22.08, 31 Juli 2020
Sigi
"Jika aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, maka aku bisa menghabisi setiap orang yang ingin menghabiskan waktu denganmu secara cuma-cuma."
Sigi
Babe, aku tulis kalimat ini untuk menggambarkan situasi hubungan kita.
Aku membaca kalimat itu berulang-ulang. Terdengar seperti ancaman. Damar yang tidak tahu apa-apa hanya menatap raut mukaku dengan kening yang semakin tertekuk. Aku memberi senyum biasa. Menyengir. Seolah tidak terjadi apa-apa.
"Jadi besok kita ketemu Catur?"
Aku menunduk, memberi jawaban dengan sekali anggukan.
Sigi
Lagi sama Damar, ya?
Sigi
Boleh aku kenalan sama dia?
Sigi
Kamu pacarku, kan? Kenalinlah sama temenmu itu.
Sigi
Besok, oke?
Sigi
Inget aku minta sesuatu.
"Ras, kebiasaan banget kalau diajak ngomong mantengin hp mulu. Ciri-ciri orang yang enggak menghargain orang lain ya gini." Aku melirik tajam. Jika saja Damar tahu apa yang sedang kuhadapi sekarang, mungkin dia akan diam dan tidak banyak bicara.
Sigi tahu foto dan video melalui sosial media yang terhubung dengannya. Terbesit keinginan untuk menghapus seluruh momen yang kurekam di Instagram, tetapi aku rasa Sigi tidak akan peduli akan hal itu.
Merasa ada yang tidak beres, Damar menyentil bahuku. "Ada apa?" Aku menoleh, tersenyum dengan mata sayu. "Wajah kamu kayak nyembunyiin sesuatu." Seketika aku tertegun. Cowok ini sedang menyelidik lewat diam.
Sementara membuka tas dan memasukkan ponsel, sudut kanan bibirku terangkat saat Damar mengembuskan napas berat. Dia masih menyuguhkan tatapannya untukku. "Aku beneran enggak pa-pa, enggak usah segitunya kalau ngeliatin." Biasanya Damar akan memberi reaksi yang berbeda; seperti berkata dengan kalimat pedas namun berakhir dengan gelak tawaku yang menyembur karena ucapannya. Namun kali ini di bawah lampu temaran mobil, duduk dua orang yang baru saja mengenal satu sama lain setelah sekian abad tak pernah bersua. Damar dengan segala misterinya, dan aku dengan segala kebohongan.
Tuhan seperti ingin membagikan cerita lewat hari ini. Damar yang memakaikan helm bogonya untukku. Menyusuri jalanan Yogyakarta yang tembus sampai Purwokerto. Berhenti di rumah makan sederhana. Saling menatap satu sama lain. Berbincang dengan Pak Sandi pemilik Peternakan Sapi Perah Baturraden dan berhasil meraup dana sukarela yang lumayan banyak. Bercanda sepanjang jalan. NMAX abu-abu yang mogok. Naik kereta jurusan Yogyakarta yang mengharuskan kami beli tiket tengah malam dan merogoh cuan yang lumayan tebal, dan berakhir dengan obrolan singkat antara gadis muda korban kekerasan seksual.
"Nomor tiga puluh satu ya, Mbak?" Sopir Grab berkata lirih sembari mendorong tuas mobil. Aku menoleh ke arah Damar sebentar. Laki-laki yang tengah duduk di sampingku ini tersenyum lantas mendongak ke arah pagar. Rumahku begitu sunyi. Lampu tidak menyala seperti tidak ada tanda kehidupan. Aku yakin Mbok Sari sudah pulang, dan lupa tidak menyalakan lampu taman serta air mancur.
"Mar," panggilku sebelum menapak di atas aspal kering. "Thanks for today. Pororo kartun penguin itu, kan?" tanyaku memastikan. Aku mulai menggeser badan, mengeluarkan kakiku dari dalam mobil. Pasti sopir Grab tidak tahan dengan aku yang sengaja mengulur waktu. "Makasih, setidaknya itu julukan baru buat Laras, hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOKS
RomanceHanya butuh satu kepercayaan untuk menjebak Laras dalam kesalahan penuh penyesalan. Terjebak dalam hubungan beracun yang berakhir kekerasan dalam pacaran membuat Laras semakin hilang arah. Kabar miring tentang dirinya menguar hingga ke telinga ayahn...