Rinai Senja

14 1 0
                                    

Tatkala cuaca dingin itu berubah menjadi sebuah gemuruh, dada terasa memanas, dan tangan yang mulai mengepal.

Dilihatnya lelaki pujaannya menerima sebuah bingkisan dari seseorang  yang tidak dikenalinya, air mata tak tahan untuk dibendung dan dibiarkannya keluar begitu saja.

Jika memang kamu memilih dia, aku bisa apa. Semesta juga akan berpihak padamu jika memang kamu mencintainya.

Perempuan yang memakai celana jeans dan sweaternya itu masih memandangi dua orang yang semakin asik dalam perbincangan, perasaannya sekarang buyar dan ia tenggelam dalam pikiran negatif yang sering melandanya.

Dalam keheningan malam ia terpaku diatas ranjang sembari menuliskan curhatan hati yang tertuang dalam bait kata, ditemani bunyi hewan yang bersahutan.

Ia rebahkan tubuh mungilnya, sesekali melihat awan-awan rumah yang mulai keropos digigiti rayap nakal, masih teringat kejadian siang tadi yang membuatnya bingung dan bertanya-tanya.

“Siapa perempuan itu? Dan bingkisan apa yang diterima oleh Senja?”

Sayup-sayup matanya mulai terpejam dan ia tenggelam dalam mimpi bersama kekecewan yang masih melandanya.

“Rinai! Elo denger gue ngomong nggak sih? Gue perhatiin lo ada masalah, cerita dong Nai masa sama sahabat sendiri elo sembunyin,” teriak Resya dengan nada sebal.

“Iya Sya, maaf gue khilaf makannya nggak dengerin elo,” jawab Rinai dengan nada santai agar Resya tidak tahu masalah yang dialaminya, karena baginya masalah percintaan tidak perlu diceritakan.

“Khilaf apaan kayak gitu Nai, ya udah lah gue ke kamar mandi bentar,” ucap Syafa dengan tubuh yang diangkat untuk menuju kamar mandi, dilihatnya bahu Resya yang pelahan-lahan mulai menghilang, Rinai masih termanggu dalam dunia khayalnya, ya benar, Rinai memang merasakan jika dia memiliki dua dunia dalam satu tubuh, dunia manusia dan dunia khayalan.

Fajar mulai hilang ditelan lautan , perempuan itu duduk menunggu kehadiran seseorang yang menjadi cerita hidupnya, sepeda motor berhenti didepannya, dilihatnya lelaki sang pemilik motor itu, wajahnya terlihat lelah.

“Kemarin kamu kemana?” tanya Rinai dengan penuh hati-hati.

”Aku kemarin main lah ke rumah temen, dekat kampus,” jawab lelaki itu dengan santai,

Suasana malam itu seperti halnya kehidupan tanpa manusia, hening.

***


“Aku tau kok kalo kamu kemarin ketemu sama seseorang di taman, kamu selingkuh? Kamu udah bosen sama aku?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut kekasihnya, Lelaki itu membisu.

”Jawab Nja aku nggak butuh diem kamu, kalo memang pertanyaan aku itu semua bener, jawab!” ucap Rinai dengan nada semakin tinggi.

“Nai, aku bisa jelasin semuanya kok, tapi nanti” Senja tak tahu harus berkata apa di depan kekasihnya itu karena ia tahu bahwa pikiran negatif yang dimiliki Rinai jauh lebih berkuasa.

“Percaya Nai sama aku, jangan salah paham sebelum kamu tau yang sebenernya, aku sayang Nai sama kamu, kamu percaya kan? Kita udah 2 tahun pacaran tapi kenapa kamu ngga pernah percaya sama aku sih, aku tau cinta memang harus saling mengerti, tapi tolong jangan selalu aku yang buat ngertiin kamu,” jawab Senja sambil memegang tangan Rinai.

“Aku benci Nja sama kamu.” Kata-kata terakhir sebelum kekasihnya memasuki rumah nya membuatnya tertohok.


***


Sakit, perih, bingung, beradu menjadi satu sampai pecahan tangisan itu meledak, ingin rasanya ia membuat sebuah keputusan yang tidak diinginkan oleh setiap manusia dalam suatu hubungan.

Dalam kesedihannya ia kembali menulis kata demi kata diatas kertas putih, perasaanya hancur, hanya coretan itu yang bisa mengubur perih yang dirasakannya, puisi.

Alarm berbunyi disaat ayam mulai berkokok, membuat mata yang terpejam sekejap terbuka, Rinai membuka handphone yang tergeletak disampingnya.

Senja: Aku tunggu di depan rumahmu nanti sore.

Rinai terkejut ketika membaca sebuah pesan yang membuatnya bingung.

“Kenapa senja tiba-tiba mendadak mengajakku jalan? Mau kemana? Jangan bilang dia akan memberitahu siapa perempuan itu?” Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi otak Rinai, ia tak mengubris pertanyaan itu, ia lalu bergegas menuju kamar mandi dan pergi ke pasar bersama ibunya.

Sore itu Rinai mengunakan dress pink kesukaannya dengan rambut panjang yang terurai, motor butut itu berjalan menyusuri udara sore yang dapat dinikmati oleh siapapun, dua anak manusia yang terikat hubungan itu hanya diam disepanjang perjalanan,

“Kita mau kemana sih Nja?” tanya Reina yang masih berpegangan di jaket Senja.

“Ikut aja,” Jawaban singkat Senja membuat Rinai berdecak.

Motor butut itu berhenti disebuah taman yang belum pernah Rinai kunjungi, tangan Senja meraih tangan perempuan yang sembari tadi berusaha menyembunyikan.

“Maaf atas selama ini jika aku berbuat salah,”

Rinai merasa aneh dengan bahasa Senja yang lumayan baku tidak seperti biasanya tetapi menurutnya terasa lebih romantis.

“Aku sayang kamu Nai,” ucap Senja lagi, Rinai merasakan pipinya yang mulai memerah dan jantungnya berdebar.

“I-iya aku maafin kamu Nja, maaf juga kalo aku lebih mentingin rasa negatif aku, karena aku nggak bisa nyegah,” jawab Rinai dengan nada gugup, Senja memeluk Rinai, jantung Rinai semakin berdebar.

Tak seperti biasanya kamu seperti ini Nja. Ada apa? batin Rinai.

Senyuman itu mengembang di wajah Rinai, sambil melihat keindahan senja bersama senja, dari ketinggian diatas bianglala yang berputar terlihat jelas warna jingga berkah keagungan tuhan tiada tara.

Tangan Rinai kini memegang sebuah Awan-awan pink yang bisa disebut arum manis, makanan kesukaannya ketika ia masih berada di pangkuan almarhumah ayah tercintanya, malam ini menjadi malam berharga bagi Rinai.

Dada Rinai semakin berdebar ketika Senja menyuruh Rinai menutup matanya, rasa ingin tahu mulai menyelimuti raga Rinai.

Perlahan terasa sebuah tangan mulai melepas tali penutup mata, Rinai membisu, dilihatnya beberapa lilin merah berbentuk love dengan balon-balon yang terpasang anggun di bagian sudut tiang lapangan, Senja menatap Rinai dengan ambigu, tangan Senja berada di depan wajah cantik Rinai dengan bunga mawar kesukaannya.

“Ini buat kamu,” ucap Senja.

Diraihnya bunga Cantik itu, wajah Raina berseri-seri.
“Kok kamu tumben amat sih Nja, aku hari ini nggak ulang tahun loh.”

“Ini malam perpisahan kita Nai,” ucap Senja.

“Aku tahu, kamu sayang sama aku, tapi setelah aku amati, pikiran negatifmu terus saja berkutat padaku, aku capek Nai, aku tahu yang harus aku lakuin memang mempertahankan hubungan ini, tapi untuk apa itu semua jika yang berjuang hanya aku, cinta nggak seegois itu Nai, cinta selalu memahami, mengasihi, tapi apa pernah aku ngerasain itu saat aku ada di sisi kamu Nai? Maaf kalo aku ngambil keputusan ini, aku sayang kamu Nai, Cuma kita nggak bisa bersatu.”

Dada Rinai sesak, dirasakannya beribu pisau menusuk ulu hati, perkataan Senja membuatnya tiba tiba semakin rapuh, lelaki itu pergi, semakin jauh hingga batang hidungnya tak terlihat, Rinai menangis sejadi- jadinya.

Jika memang tuhan merencanakan ini, mengapa aku tidak menyadarinya kemarin? Kenapa aku merasakan ini untuk kedua kalinya?

Bukan berarti aku dengannya tidak cocok atau aku dengannya tidak pantas. Hanya saja  Tuhan sedang mengujiku untuk mengubah sikap yang tak sepantasnya kumiliki.

***

Cerpen karya: Andry Ahmad Fadzilah
Asal kota: Tanggamus, Lampung
Akun wattpad: Tidak ada
Akun instagram: @andry_fadzilah


Kumpulan Cerpen GPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang