9. Sebatas Genggaman

2K 461 47
                                    

Ayudia Princessa Soedarsono. Kalangan keluarga, teman sampai rekan kerja memanggilnya Cessa. Putri sulung dari pasangan Bayu dan Utari Soedarsono. Sempat merasakan menjadi anak tunggal selama enam tahun, Cessa akhirnya memiliki adik impian. Berjenis kelamin perempuan serta pipi gembil dan wajah yang mirip boneka.

Memeluk Barbie yang masih bayi setiap malam merupakan salah satu kegemaran Cessa. Selain itu, sang adik kerap dijadikan korban permainan tata rambut dan rias wajah. Cessa selalu berperan sebagai pemimpin alur permainan mereka. Konyol memang, tapi dari sana ia beranggapan bahwa ia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri.

Prinsip dari kata I love me, myself and I merupakan benteng terkuat, sehingga ia memiliki tingkat kepercayaan diri yang terasah demi mencapai semua life goals.

"Bu, maaf ponselnya berdering."

Bukan nada dering ponsel yang memecahkan konsentrasinya, justru suara Diana.

"Kenapa?" Cessa bertanya.

"Ponsel Ibu berdering," ulang Diana.

"Iya saya tahu." Cessa mengangguk, jari telunjuknya mengetuk-etuk meja. Sementara tatapan yang ia layangkan seperti hendak menguliti Diana. "Kenapa? Kamu keberatan?"

Diana menghela napas. Ia tahu, atasannya sedang dalam mode siaga satu. Bila salah mengucapkan sesuatu saja Diana bisa terperosok ke jurang. Mereka baru saja keluar dari ruang rapat dan divisi mereka mendapat banyak evaluasi.

Tanpa mengurangi rasa hormat, Diana menjawab, "Maaf, Bu ... maksud saya Ibu bisa angkat teleponnya terlebih dahulu mungkin penting."

Cessa terpejam erat, kenapa sekarang dirinya bak ABG labil yang sulit mengendalikan emosi? Rapat hari ini membuat ia geram terhadap orang-orang yang berada di bawah kendalinya. Orang se-perfectionist Cessa benar-benar membenci kata evaluasi. Ia beranggapan sebuah kesempurnaan terbentuk tanpa ada kata tapi.

Saya tahu tim public relation sudah bekerja dengan baik tapi ...

Cessa berdecak karena mengingat itu. Tidak ada kata puas dan cukup dalam kamusnya untuk masalah karir serta pencapaian. Sebab kualitas diri memang perlu ditingkatkan setiap hari supaya kalimat esok harus lebih baik dari hari ini dapat terwujud.

Perempuan itu meraih ponsel di samping vas bunga. Nama sang tunangan tertera sebagai daftar panggilan tak terjawab. Ralat, Cessa memang sengaja mengulur waktu supaya panggilan itu masuk ke daftar tersebut. Bukan karena ia tahu Dion yang menelepon, melainkan kebiasaannya yang tidak akan mau mengangkat telepon di luar rekan kerja ketika jam kerja berlangsung.

Ini masih jam kerja dan mereka pernah sepakat akan hal itu.

"Enggak ditelepon balik tuh?" Kali ini Sherly yang bertanya, salah satu teman dekat di satu divisi yang sama. Mereka sedang berkumpul di ruangan Cessa usai rapat.

"Enggak usah, paling juga dia kepencet doang."

Sherly menggeleng bersama tawa renyah. "Ada ya alasan kayak gitu padahal pasangan."

"Pasangan ya pasangan, jam kerja ya jam kerja, profesionalitas lah. Dia juga sibuk kali jam segini." Cessa beralih pada Mac Book yang terbuka, jarinya menari di atas keyboard.

"Heran deh gue. Dion tuh kurang apa? Elo dari zaman kuliah kan pacaran sama dia. Tapi dia doang yang kelihatan cinta mati, elonya biasa-biasa aja, Sa."

Kenapa Sherly masih juga membahas masalah pribadi? Cessa sangat malas membahasnya. Boleh jadi mereka pernah satu almamater, tapi bukan berarti Sherly berhak mengupas masalah pribadinya di area kantor.

Tanpa berminat menghentikan gerakan jarinya di keyboard, Cessa menjawab, "Ini bukan tentang dia yang kurang atau gimana. Gue memang membatasi diri. Kita itu sebagai perempuan enggak usah terlalu cinta-cinta banget lah sama laki-laki yang belum resmi jadi suami."

Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang