Malam itu, seperti biasa bagi Aday. Dia sudah menunggu di halte, menunggu sosok gadis berkuncir dua keluar dari tempat bimbelnya yang terletak di seberang jalan.
Dia menatap tempat itu dengan antusias, berharap secepat mungkin rasa rindunya terobati bertemu dengan gadis cantik, Yana namanya. Bahkan sesekali untuk memecah bosan, dia akan menatap layar handphonenya, mencari channel youtube yang menarik.
08.05 PM
Kira-kira sudah 30 menit Aday duduk di bangku halte ini, jalanan memang masih ramai, tetapi sudah landai. Suasana Jakarta tetaplah sama, ramai dan bising bahkan sampai malam seperti ini.
Memang, waktu-waktu seperti ini tergolong jam makan malam, sehingga masih banyak kendaraan pribadi seperti mobil dan motor berlalu lalang. Juga ditambah, dengan banyaknya orang yang pulang dari bekerja. Entah orang-orang kantoran, kostruksi dan lain sebagainya.
Semua pekerja itu tergantikan dengan beberapa pedagang kaki lima yang membuka usahanya guna mencari nafkah. Sesekali Aday akan menatap pedagang asongan yang berjejer di beberapa sisi jalan, menikmati bau wangi berbagai makanan hangat yang membuat perutnya keroncongan.
Tiba-tiba dia beralih menatap tempat bimbel yang Yana ikuti. Dia tersenyum, kala anak-anak berhamburan keluar dari sana. Seketika dia berdiri, mengambil sepedanya dan menyeberang jalan menuju bimbel itu. Hari ini dia juga ingin pulang bersama Yana. Sekalian, dia ingin mengenal lebih dalam dan akrap dengan gadis itu.
Tepat ketika dia berhenti di depan gerbang, mata Aday dan Yana bertemu. Bilah Yana melebar, kaget dengan sosok Aday yang sudah dua kali ini menjemputnya.
"Kak Aday??"
"Hai, apa kabar hari ini??"
"B-baik, tapi kak--" Telunjuk Aday sudah bertengger di bilah bibir Yana.
"Yuk langsung pulang, dah malam. Kalau mau tanya-tanya gimana kalau sambil jalan saja??" ucap Aday tersenyum menatap Yana yang masih terkejut.
Yana mengangguk, berjalan lebih dulu. Dua tangannya membawa beberapa buku besar dan punggungnya membawa tas yang tak kalah berat, pikir Aday.
"Tunggu Ana," Aday segera mengayuh sepeda mengejar Yana," kamu naik gih, kasian liat kamu bawa beban berat banget."
"Ahh, enggak kak, saya gak papa kok."
"Itu berat Ana, terima saja ... Saya gak bakal culik kamu."
"Gak papa kak, saya udah biasa kok."
Melihat keteguhan Yana, akhirnya Aday pun mengalah.
Mereka kembali berjalan menyusuri tortoar, keduanya tak bersuara. Hanya berjalan berjejeran. Ya, akhirnya Aday menuntun sepedanya dan berjalan bersisian dengan Yana. Namun otak Aday berusaha mencari alasan yang dapat membuat Yana mau menerima ajakannya. Satu ide bagus pun keluar. Akhirnya dia berbicara.
"Kamu gak takut, tetep pendek kayak sekarang??"
"Hah?!"
"Nanti kalau Kamu terus gitu, sulit loh. Jadi kerdil nanti. Yuk, Aku gandeng." Aday Menakuti.
"B- buktinya??" Kacamata Yana bergeser sedikit menurun.
Aday berhenti, menyandarkan sepedanya di pinggang, lalu kedua tangannya menyentuh kacamata Yana dan memperbaiki posisi sambil menatap bilah mata hitam Yana. Yana terdiam, keringat dingin rasanya keluar dari sela-sela kulitnya.
"Contohnya Kamu, udah kelas 3 SMP, kayak anak kelas 1 SMP aja." Aday menurunkan kedua tangannya, lalu menggandeng lagi sepedanya.
Hatinya geli, melihat tingkah Yana yang membeku. Yana menatap ke jalan sambil berfikir. Antara menerimanya atau tidak. Akhirnya, Aday pun mengambil semua buku yang didekap Yana lalu dimasukkan ke dalam tas ranselnya.
"Sekarang kamu naik, kalau enggak ... buku Kamu gak bakal balik lagi. Ya? Ya ya?"
Melihat wajah memohon Aday, Yana tersenyum lalu menaiki sepeda dengan perasaan campur aduk. Bahkan pipinya memanas, dia takut kalau suara dentum jantungnya yang berpacu kini terdengar oleh telinga Aday.
Yana duduk di ujung boncengan. Lalu memegang bagian bawah sadel, tepat di besi yang berada dibawahnya. Aday tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan pegang situ, nanti Kamu jatuh." Ucap Aday sambil menahan tawa.
"Terus dimana??" Tanya Yana sambil menatap bagian lain yang mampu dia pegang.
Tapi tiba-tiba hatinya semakin berpacu cepat. Pipi Yana memanas, ketika kedua tangannya digenggam oleh Aday, lalu diletakkan di pinggang lelaki itu dengan santai. Untung saja posisi Aday menghadap ke depan, dan hanya menoleh padanya sekilas.
"Di sini, kan kalau gini ... Kamu bisa pegang erat." Aday mengeratkan tangan Yana pada pinggangnya. Dia tersenyum puas, rasanya hatinya juga berpacu 'tak tentu.
"Pengang erat erat ya!" peringat Aday, sebelum sepeda yang dibawanya berjalan membawa si pemilik dan Yana yang masih menunduk menutupi wajahnya yang semakin memerah.
*********
Iya, ini penggalan ceritanya yaaa .. duh kepanjangan deh, tapi gak masalah-lah ... buat kalian penasaran dan kesemsem kayak Aku juga gak papa ya?? Hehehehe.
Uuuhhhh, enak gak sih dibonceng? Kalau aku mahh, pernah dibonceng ... tetapi sama temen perempuanku. Wkwkwkwk ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi :)
عاطفية#semua bisa baca, aman# Wishlist buat cerita ini : Views 900 . . Ketika hati bertemu dan rasa yang terpadu menjadi satu. Antara pahit dan manis, ketika dua citra rasa menjadi kabur. Kita bertemu, tepat ketika pasukan kembang api melambung. Dan aku...