2. Laras - Mimik Wajah

66 7 0
                                    

Aku termenung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku termenung. Jantungku berdetak kencang saat berita itu mulai heboh di jagat maya Twitter. Lagi-lagi aku seperti dimanfaatkan. Nomorku disebar luaskan. Aku merasa terganggu dengan rentetan chat yang mengusik, menggoda, bahkan menelanjangi mataku dengan segala gambar yang tidak pantas. Sigi sialan! Ternyata dia orang yang menyebarkan foto-foto itu.

Aku hancur setelah mengenal Sigi. Dia adalah mahasiswa Fakultas Teknik semester enam. Dia cowok toksik yang sudah lama kukenal. Sekujur lenganku penuh luka bekas putung rokok, terasa menyakitkan mengingat Sigi menyulut putung rokok saat aku tidak mau 'melayani'-nya. Dia memperlakukanku layaknya boneka hidup. Menelanjangiku dengan seluruh kemampuannya. Kenapa aku tidak dibiarkan mati saja? Toh, aku tidak ingin Papa tahu dan akhirnya menyalahkanku karena berpose sensual layaknya model panas di majalah pria dewasa.

"Pagi, Sayang." Begitu suaranya terdengar, degup jantungku seperti tidak tertahan lagi. Aku ingin berteriak. Namun rasanya tidak mungkin, masih terlalu pagi. "Kok diem?" Aku mendengar Sigi tertawa di ujung telepon.

"Kamu keterlaluan, Gi," ucapku tidak berdaya.

"Keterlaluan gimana? Aku udah ngasih opsi, tapi kamu pilih enggak. Jadi siapa yang salah? Aku bisa bilang ke admin Twitter supaya take down foto-foto itu. Tapi ada syaratnya."

Aku bersandar di kaki ranjang. Menggigit bibir bawah, dan memerhatikan bayangan diriku sendiri. Cermin itu menampakkan seluruh raut ketakutanku. Apa kali ini aku harus menuruti permintaannya lagi? Rasanya letih harus bercinta namun tidak merasakan apa pun selain kasar. "Kamu egois. Bisa enggak, sih, kamu bebasin aku dari semua ini?"

"Siapa suruh bikin aku kecanduan? Siapa suruh kamu mau aku gituin? Kamu pikir aku juga mau kayak gini? Gimana? Mau enggak aku bersihin nama kamu di Twitter?" Sepertinya percuma aku merengek. Orang di seberang sana terlampau sulit untuk sadar.

"Kesimpulannya sama, kamu bakal ngelakuin 'itu' lagi, kan?" Aku memandang ponsel tipis yang berada dalam genggamanku. Semua orang sudah tahu. Dan mungkin sebentar lagi Papa akan mengendus berita ini. "Terserah kamu, aku udah capek." Hanya kalimat itu yang kuutarakan sebelum mematikan ponsel.

Aku berjalan menuju ruang makan. Terlihat Mbok Sari tengah sibuk menyiapkan amunisi perut. Dia menyeduh sesuatu, dalam sekejap air itu berubah oranye.

Pukul 07.00 mobil Mama sudah tidak ada di garasi. Sejak umur lima belas, aku jarang bercengkerama dengan Mama. Kesibukannya mengurus cabang restoran menyita waktu, membuat kami saling canggung karena tidak pernah berbagi kisah atau canda tawa. Beralih kepada Papa, meski tidak tinggal dalam satu atap tetapi dia kerap menyapaku lewat telepon atau chat singkat WhatsApp. Dia menjabat sebagai Kapolres Klaten. Berpangkat Arjun Komisaris Besar, membuatnya lebih mementingkan keamanan masyarakat. Alasanku tidak bercerita banyak hal kepada Papa karena aku takut disalahkan. Apalagi Papa kerap menegurku agar lebih sopan dalam berpakaian. Namun, apa mungkin dia tetap menyalahkanku atas kasus kekerasan dalam pacaran?

PARADOKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang