Part 7

10 1 0
                                    

MASA ORIENTASI

Kabut hitam pekat serasa menggerayang di benakku. Memori-memori lama kembali terputar dengan sendirinya. Di mana saat harapanku seakan mekar layaknya kuntum di pagi hari. Semangatku mengalahkan semangat orator ulung yang tengah berapi-api di atas mimbar. Tapi kini, aku benar-benar layu, mati bagaikan tanaman tanpa akar.

Tepat sebulan setelah kepergian Abi Rofiq dan Adam ke Rahmatullah. Hari ini aku juga mendapat kabar baik dari Abi dan Ummi, di mana Ummi Fadilah sudah terbangun dari komanya. Tidak dapat ku bayangkan betapa tersiksa batinnya mendengar kabar mengenai kepergian suami dan putra tercintanya.

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada dan orang sudah tidak ada, anak-anak kecil di antara kami dan orang-orang dewasa lainnya, laki-laki dan juga perempuan. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkanndi antara kami, maka hidupkanlahmia di atas Islam dan siapa yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas iman.”

Aku menengadahkan tangan di penghujung shalat malamku kali ini, mendoakan kebaikan kepada Ummi Fadilah dan saudara-saudariku seislam dan seiman. Rasulullah juga menganjurkan umatnya untuk saling mendoakan. Karena ketika kita mendoakan saudara kita dengan kebaikan, berarti kita telah berbuat baik kepada diri kita sendiri dan saudara kita.

Pagi-pagi sekali, ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk segera mandi dan bersiap menjalani hari baru di pagi ini. Aku juga akan melaksanakan rutinitas baruku sebagai mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan.

 “Hei, Nad, lu mau mandi jam segini?” Ujar Fitri mengagetkanku ketika aku baru saja keluar dari kamarku.

“Iya, Fit. Kita nanti kan sampai sore kegiatannya. Biar nggak gerah juga.”

“Ih apaan sih, Nad. Ini dingin banget.”

“Manfaat mandi pagi banyak banget lho, Fit. Kita bisa terhindar dari penyakit, nggak mudah stress, kita juga bisa terlihat awet muda lho.”

“Tapi gua nggak kuat, Nad. Bisa-bisa beku badan gua.”

“Ya sudah kalau nggak mau.” Aku langsung beranjak meninggalkan Fitri ke kamar mandi.

Fitri adalah salah satu teman kami yang juga akan tinggal bersama aku dan Nabila di kontrakan ini. Dia baru saja datang ke sini dua hari yang lalu bersama kedua orang tuanya. Dia adalah seorang wanita yang terlihat selalu ceria dan sedikit tomboy. Ketika melihat dia, aku merasa melihat sosok Firda dalam dirinya. Sedangkan teman satunya lagi, yang ku ketahui aslinya dari Jogja, dia akan segera datang hari ini juga, tapi aku tidak tahu kapan tepatnya.

Setelah bersiap dan melaksanakan shalat subuh di kontrakan, Aku, Nabila dan Fitri berangkat bersama ke kampus dengan berjalan kaki. Karena kami diberi peraturan agar tidak boleh membawa kendaraan pribadi ketika masa orientasi berlangsung.

Tiga hari yang lalu, aku dan Nabila ditemani Kang Fawwaz mencari kendaraan untuk kami berangkat ke kampus. Sebetulnya jarak kontrakan kami dengan kampus tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit saja jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi, mengingat jadwal perkuliahan yang terkadang masuk pagi, siang, sore, bahkan malam, aku dan Nabila akhirnya memutuskan untuk mencari kendaraan masing-masing agar tidak terlalu sering memesan ojek online ketika hendak ke mana-mana.

“Ah, kalian pada nggak capek ya? Gua capek banget woi.” Fitri menggerutu di tengah perjalanan.

“Kamu sih, nggak mandi.” Timpal Nabila.

“Sudah, bentar lagi nyampe kok.” Ujarku setelahnya.

Setelah sampai di kampus, kami mulai memisahkan diri satu sama lain karena orientasi ini dibagi berdasarkan Fakultasnya masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berteduh di Bawah Cahaya (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang