Panas matahari membara dan debu bercampur asap kendaraan mewarnai jalanan Ibu Kota. Dion merasa beruntung diterpa AC mobil bersama Barbie yang memegang kemudi. Mau bagaimana lagi? Sebelah kakinya masih mengenakan gips, ia tak akan membiarkan Barbie mengemudi jika normal. Beno sudah pulang lebih dulu bersama Sasha, kondisinya sama dengan Dion. Beruntung saja nyawa mereka masih selamat.
Tepat saat Dion mengecek ponsel, nama ayah tertera di layar. Ia menggeser tombol hijau lalu menarik napas.
"Kamu di mana? Kok suster bilang kamu sudah check out?"
Dion sengaja menyalakan mode speaker lalu meletakkan di dashboard. Sebelah kaki yang masih terbalut gips sangat tak nyaman, ia membungkuk membenahinya. "Saya sudah pulang, Yah. Kemarin saya sudah bilang sama Ibu supaya Ayah enggak perlu repot-repot cari tiket."
"Ibumu HP-nya enggak aktif dari pagi." Ayah berdecak. "Pola pikir elekmu itu dikurangi coba, Mas. Kalau bendera kuning sudah terpasang baru Ayah disuruh datang, begitu?"
Dion menahan diri untuk tidak berdecak. Obrolan mereka kalau tak menimbulkan getar emosi, minimal getar-getar kekesalan. "Ibu semalam menjenguk dan sudah pulang. Saya bukan anak kecil lagi yang harus dikhawatirkan, Yah."
"Iya, tapi kamu kan kemarin sudah sekarat lho. Makannya Ayah terbang dari Jambi." Ayah berdecak lagi. "Ah, kamu ini ... ya sudah jangan lupa pulang."
"Iya, kalau ingat."
Tercatat sebagai anak laki-laki tunggal, Dion terhitung jarang pulang ke rumah semenjak menduduki bangku kuliah. Kegiatannya padat, bahkan terkadang ia terpaksa menginap di kampus. Lagi pula pesan berisi jangan terlambat pulang hanya akan disampaikan seorang ayah kepada anak gadisnya.
"Kamu cekikikan gitu, Bie," ucap Dion kala menemukan Barbie yang tengah tertawa kecil.
"Mas Dion lucu kalau ngobrol sama ayahnya," jawab gadis itu. Kini ia mengarahkan stir ke kiri.
"Ya gitulah, jokes bapak-bapak suka enggak jelas." Dion bersandar pada jok, sesekali mecuri pandang ke arah gadis itu.
"Iya, aku jadi tahu sekarang asal kegaringan Mas Dion tuh dari mana."
"Barusan aku rekam loh, Bie."
Barbie mengalihkan pandangan sejenak dari jalan lalu menyahut, "Coba aja, aku sih nggak begitu yakin Om Danu bisa marah-marah sama cewek cantik."
"Jangan mentang-mentang model, kamu lewati dulu Ibu Risma kalau bisa."
Tawa kecil Barbie terlontar, ia mengedikkan bahu dengan alis menyatu. "Mending gaet CEO kelas unicorn sekalian sih, Mas."
Tangan Dion yang sudah terangkat itu berhasil mengacak tatanan rambut Barbie. Suasana di dalam mobil berganti secepat cuaca musim hujan. Pembahasan tentang Danu Gymnastiar mengenyahkan kecanggungan yang sempat mereka bawa dari lift menuju lantai dasar.
"Dasar model, mainannya CEO."
"Bahasanya bukan mainan dong, Mas, tapi bertualang." Cengiran khas semanis brownies buatan pemiliknya kini mengembang. "Jadi mau ke apartemen Mas Beno dulu nih?"
"Enggak jadi deh, Bie. Pulang ke apartemen aja, belum kasih makan Oscar. Nanti tahu-tahu dia ngambang lagi." Di detik yang sama mereka saling menoleh. "Sekalian, mau makan brownies bikinan kamu, kangen."
Tidak tanggung-tanggung, Barbie menginjak rem dadakan karena senyum tipis keparat milik Akhfa Dion Gymnastiar. Hampir saja ia menabrak penjual buah potong yang tengah menyeberang.
"Bie, kamu nyetir yang fokus!" seru Dion. "Kamu membahayakan nyawamu sendiri sama nyawa dua orang yang bisa mati karena kelalaianmu!"
Debaran jantungnya kini berganti bukan dikarenakan senyum tipis manis Dion yang minta dilumat habis. Oke, abaikan pikiran ngawurnya yang muncul tak kenal tempat dan waktu. Barbie hampir saja menabrak orang! Sepanjang sejarah mengendalikan stir mobil, ia bahkan belum pernah meninggalkan lecet pada mobil ayah.
![](https://img.wattpad.com/cover/214624647-288-k589693.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓
Romansa[END] "Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah." Anggita Barbie Soedarsono, salah satu drama kehidupannya yang berjudul Aku Berpura-pura Tidak Mencintai Tunangan Kakakku Sampai Mati berlangsung sejak dia masih SMP. Sebab seseorang bernama Ak...