"Bu Pah kenapa enggak tinggal di sini aja?" tanyaku begitu melihat wanita tembam itu masih sibuk dengan sayur-mayurnya.
Bu Pah merupakan seseorang yang sudah bekerja di rumah kami sejak tiga tahun sebelum aku dilahirkan, tepatnya 23 tahun yang lalu. Dia adalah saksi hidup perjalanan keluarga ini.
Beberapa saat kemudian dia berbalik sambil tersenyum, aku tahu dia akan menjawab tidak bisa karena di usia senja dengan anak-anak yang sudah tergolong mampu menghidupi diri mereka masing-masing dan sang ibu, Bu Pah tidak bisa 24 jam menjagaku lagi. Aku paham meski dia tidak pernah bercerita alasannya hanya berkunjung di hari Senin, aku tahu karena anak-anaknya sudah melarang ibunya untuk bekerja.
Tapi, mau bagaimana pun juga seharusnya dia tetap di sini, setidaknya menginap walau hanya sehari. Aku rindu wanita yang mulai sepuh itu duduk di ruang tengah mendengarkanku yang menangis tersedu menyalahkan keadaan. Dia akan mengusap rambutku sambil terus berkata: "Sabar, Mas Damar kan anak kuat." Bu Pah akan berkata lirih sekali yang membuatku semakin menangis. Ah, aku rindu.
"Bu Pah enggak bisa, Mas. Nanti cucu Bu Pah nyariin," jawabnya dengan mata yang menatapku tulus.
Aku menghela napas berat, berjalan mendekat dan duduk di hadapannya. "Cucunya bawa ke sini. Semalam aja, enggak apa-apa."
Dia tersenyum lagi kali ini dengan tatapan yang seakan menyuruhku untuk bercerita, selama hampir 20 tahun dia sudah hafal gerak-gerikku dengan baik. Dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja.
"Aku enggak mau serumah dengan Gagah."
Bu Pah terkejut. "Hus! Enggak boleh gitu. Dia adikmu."
Aku mendengus dengan tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin. "Tapi dia anaknya Ayu, dia bukan adikku." tanganku sedikit bergetar, lantas kusembunyikan dengan cara melipat tangan ke depan dada. Mengucap nama Ayu membuat dadaku berderap.
Ayu, orang yang membuat keluargaku hancur. Aku bisa saja menganggap Gagah sebagi benar-benar adik. Tapi setiap kali aku melihatnya aku teringat Ayu, ibu dari sang bocah ingusan itu. Gagah mewarisi bola mata ibunya yang sayu sehingga setiap kali dia menatapku aku melihat Ayu. Orang yang paling kubenci hingga saat ini.
"Mas Damar enggak boleh begitu. Boleh enggak suka ibunya tapi Mas Gagah tetap adiknya Mas Damar." Bu Pah mengelus rambutku. Ah, aku benar-benar rindu usapan tangan tulus ini.
Bersamanya hatiku menjadi sedikit lebih tenang. Bersamanya juga aku merasa penuh meski rumah ini sebenarnya kosong, bisa dibilang dia adalah ibu ke tiga setelah ibuku dan nenek. Bu Pah adalah apa yang kusebut rumah.
Ibuku Tristana seorang penulis dengan kepedihan di setiap karya-karyanya. Tristana itu nama pena yang berarti pembawa kesedihan, nama itu dipakai setelah berpisah dengan ayahku yang merupakan dokter yang berselingkuh dengan perawatnya. Membuat geram.
Karena kesedihannya yang mendalam juga ibuku memutuskan untuk mengasingkan diri yang bahkan aku tidak tahu di mana tempat itu. Sudah lama aku hilang kontak dengannya, mungkin sejak aku dititipkan pada om yang tinggal di Jakarta. Aku tidak tahu kenapa ibu memilih benar-benar menghilang dari pandanganku. Apa aku juga salah satu alasan mereka untuk berpisah? Sekarang aku hanya bisa membaca karya Tristana sambil berharap ada sosok aku yang dimasukkan ke dalam cerita.
Berbicara tentang Om aku menjadi ingat sepupuku yang juga pernah mendapatkan kekerasan seksual di sekolahnya bukan oleh teman yang sebaya, melainkan oleh gurunya sendiri selama hampir 3 tahun.
Waktu itu dia lebih tua dariku, siswi kelas 3 SMP yang selalu kutunggu di gerbang agar bisa pulang bersama ke rumah. Ema memang cantik, kami memiliki bentuk mata yang sama dan juga lesung pipi yang berada di sebelah kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
RomanceHanya butuh satu kepercayaan untuk menjebak Laras dalam kesalahan penuh penyesalan. Terjebak dalam hubungan beracun yang berakhir kekerasan dalam pacaran membuat Laras semakin hilang arah. Kabar miring tentang dirinya menguar hingga ke telinga ayahn...