Chapter 5 : Misunderstanding

5.5K 525 1
                                    

Benar saja perkiraanku tadi malam. Aku kena omel habis-habisan dari mulut pedasnya  yang mungkin diciptakan untuk mengeluarkan jutaan kata-kata menusuk tanpa ampun. Ini baru saja hari ke-4. Dan aku sudah cukup tersiksa dengan adanya kakak seperti Cameron.

Mau dia apa sih? Sabarku hampir habis. Persetan dengan hubungan kakak adik yang belum sempat terjalin selama seminggu. Jika aku tahu aku akan mendapatkan kakak sepertinya, aku tidak akan pernah berdoa untuk mendapatkan seorang kakak. Tidak akan pernah.

Tiba-tiba saja aku merasakan adanya getaran dikasurku. Aku pun meraba-raba kasurku. Mencari keberadaan benda pipih itu. Setelah menemukannya. Handphone itu kembali bergetar ditanganku. Terlihat ada 2 pesan yang masuk. Aku pun membuka pesan-pesan itu.

From     : Kian

Sekarang kau dimana? Dirumah?

 

From     : Kian

L? Jika kau tidak sibuk, bisakah aku kerumahmu karena jika tidak aku bisa matI kebosanan :’

 

Tanpa dapat kutahan, aku tersenyum. Ralat tertawa. Betapa anehnya sahabatku ini? Ditambah lagi cara bicaranya yang membelit. Dia harus bersyukur karena aku sudah mengerti maksud kata-kata yang terbelit-belit itu.

To           : Kian

Aku dirumah. Why ask? Of course!

 

Aku tahu dia tidak akan membalas pesanku. Jadi, aku putuskan untuk berdiri dan menyisir rambut dan berjalan  menuju pintu utama. Setelah disana, aku pun membuka pintu dan menunggu Kian sambil memainkan ponsel. Tak lama, dia pun datang dengan senyuman lebarnya.

Kian membawa dua tas kertas berukuran sedang. Dengan segera, aku berlari kearahnya dan menyapanya dengan senyuman lebar. Kian memang moodbooster. Dia pun memberikan dua tas kertas itu kepadaku. Aku pun menatapnya bingung.

“Aku lupa memberikannya kemarin. Dan berhentilah memasang wajah bingungmu itu! Kau terlihat bodoh.” Ucapnya dengan nada ketus. Tapi jujur saja, dia tidak pernah berhasil membuatku takut. Aku yang mendengarnya malah tertawa kecil lalu mengambil dua tas kertas itu.

“Thanks a lot, my freak friend.” Ucapku sembari memasang wajah gemas lalu mengacak rambutnya dan menarik tangannya agar masuk kedalam rumah.

Kami pun masuk kedalam rumah. Terlihat Kian melihat kekanan dan kekiri. Dia masih merasa sangat asing dengan rumah ini. Aku juga merasakan hal yang sama ketika baru memasuki rumah ini. Tapi, reaksiku tidak seaneh Kian.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Aku pun melirik sekitar. Mencari-cari arah suara. Terlihat Cameron menuruni tangga sembari bertepuk tangan. Jangan lupakan wajah dinginnya yang sepertinya wajahnya itu yang membuat kutub utara menjadi dingin dan beku.

“Jadi dia alasan kenapa kemarin kau terlambat pulang, Miss Dallas?” Ucapnya dengan nada sinis. Tuhan, kenapa aku harus ditakdirkan memiliki kakak mantan rajanya kutub utara sepertinya?

Terlihat Cameron berjalan mengitari aku dan Kian. Dia melihat kami dengan pandangan menilai. Sungguh aku sangat membenci pandangan itu. Kian menatapku dengan wajah yang meminta penjelasan. Tapi, tatapan itu tidak berarti untukku saat ini.

“Pasangan yang serasi.” Gumamnya lalu bersedekap. Dia terus-terus berputa-putar mengitari kami. Dan pada akhirnya dia berhenti. Dihadapanku. Menatapku dengan pandangan mematikannya.

“Berhentilah bersikap seperti itu! Aku lelah, Cameron.” Ucapku gusar lalu menarik tangan Kian menuju kamarku. Sungguh. Aku sangat kesal dengan Cameron. Dia bersikap seperti seorang kakak yang overprotective tapi, dia juga membenciku seakan-akan aku baru saja meledakkan rumahnya.

Kami pun sampai kekamarku. Terlihat Kian melihat kekanan dan kiri. Seperti menilai bagaimana kamar baruku ini. Dan pada akhirnya pandangannya tertuju pada kaca yang menjadi pembatas kamarku dan kamar Cameron. Kian pun berbalik lalu menatapku dan tersenyum kecil.

“Kamar kakakmu?” Tanyanya sembari menunjuk kamar Cameron. Bukankah dia tahu itu kamar Cameron? Maksudku sudah dapat menebaknya. Aku pun memutar bola mataku dan duduk dikasurku. Sungguh dia sangat menyebalkan. Visi dan misiku dulu sudah basi.

Setelah puas meneliti kamarku dan Cameron itu, dia pun duduk disampingku dan menepuk-nepuk pundakku. Mengerti kalau aku masih kesal dengan Cameron. Lupakan tentang panggilan kakak. Lupakan fakta bahwa dia adalah kakakku. Dia sangat menyebalkan.

“Sudahlah, L. Dia kakakmu.” Ucapnya sembari mengelus pundakku. Aku pun menarik nafas dan menghembuskan perlahan lalu menyingkirkan tangannya dari pundakku.

“Dia tidak pantas dipanggil kakak, K.” Sahutku lalu memejamkan mataku. K. Itu adalah panggilanku untuk Kian. Aku tahu itu terkesan seperti kata Okay/ kay.Tapi, menurutku itu terkesan lucu.

Kian. Dia tipe orang yang bisa terbilang tegar. Maksudku, dia selalu bersikap seakan segalanya baik-baik saja. Dia yang selalu menenangkanku ketika emosi. Dia yang selalu menghiburku ketika ada masalah. Jadi, panggilan K(read: Kay) Itu memang sangat cocok untuk seorang Kian.

“Mungkin kalian berdua belum terbiasa.” Katanya sembari tertawa kecil dan menepuk-nepuk pundakku. Kenapa dia malah tertawa? Aneh. Aku pun menyahutinya dengan mengangkat bahuku acuh. Dan dalam hati aku berdo’a agar hubungan persaudaraan kami akan membaik dan tidak akan ada salah paham seperti ini lagi.

A/N:

Hola! Lama ga nge post! Sorry, sibuk banget soalnya... Dan gimana part 5? I hope you like it guys! please leave vote/coment! i work hard for this!

Thanks a lot xoxo

Step Brother ; C.DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang