"This is a modern fairytale, no happy ending."
_The Heart Wants What It Wants - Selena Gomez_
.
"Sa, kita pacaran udah berapa tahun?" tanya Dion tanpa memandangnya. Laki-laki itu sibuk menekuni makanan.
Denting garpu dan piring terdengar lirih, sebab percakapan yang mengisi semua meja telah mendominasi. Restoran tersebut bukan golongan tempat dinner romantis. Akan tetapi, makanan yang disajikan rasanya setara hotel bintang lima.
"Hmm ... dari adik aku SMP kan? Ya ... sekitar tujuh atau delapan tahun lah." Cessa menyuap makan sambil mengecek notifikasi email.
Sepulangnya dari perjalanan dinas ke Singapura, Dion sering absen menjemput ketika diminta. Intensitas komunikasi pun menghilang tersedot oleh waktu. Dulu, laki-laki itu kerap menelepon saat jam kerja dan meluangkan waktu untuk makan siang bersama. Hal yang berlebihan bagi Cessa. Namun sejak semua itu menghilang, ia tak merasa sangat luang melainkan kosong.
Kendati demikian, Cessa justru mengabaikan. Baginya persoalan hati hanyalah remah-remah masalah kehidupan. Banyak yang harus ia pikirkan, terutama masalah internal pekerjaan dan pencapaian hidup. Dari segi pasangan, ia sudah mendapatkan proporsi yang setara karena menggandeng Akhfa Dion Gymnastiar. Mereka selalu terlihat sempurna sejak masa kuliah untuk kategori pasangan. Jadi Cessa enggan memasukkannya sebagai kategori masalah hidup.
Dion sudah jatuh bertekuk lutut, tak akan ke mana-mana. Ia tak perlu bersikap berlebihan menyamai perempuan lain. Terlalu cengeng perkara urusan cinta. Cessa selalu menganggap dirinya hebat, ia pantang menangisi laki-laki mana pun kecuali Papa. Berbeda dengan teman-temannya yang berubah mirip mayat berjalan hanya karena ditinggal lelaki pujaan.
Ironis, untuk apa menangisi laki-laki yang memutuskan pergi? Toh, stok laki-laki di dunia ini berhamburan. Kalau sudah cantik, punya karir bagus, dan pendidikan tinggi. Apa yang perlu ditakuti?
Semua orang kan cari pasangan yang punya masa depan cerah, pikir Cessa.
Dion berdeham. "Sehabis kamu berangkat ke Singapura, Mama minta aku ke rumah. Katanya, kalau bisa lebih baik aku meminang kamu tahun ini."
"Iya, Mama udah ngomong sama aku duluan kok." Cessa mengunyah santai, merasa pembicaraan tersebut sangat sepele.
"Terus gimana pendapat kamu?"
Cessa mengedikkan bahu. "Sebenarnya, aku sih belum siap. Kamu ngerti kan masih ada hal yang mau aku capai sebelum menikah? Ya tapi Mama maksa ... aku iyakan aja akhirnya. Aku capek debat tiap malam."
Ayudia Princessa Soedarsono selalu berpikir, pernikahan adalah fase pengekangan. Sedangkan pikiran dan raganya harus sebebas burung-burung yang mengarungi dermaga. Prinsip tersebut merupakan alasan mengapa Cessa selalu merasa belum siap. Ia akan sukarela menikah bila mana segala pencapaiannya terealisasi.
Masa muda haruslah penuh dengan prestasi gemilang dari segi mana pun. Ia tidak ingin membuang masa mudanya secara sia-sia.
Hal semacam itu tidak ada dalam kamus hidupnya.
"Oh ... jadi kamu belum siap? Terus kenapa kamu mengiyakan?"
Cessa menghela napas, pandangannya masih fokus pada layar ponsel. "Kan aku udah bilang, aku capek berdebat sama Mama."
Dion menggeleng pelan seraya tertawa. "Yang mau nikah tuh aku sama kamu, bukan aku sama Mama. Kalau niat kamu begitu, lebih baik enggak usah." Kemudian ia meletakkan alat makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓
Romantizm[END] "Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah." Anggita Barbie Soedarsono, salah satu drama kehidupannya yang berjudul Aku Berpura-pura Tidak Mencintai Tunangan Kakakku Sampai Mati berlangsung sejak dia masih SMP. Sebab seseorang bernama Ak...