7 | Maaf

9 0 0
                                    

TUJUH

[Quinton Jitender]

Saat pertama gue mendarat di sini, awalnya gue nggak ngerti sama misi Dev. Dia cuma minta gue sama Flav bantu dia untuk ambil journal milik Mama nya. Kata Dev, di dalam journal itu ada banyak informasi yang kami butuhkan untuk membasmi robot-robot itu.

Legacy, pemimpin tertinggi pasukan robot-robot yang diciptakan Profesor Jagdish sejauh ini masih bergerak dari belakang. Memang belum melakukan perlawanan apapun, tapi bukan berarti tidak akan melakukannya. Ternyata, perlu strategi untuk menghancurkan mereka. Salah banyak nya ada di journal ini—karena memang nggak cuma satu-dua teknik-teknik menghancurkan mereka.

Ery—atau yang biasa gue kenal Tante Ery—kelihatan sangat menarik di zaman nya. Sangat. Gue yakin, nggak ada laki-laki yang nggak terpikat. Ya oke, itu salah. Gue tau. Tapi apa gue juga salah punya sebuah rasa sama Ery? Yang kedua mata gue lihat saat ini adalah gadis cantik berumur tujuh belas tahun dengan binar hangat nya juga rambut hitam yang selalu diikat. Tubuhnya bagus dengan sikap kepemimpinan yang sangat mendominasi. Dia menarik. Sedikit rasa ingin memiliki memang perlahan timbul, tapi gue tau itu nggak boleh. Di masa depan Tante Ery akan menikah dengan Om Joy—Papa nya Dev. Mereka serasi dan terlihat sangat bahagia. Gue juga senang dong kalo Ery bahagia?

Dan lagi, gue bukan tipe cowok yang mudah suka sama cewek. Trixie pacar pertama gue juga mantan pertama gue. Beberapa minggu lalu dia mutusin gue karena dia mau pindah ke luar negeri dan nggak mau LDR sama gue. Jelas gue masih sakit hati dan butuh orang lain yang bisa mengobati itu. Gue sudah menemukan orang itu. Ery. Dia orang yang bisa mengobati luka itu. Tapi sekali lagi, gue nggak bisa—oh bukan gue, tapi kita—kita nggak bisa sama-sama.

Dev dan Flav gue suruh duluan. Sengaja. Gue pengen bicara sesuatu sama Ery—Tante Ery yang sekarang jelas nggak Pantes gue panggil 'Tante', jadi Ery aja, oke? Plis jangan marah sama gue.

"Kenapa Quint? Mau protes lagi karena nggak disuruh masuk?" Dia bertanya ketus sambil merapikan meja ruang tamu yang sebelumnya berisi banyak gelas-gelas. Luz nggak ada. Dia sudah naik ke kamar nya Ery.

Gue kikuk. Ucapannya tajam tapi sama sekali nggak membuat gue merasa harus mundur.

"Gue minta maaf sama yang tadi. Nggak bermaksud begitu."

Ery berjalan kembali dari dapur ke ruang tamu. Duduk di sofa sebelah sofa yang gue duduki.

"Hmm, ya. Terus lo mau apa lagi?" Dia membalas cuek. Ah, jadi makin tertarik gue.

"Lo menarik. Salah nggak kalo gue suka sama lo?" Gue bertanya ragu. Dia nampak tertegun, tapi gue nggak peduli.

"Jangan ngaco. Banyak cowok yang suka umbar harapan, tapi setelahnya hilang ditelan janji yang kelewat manis itu." Dia nggak percaya sama gue? Atau mencoba nggak percaya?

"Gue bukan orang yang kayak gitu." Gue cuma membalas begitu, setengah meyakinkan.

Ery mengangkat sebelah alisnya. Masih nggak percaya. "Gue harus banget percaya?"

Gue malah tersenyum. "Nggak pun nggak papa. Gue cuma mau lo tau kalo rasa ini bukan ilusi." Lalu gue berdiri. Pamit. Kasihan Dev sama Flav harus nunggu gue.

"Terus kalo gue udah tau, lo mau apa?"

"Nggak mau apa-apa. Cuma pengen lo tau aja karena gue sungguhan nggak tau kita masih bisa ketemu lagi atau nggak. Takut terlambat. Gue balik dulu. Semoga bahagia, Er." Gue berbalik cepat-cepat. Nggak mau melihat ekspresi wajah Ery seperti apa. 

Fix AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang