Di depan teras yang temaram, aku merogoh saku celana, mencari kunci rumah. Belum sempat aku menemukan benda kecil tersebut, tidak sengaja aku memegang kenop dan membuka pintu. Aroma susu hangat tercium samar-samar. Pintu rumah tidak dikunci. Aku masuk berjalan melewati ruang tamu yang gelap hingga sampai pada tangga yang memisahkan ruang atas dan bawah. Sebelum menapaki ubin-ubin kamar, aku mengintip sedikit ke arah dapur. Hal yang selalu aku lakukan setiap pulang ke rumah. Berharap Tristana ada di sana sambil duduk menungguku pulang. Tapi, selalu tidak ada siapa-siapa.
Aku melewati dua puluh dua anak tangga yang menuju ke lantai atas. Berbeda dengan ruang bawah yang sedikit temaram, ruang atas yang terdiri dari tiga kamar dengan ruang santai yang berada di tengah tampak lebih terang. Gagah belum tidur. Dengan pelan, aku membuka pintu dan segera merebahkan badan. Hari ini terasa lelah. Cukup lama melihat langit-langit kamar hingga beberapa saat kemudian aku dengan samar mendengar suara khas dari tombol lampu yang ditekan. Gagah benar-benar belum tidur.
"Di mana?" ucap Gagah yang meneleponku tadi sore. Tiba-tiba saja pikiranku melayang pada sosok cowok bermata sayu itu. Teleponnya tadi sore membuatku berpikir berulang-ulang jika dia mengkhawatirkanku. Ditambah hingga larut malam seperti ini anak itu masih belum tidur. Bahkan, pintu rumah belum dikunci. Tapi, dari siapa Gagah mendapatkan nomorku? Apa mungkin dari Bu Pah?
Meski dengan setengah hati aku menanggapi seluruh perlakuannya yang sangat memedulikanku, membuatku mulai terbuka kepadanya. Sebenarnya, aku bisa saja menerima dia sebagai adik. Karena, di saat rumah sepi seperti sekarang mempunyai orang yang mampu menghangatkan adalah dambaan. Apalagi jika orang tersebut adalah adik kita sendiri, keluarga kita sendiri. Aku tersenyum ketika bayangan indah itu lagi-lagi sirna melihat sorot mata Ayu pada Gagah. Sampai kapanpun aku membenci perempuan itu.
Aku melenguh, mematikan lampu kamar dan tertidur. Seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari aku terbangun pukul empat sore. Bahkan untuk orang yang bergadang selama dua hari pun rasanya tidak mungkin tertidur selama itu.
Aku melihat seisi kamar yang sudah terang. Tirai terbuka lebar. Entah siapa yang membukanya. Sinar matahari sore masuk melalui jendela kaca besar yang terletak di balik meja belajar. Begitu damai. Cukup lama aku berdiam memandang jendela tanpa melakukan apa-apa, hingga kurasakan perut yang berbunyi dengan suara yang khas karena belum diisi. Ketika perut itu berbunyi untuk keempat kalinya, aku memutuskan untuk bangkit dan berjalan menuju ruang makan. Mencari apa saja yang bisa dimakan. Ketika kulangkahkan kakiku keluar kamar, aku melihat pintu jati di sampingku terbuka sedikit. Menandakan sang penghuni sedang berada di rumah. Mungkin saja dia juga yang membuka tirai dalam kamar tidurku.
Dengan pelan aku menuruni tangga hingga sampai pada lantai dasar. Aku menemukan Bu Pah sedang terduduk dengan tangan yang masih saja sibuk dengan sayur mayur. "Udah sore, ngapain beresin sayur?" Aku berjalan sambil bertanya padanya.
Dengan pelan Bu Pah menggeser tubuh untuk melihatku. "Eh, sudah bangun. Iya, dari pada Bu Pah enggak ada kerjaan." Dia tertawa dengan renyah.
"Ini belum hari Senin, Bu Pah kok udah ke sini?"
Bu Pah masih tertawa. "Gagah kemarin bilang ke Bu Pah katanya Mas Damar sampe jam sembilan malam belum pulang. Terus pengen aja beresin rumah sambil masak buat Mas Damar."
Semua pradugaku terjawab, wanita senja ini yang telah memberi nomorku pada Gagah dan wanita senja ini juga yang membuka tiari-tirai kamarku. Aku hanya tersenyum dan mengambil minum yang berada di dalam kulkas.
"Mas Damar itu suka minum air dingin tapi masih aja males buat pindahin ke kulkas, disuruh pake dispenser juga enggak mau." Wanita itu meracau dengan tangan yang sibuk mengumpulkan sampah dari sayuran yang dibereskannya.
Aku terkekeh. "Ribet pake dispenser."
Bu Pah hanya bergumam, wanita itu paham betul semua kebiasaan-kebiasaanku yang sedikit pemalas. Aku masih bercerita dengan Bu Pah ketika gawaiku tiba-tiba saja bergetar. Tertera nama Laras di layar yang membuatku diam sejenak. Takut terlambat, aku memeriksa jam yang menunjukan pukul 16.35.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
RomanceHanya butuh satu kepercayaan untuk menjebak Laras dalam kesalahan penuh penyesalan. Terjebak dalam hubungan beracun yang berakhir kekerasan dalam pacaran membuat Laras semakin hilang arah. Kabar miring tentang dirinya menguar hingga ke telinga ayahn...