24. The Perfect Gift

1.9K 446 40
                                    

"Korek sialan." Dion melirik arloji sejenak lalu mengumpat lagi.

Ini sangat membuang waktu. Sebelah tangannya memegang Red Velvet cake ukuran sedang lalu yang lain mencoba menyalakan pemantik. Lebih tepatnya pemantik rongsokan. Dion menghabiskan banyak waktu demi mencari benda itu di mobil. Sial, ia malas memeriksa kelayakannya terlebih dahulu di area parkir. Kini laki-laki itu hanya mengumpat dan mencoba menyalakan pemantik.

Ruang tamu menggelap sejak Dion masuk beberapa menit lalu dan berdiri di sudut yang kira-kira tak terjangkau pandangan. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari arah dapur. Ia pun sempat memeriksa kalau gadis itu direngkuh oleh lelap. Sengaja terlewat satu hari, ia harus menunggu teman-teman dekat Barbie dan Cessa memberi kejutan lebih dulu.

Bukan sebuah masalah, yang terpenting adalah niat. Sebelum mereka menjalin kasih dalam artian pasangan yang sesungguhnya, Barbie memberitahu password apartemen. Supaya ketika tiba-tiba jatuh sakit, gadis itu tak perlu susah payah membuka pintu utama untuk meminta bantuan. Maka Barbie membagikan password apartemennya pada orang-orang yang dipercaya.

"Happy birthday, Sayang ...."

Kedua alis Dion menukik tajam. Berselang sedetik, kegelapan pun sirna tak berbekas. Ia menoleh cepat, padahal api baru saja muncul dari pemantik sialan. Namun kegagalan tetaplah kegagalan. Barbie tengah berdiri di samping saklar lampu dan berkacak pinggang. Kepalanya terteleng ditambah ukiran senyum yang semanis permen kapas.

Dion mendengus keras. "Kamu ngapain di situ, Bie?" Kekesalan di wajahnya terlalu sulit disembunyikan.

"Loh ini kan apartemenku, Mas. Gimana sih kamu." Barbie menggeleng pelan sambil terkikik.

"Gagal udah, gagal."

Dion meletakkan cake di atas meja ruang tamu. Tidak lupa juga melepas jas dan menyampirkannya seperti biasa di sandaran sofa. Laki-laki itu menyandarkan punggung serta memijat batang hidung. Barbie masih kesulitan meredakan tawa kala menduduki tempat di sisi sang kekasih.

Barbie memandangi Red Velvet cake yang Dion bawa. Begitu sederhana sesuai bayangan gadis itu beberapa hari lalu. Hanya dihias krim vanilla serta strawberry yang membentuk lingkaran di pinggirnya. Perayaan semacam ini sudah biasa ia lewati. Karena itu ia hafal jadwal dan momen yang orang-orang gunakan untuk memberi berbagai macam kejutan aneh. Cessa, Dion, dan Julid-Trinity selalu ada di hari ulang tahunnya.

"Jadi ngasih kejutan enggak nih?" goda Barbie.

Lalu Barbie mengambil Red Velvet cake dari meja. Ada lima lilin warna-warni membentuk lingkaran kecil di tengahnya. Kali ini ia menatap lekat laki-laki yang sebenarnya sudah menjadi hadiah terbaik malam ini. "Enggak usah merengut kayak anak TK, Mas. Malu-maluin tahu."

Laki-laki itu menoleh sembari membenahi posisi duduk hingga mereka berhadapan. "Bukan masalah merengut, Bie. Aku lagi berusaha menerima kegagalan konyol tadi." Dion mengambil alih cake dari pangkuan Barbie.

"Mas enggak gagal kok, aku cuma pengin ngerjain balik aja." Cengiran Barbie melebar.

"Enggak asik kamu. Harusnya kamu pura-pura tidur aja meski udah tahu."

Cake yang terarah di depan wajah menghentikan tawa Barbie.

"Make a wish, Bie," kata Dion lagi. Kali ini bersama senyum tipis yang membawa semesta kedamaian bagi Barbie.

Senyum gadis itu pun ikut melembut bersama segala harapan yang melambung ke langit. Tak lama, cahaya manis dari lilin kecil di atas cake menghilang menyisakan asap. Barbie menyisipkan tawa kecil kala mata mereka kembali bertaut. Dion bukan lagi hadir di pesta ulang tahunnya sebagai kekasih Cessa seperti jutaan hari lalu. Pun bukan hadir sebagai kakak keduanya setelah Cessa. Dion hadir sebagai sosok yang dulunya Barbie pikir hanya terjadi lewat bunga tidur. Apa yang Barbie lewati belakang ini sudah membuktikan petuah tentang semua akan indah pada waktunya memang benar.

Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang