Persiapan

82 4 1
                                    

Hari demi hari berlalu.
Banyak persiapan yang harus kami lakukan.
Dia menyerahkan masalah mahar dan seserahan kepadaku, agar lebih sesuai dengan apa yang aku inginkan.

Aku tak ingin memberatkan dia dalam menghalalkanku. Saat itu aku meminta mahar seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an, mungkin terkesan biasa, namun aku punya alasan lain dibalik itu semua.

Karena waktu yang semakin dekat, semua persiapan pun harus dipercepat.

Seminggu setelah khitbah, dia mengirim uang untuk mahar dan seserahan. Malam itu, sepulang kerja, aku dan sahabatku pergi ke salah satu toko perlengkapan haji yang ada di kotaku. Aku dan sahabatku sibuk memilih-milih mukenah, yang cukup indah tapi harga tidak terlalu mahal. Memang, dia tidak mempermasalahkan masalah harga, namun tetap saja, aku tidak enak hati jika harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk mahar saja.

Dari beberapa pilihan yang ada, entah kenapa aku jatuh hati dengan mukenah yang satu ini. Berwarna putih tulang dengan sedikit bordir bunga diujungnya, terlihat cantik dan sederhana. Setelah memilih mukenah, kami lanjut memilih sajadah dan Al-Qur'an, tentu saja mataku tertuju pada sajadah pink dengan gambar masjid berwarna abu-abu, perpaduan yang pas memang. Agar terlihat senada, aku memilih Al-Qur'an dengan cover berwarna silver.

Keesokan harinya, aku dan sahabatku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota kami untuk mencari seserahan. Setelah urusan mahar dan seserahan selesai, kami pergi ke toko busana muslim milik salah satu teman kami. Saat itu hanya untuk melihat-lihat saja. Aku jatuh hati pada gamis putih dengan motif polkadot hitam, masyaallah begitu lucu dan cantik. Aku memotretnya dan mengirimkan pada dia untuk meminta pendapatnya.

"Bagaimana jika saya mengenakan itu mas?" Kataku.

"Boleh, yang mana menurut anti nyaman dipakai".

Setelah beberapa persiapan sudah dilakukan, tentu saja ada masalah yang harus dihadapi.

Bisikan-bisikan yang kurang enak didengar dari mereka tentang calon suamiku pun terdengar.

"Coba cari tau asal usulnya lagi, nanti pas di kampungnya nanam ganja"
"Yakin ta sama orang itu, kan baru kenal. Nikah itu sekali seumur hidup, jangan salah pilih"
"Coba cek lagi ktpnya itu asli atau palsu"
"Cari tau lagi, pas dia orang jahat"

Dan masih banyak lagi, aku pun nggak sanggup mendengarnya.

Memang aku sedikit ragu saat itu, aku hanya bertemu dengan adiknya saja dan tidak ada keluarga yang lain. Berkomunikasi dengan orangtuanya hanya melalui telefon. Terasa aneh untukku.

Akhirnya aku mendiskusikan dengannya tentang keraguanku. Dan dia menjelaskan semuanya sedetail mungkin. Seperti alasan kenapa orangtuanya tidak bisa hadir untuk khitbah ataupun akad kami. Rencana awal memang keluarganya akan hadir di akad nikah kami, namun karena mama memajukan tanggal pernikahan, otomatis membeli tiket pesawat pun dadakan dan harganya terlalu tinggi saat itu. Calon suamiku memang bukan dari keluarga menengah keatas, jadi aku memaklumkan alasan tersebut. Dan kedua orangtuaku pun menerimanya.

Sejak awal, aku tak ingin ada pesta apapun untuk pernikahanku. Aku hanya ingin melakukan akad nikah di KUA, setelah itu membagikan makanan kepada tetangga sebagai pengumuman bahwa aku telah menikah. Alhamdulillah mama dan calon suamiku sepemikiran denganku.

Tapi hal ini bertolak belakang dengan  keinginan ayah dan keluarga besar lainnya.

"Nduk, uti nikahin mama, budhe, sama tante mu itu pestanya besar walaupun nikah di depan rumah, bukan di gedung, masa kamu cuma nikah di KUA, apa kata orang?" Ucap utiku saat itu.

"Iya ti, tapi aku menyesuaikan kemampuan ayah sama mama saat ini, apalagi ayah barusan keluar uang banyak buat renovasi rumah, aku nggak mau nambah beban buat ayah"

"Ya kan bisa hutang saudaranya ayahmu atau hutang orang lain" kata budhe.

"Enggak dhe, aku nggak mau hutang. Lebih baik acaranya sederhana tapi bebas hutang"

"Yaudah nggak usah nikah, diatur kok nggak mau. Nikah nanti aja kalau uangmu sudah cukup" kata budhe lagi.

Ahhhh, aku tak kuasa mendengar perdebatan mereka lagi. Aku lari ke dalam kamar dan menangis. Aku hanya ingin memudahkan calon suamiku dan kedua orangtuaku. Kalau harus mikirin "gengsi", nggak akan ada habisnya.

Belum lagi paksaan mereka untuk menambah adat-adat Jawa yang tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Aku dan calon suamiku menolaknya. Aku ingin pernikahanku membawa keberkahan untukku dan keluargaku. Bukan berarti aku melupakan adat yang selama ini ada dalam keluarga besarku. Aku tetap menghargai siapapun yang masih mengadakan adat itu, tapi tidak untuk pernikahanku.

Setelah aku berdiskusi dengan mama dan calon suamiku, aku memutuskan untuk menerima beberapa usul dari mereka, seperti mengadakan akad nikah dirumah, jumlah tamu undangan yang ditambah, setelah akad selesai dilanjut dengan walimatul ursy, dan beberapa hal lagi.

Kabar buruk tentangku mulai tersebar dilingkungan sekitar. Yaa, aku sudah tau pasti hal ini akan terjadi. Aku harus siap dengan ini semua bukan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When Java Meet GayoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang