8 | Tidak Bisa Kembali

6 0 0
                                    

DELAPAN

[Flava Lutia]

Dev masih diam saja saat gue sama Quint tiba di hotel yang dia pesan. Gue sempat meminta Dev menunggu sampe setidaknya Quint sudah membaik karena takutnya, Quint akan semakin parah kalo kita pulang dan melewati portal waktu. Gue yang awalnya sehat aja bisa lemes banget apalagi Quint yang saat ini lagi nggak fit? Dia bisa tiba-tiba pingsan, atau buruknya, Quint nggak akan tertolong. Tapi gue bisa pastikan itu nggak terjadi sama Quint.

"Adaw! Sakit anjir. Lo ngobatin orang kayak lagi make up-in boneka, Flav. Kasar banget. Pake perasaan kenapa sih!" Quint marah-marah karena luka lebam nya gue obatin secara nggak halus. Dia duduk di sisi ranjang yang ditiduri Dev. Sedangkan gue duduk di sebelahnya.

Dev menunggu gue membersihkan lukanya Quint sambil rebahan di kasur hotel. Mungkin dia juga sedang menjernihkan pikirannya yang terlalu kalap? Wajah nya jenuh banget soalnya. Kasihan. Tapi gue juga yakin kalo Quint sebenarnya nggak niat suka sama Tante Ery. Namanya cowok ya kan? Pasti sulit untuk mengontrol itu.

"Dasar lemah! Diem lo. Biar cepet sembuh Quint. Lo mau cepetan pulang nggak sih?" Gue menekan kasar es batu yang gue gunakan untuk mengompres luka Quint.

Quint mendesis kesakitan. "Pulang sih pulang. Tapi nggak gini juga kali. Ini namanya kejam, Flav. Kejam!" Dia nggak berhenti protes sama gue karena gue nggak mengobatinya secara halus. Ya gimana ya, gue juga males sebenernya. Tapi Quint itu teman gue. Gue juga harus mengobatinya.

"Bacot bener lo! Ngomong terus aja Quint biar kepala lo gue lempar sekalian pake es batu." Gue mengancam galak. Nyali Quint langsung ciut seketika. Dia berhenti bicara meski bibir nya kini maju lima meter.

"Istirahat dulu aja Dev. Kita pulangnya besok aja, gimana?" Gue bertanya hati-hati. Takutnya Dev masih kalap dan akan membentak gue tiba-tiba.

"Iya." Dev cuma jawab begitu. Asli, Dev kalo udah marah serem banget. Ucapan yang biasanya panjang banget ngalahin DNA manusia pas digabungin, jadi irit banget kayak Ibu-ibu waktu BBM naik.

"Gimana? Mendingan nggak?" Gue melepas es batu dari rahang kanan Quint lalu bangkit berniat menaruh es batu itu di dalam wadah di atas meja. Dia mengusap pelan rahangnya yang kini masih berubah warna menjadi biru.

"Masih sakit, cuma nggak sesakit tadi. Makasih ya Flav. Lo teman gue yang paling baik." Dia tersenyum lebar sambil memeluk pinggang gue yang sedang berdiri. 

"Sebentar aja Flav. Boleh kan?" Dia masih memeluk pinggang gue erat. Gue nggak tega. Dia memeluk gue seolah nampak sangat rapuh dan hanya gue yang boleh merasakan kerapuhan nya. Kasihan. Gue membelai pelan rambutnya. Biar gimana pun, Quint itu teman gue. Selemah-lemahnya dia, sebodoh-bodohnya dia, dia tetap Quinton Jitender teman gue.

Gue melihat Dev bangkit dari rebahannya. Dia menatap Quint yang sedang memeluk gue erat.

"Maaf." Ucap Dev tanpa gue duga. Quint tersentak kecil. Gue merasakannya karena kepalanya menempel pada perut gue, jelas kerasa. Dia melepas pelukan eratnya lalu menoleh ke arah Dev.

"Maafin gue Quint. Gue menyesal." Dev melanjutkan. Kini Quint mendekat ke arah Dev.

"Lo nggak salah. Gue yang salah Dev. Maaf juga sudah buat lo kecewa." Quint duduk di sebelah Dev. Mereka nampak sangat menyesal telah menyakiti satu sama lain.

"Tapi gue juga bodoh nggak bisa kontrol emosi. Gue yang membuat lo begini. Maaf, Quint." Dev masih kekeuh minta maaf sama Quint. Gue hanya tersenyum kecil melihat mereka yang kini mulai baikan.

Quint tertawa pelan. "Gue pantes kali dibikin bonyok begini. Nggak usah menyesal gitu lah, Dev."

"Udah-udah. Yang penting kalian udah baikan sekarang. Gue seneng deh." Gue melerai mereka supaya nggak debat lagi soal siapa yang salah dan siapa yang lebih salah.

Fix AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang