearahnya.

"Ana," panggil Rendi, suaranya begitu parau. Seketika air mata Diana tumpah begitu saja.

"Jangan nangis. Lo jelek kalau nangis," ujar Rendi.

"Lo jahat, Ren. Kenapa lo sembunyikan ini dari gue? Lo jahat!" pekik Diana.

Wajah Rendi berubah sendu, hatinya sakit melihat gadis yang ia cintai menangis pilu seperti ini.

"Sorry." Balas Rendi semakin parau.

Deg! Rasa sakit itu mulai datang kembali, Randi kembali menggerang seraya menjambak rambutnya kuat-kuat.

Diana semakin panik dan berniat memanggilkan dokter sebelum tangannya ditahan oleh tangan lemah Rendi. Diana menoleh dan mendapati Rendi sedang menatapnya sendu seraya menggelengkan kepalanya pelan.

"Bantu gue talqin," racaunya.

Diana menggeleng kuat-kuat, air matanya turun semakin deras mendengar permintaan aneh dari sahabatnya itu.

"Gue udah gak kuat." Napas Diana seakan tercekik mendengar permintaan Rendi yang mungkin adalah permintaan terakhirnya.

Lalu dengan berat hati ia mengangguk meski air matanya tidak pernah bisa berhenti.

"Laa ilaaha illallaah," Diana mengucapkannya tepat disamping telinganya.

"Laa--i--ilaaha--" napas Rendi mulai tersenggal. Diana terus mencoba membantunya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Pria itu sedang mengalami sakaratul maut.

"Laa ilaaha illallaah."

"Laa i--laaha illal--laah."

Tuuutt!

Suara begitu nyaring dengan menampilkan garis lurus panjang itu seperti menarik paksa kekuatan Diana sepenuhnya, membuat gadis itu langsung lemah tak berdaya seraya melihat Rendi yang sudah memejamkan matanya.

Dengan kekuatan yang tersisa, Diana mengguncang-guncang tubuh Rendi yang tidak bergerak. Kini, tidak akan ada lagi laki-laki yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya, tidak akan ada lagi senyum yang dapat membuat hatinya damai. Sahabatnya telah pergi untuk selamanya. Rendi pergi membawa cintanya yang tak pernah terbalaskan.


***

Cerpen karya: Seni Oktaviani
Asal kota: Tasikmalaya
Akun Wattpad: Seni_okt
Akun Instagram: senioktaviani22

Kumpulan Cerpen GPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang