Teman SMP

11 1 0
                                    

Satu hari menjelang lebaran, sebuah pesan masuk ke akun telegramku, sebuah akun yang belum genap berumur satu minggu. “Intan?” begitu bunyi pesan singkat tersebut memanggil namaku.

Pemilik akun tersebut adalah teman masa SMPku yang kutahu sejak lama menyimpan perasaan kepadaku.

Setelah berbasa-basi sebentar, dia kembali bertanya perihal akun WhatsAppku yang lama tak bisa dihubunginya.

Aku berkata jujur bahwasanya ia telah aku blokir dari daftar kontakku sejak 2 tahun lalu.

Ia mendesakku untuk mengatakan alasanku. Lalu kukatakan dengan jujur bahwasanya alasanku memblokir dia adalah karena suruhan dari mantan pacarku dulu. Aku nggak nyangka kalau dia bakal kaget banget.

Karena selama ini, kutahu dia pernah pacaran bahkan lebih dari sekali. Dia mengatakan bahwa ia sampai gemeteran sangking kagetnya.

Dia mengira aku benar-benar seorang perempuan yang tidak pernah mau berdekatan dengan laki-laki. Di akhir chat, dia mengatakan tetap mengagumiku dan membanggakanku di depan teman-temannya.

Aku semakin merasa sedih dibuatnya. Sekian tahun aku mencoba merasa biasa saja kepadanya tetapi ternyata perasaannya kepadaku tetap saja.

Aku sampai berpikir, mengapa dunia suka membingungkan manusianya? Di saat kita teramat mencintai seseorang, justru kita dilukai. Sementara, ketika kita tidak memiliki perasaan apapun terhadap seseorang, justru seseorang tersebut memiliki perasaan mendalam kepada kita.

Apakah memang perihal perasaan sebercanda itu?

***


11 tahun lalu, kami dipertemukan. Di kelas yang sama, VIII B. Kala itu ia sering menjahiliku.

Hingga salah satu teman kami menggodanya.
“Kalau suka bilang aja, Ran.”

Saat itu aku tidak begitu peduli dengan situasi di antara kami. Karena saat itu usia kami terlampau muda dan aku masih merasa anak-anak yang tidak ada urusannya dengan percintaan.

Saat lulus SMP, kami berpisah sekolah. Aku ke SMA, dia ke SMK. Tetapi, ternyata dia pindah rumah tepat di depan SMAku. Jadi meski beda sekolah, kami masih sering berpapasan saat berangkat sekolah.

Selain itu, kami juga sering SMS-an. Saat masih sekolah aku memang sangat hobi SMS-an, dengan siapapun tanpa melibatkan perasaan apapun.

Tetapi, ternyata itu tidak berlaku bagi Rano, ia justru semakin merasa dekat denganku oleh karena setiap hari chattingan denganku.

Awalnya aku kira dengan aku masih menanggapinya, aku bisa membuatnya bahagia.

Tetapi ternyata itu justru semakin menyiksanya sekaligus menyiksaku.

Aku dirundung perasaan bersalah karena aku murni menganggapnya teman sementara dia menganggapku lebih.

Karena perasaan bersalah yang semakin menjadi, aku memutuskan menjauhinya.

Aku dibuat bingung dengan keputusanku ini. Sifat tidak tegaku berkata jangan, tetapi setengah pikiranku berkata demi kebaikannya.

***


Satu tahun kemudian, aku tidak berkomunikasi dengannya. Tetapi aku rutin stalk akun Facebook-nya. Aku semakin merasa bersalah karena semua statusnya bernada galau.

Di sisi lain aku menegaskan kepada diriku agar jangan geer. Apalagi setelah mendengar beberapa cerita dari orang-orang tentang kepedihan dari hati yang beralih rasa tiba-tiba.

Tetapi semakin aku meyakinkan diri bahwa status-status tersebut bukan untukku, malah justru semakin banyak petunjuk yang menunjukkan bahwa status-status tersebut untukku.

Hal tersebut tak hanya aku yang merasakan, melainkan juga temanku.

Teman yang bahkan tidak pernah sekalipun kuceritakan kepadanya tentang Rano.

Karena semakin risih dengan perasaan bersalahku, akhirnya kuputuskan menghubunginya lagi.

Namun, kutegaskan kepadanya bahwa aku ingin berteman dengannya lagi.

Dia menerima dengan berat, begitulah kira-kira yang aku tangkap dari butir kata yang ia ketikkan. Selama ini kami memang hanya dekat dalam ruang media. Bertatap mata hanya sesekali saja.

***


Belum lama kami berkomunikasi, sakit hatinya harus ditambah lagi dikarenakan aku harus memblokirya atas permintaan pacarku saat itu.

Dia bersikeras menanyakan perihal hilangnya akun WhatsAppku.

Kujawab sekenanya bahwa aku tidak lagi menggunakan aplikasi WhatsApp. Aku terpaksa berbohong dikarenakan aku tidak ingin menyakitinya dengan berkata bahwa aku telah memiliki pasangan dan pemblokiran ini juga atas permintaan pasanganku.

Sepengecut ini aku. Akhirnya perlahan dia menerima. Semakin hari kudapati dia semakin kuat. Entah demikian adanya atau sedang berusaha kuat.

Yang kutahu, tidak lagi kutemui status-status galaunya di facebook. Meski tidak kuketahui pasti bagaimana keadaan hatinya, mengetahui halaman akun facebooknya bersih dari kata-kata down, sudah merupakan suatu kelegaan bagiku.

Aku merasa bisa bernafas lega. Sampai berbulan-bulan lamanya, tetap tak kudapati ia bersedih di media sosial.

Kukira inilah waktunya ia bangkit dan melupakanku. Aku merasa semakin lega.

***


Dua tahun berlalu, setelah aku mengalami gelombang naik turun menjalani hubungan dengan pasanganku hingga kami resmi berpisah, aku kira hubunganku dengan Rano bisa seperti hubunganku dengan teman-teman lelakiku yang lain, biasa saja tanpa ada kerumitan perasaan.

Tetapi ternyata dugaanku salah. Ia masih orang yang sama dengan perasaan yang sama. Begitu yang ia katakan.

Meski selama ini ia telah menjalani hubungan dengan beberapa perempuan tetapi nyatanya ia tetap memiliki perasaan untukku.

Kepadaku ia mengatakan.

“Aku senang bisa mendengar kabar kamu lagi walau aku sampai benar-benar kaget mengetahuimu pacaran. Maaf kalau aku dulu pernah membuatmu kesal  atau sifat jelek apapun. Tetapi, sampai kapanpun kamu tetap teman perempuan terbaikku dan kamu akan tetap jadi kebangganku di depan teman-temanku. Semoga kamu didekatkan dengan jodoh terbaik.”

Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Selama ini, baik dari pengalamanku sendiri maupun dari cerita teman-teman, kami selalu mendapat cerita buruk tentang hati yang terlukai oleh lelaki.

Sampai-sampai, aku berpikir sulit mempercayai lagi manusia bernama laki-laki. Bahkan ada trauma tersendiri oleh pengalamanku yang meski baru sekali aku menjatuhkan hati.

Tetapi, oleh sosok Rano, aku dibuat bingung, setengah percaya setengah heran, masih ada sosok laki-laki yang bertahan dengan perasaannya meski tak pernah sekalipun terbalas.

Aku pernah begitu berusaha meyakinkan diriku untuk berusaha mencintai seseorang yang amat menyayangiku.

Tetapi semua gagal. Aku tetap dalam kebodohan hatiku memperjuangkan cinta seseorang yang ternyata justru mengkhinati perasaan dalamku.

Semakin aku berusaha membalas perasaan Rano, semakin aku merasa tidak pantas menerima cinta dari seseorang yang hatinya tulus.

Sedangkan di waktu yang sama, aku tetap dalam perasaan yang sama dengan orang yang telah meninggalkanku demi raga yang lain.

Di waktu yang sama, aku tetap menyimpan nama Rano sebagai seorang teman baik, tidak pernah lebih.

Apakah perihal cinta kadang sepelik itu?

Usia kami semakin bertambah, perasaan bersalahku jua. Kukira, setelah kuputuskan menjauh berkali-kali, dan kuungkapkan secara jujur tentang banyak sekali kekuranganku, Rano bisa melihat banyak perempuan yang jauh lebih baik, tetapi 11 tahun berlalu perasaan tetap untukku.

Dengan aku yang tak mampu berbuat banyak, aku hanya bisa mengirimkannya banyak doa, agar segera dipertemukan dengan tangan yang akan digenggamnya. Bukan tanganku yang sampai sekarang masih tetap menepuknya.

***

Cerpen karya: Hawin Nurhayati
Asal kota: Sarolangun
Akun instagram: @/hawin.n

Kumpulan Cerpen GPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang