1. RAHWANA DAN SINTA

9.6K 110 12
                                    

Rahwana, seorang yang sakti mandraguna, raja di negeri Alengkadirja. Tubuhnya tinggi besar, six packs, lengan dan kakinya berotot. Sebenarnya ia seorang yang baik, masalahnya ada amarah di dalam dirinya yang sering keluar tak terkendali. Saat marah, Rahwana berubah menjadi seorang bengis dan kejam. Ditambah kesukaannya memelihara kumis dan cambang, menambah seram penampilannya.

Suatu hari ia berkelana agak jauh dari negerinya, hingga sampailah ia di negeri Mantili. Tak sengaja ia melihat Sinta mandi, menggugah kelelakiannya.
Tubuh putri raja itu mulus, sepasang payudara kecil, yang akan pas di telapak tangannya yang besar. Pinggangnya ramping, tungkainya menggoda, apalagi pangkal kaki itu, dimana tumbuh semak-semak menutupi gua kenikmatan lelaki.
Rahwana menelan ludah, membayangkan tubuh perempuan itu dalam dekapannya.

Selesai mandi, sang putri kembali ke kamarnya. Rahwana mengikuti dari jauh, mengamati dan menyusun rencana menyelinap.

*

Sinta terbangun di tengah malam, kaget ada yang membelai area sensitifnya. Membuka mata, membiasakan diri melihat dalam gelap. Ia berguling menjauh, lalu berbalik untuk melihat siapa yang membelainya. Namun tak ada orang lain di situ, hanya ia seorang diri dengan pakaian berantakan.

Besok malamnya Sinta berusaha tidak tidur, ingin tahu apa yang terjadi.
Sudah hampir terlelap ketika ia merasakan ada yang meremas tubuhnya. Perlahan ia membuka mata, seorang pemuda membuka kain yang dipakainya, lalu menciumi seluruh tubuhnya. Gadis itu menggeliat ketika ciumannya sampai di area sensitifnya.
Pemuda itu membuka pakaiannya, lalu Sinta melihatnya menggesek-gesekkan sebuah pentungan ke semak-semaknya.
Sinta mengerang, ia bangkit ingin tahu apa yang terjadi. Sama seperti kemarin, ketika ia duduk, pemuda itu sudah pergi, meninggalkannya sendirian dengan pakaian berantakan.
Begitulah berpuluh malam Sinta menikmati sensasi aneh yang nikmat itu, membuatnya berlama-lama saat mandi, mengelus area sensitifnya.

Suatu hari Sinta ke pasar dengan beberapa dayangnya. Putri raja ini memang menyukai suasana orang berjualan.
Di tengah keramaian ia merasakan ada yang memperhatikannya, cepat ia menoleh dan melihat seorang pemuda menatapnya. Wajahnya asing bagi Sinta, tapi auranya terasa akrab. Ia melangkah mendekat, tapi lelaki itu bergeser sedikit menjauh.
Pelan tapi pasti, Sinta terpisah dari dayang-dayangnya. Gadis itu baru sadar ketika ia berada di tempat sepi, sendirian. Ingin kembali, tapi lupa arah datangnya tadi.

"Apa yang kaucari, Tuan Putri?"
Sinta menoleh, pemuda asing yang tadi menyapanya.
"Siapa kau?"
"Tidak penting aku siapa, Tuan Putri. Tapi, apakah kau mencariku?"
Pemuda itu mendekatinya.
"Aku tidak tahu," Sinta kehilangan kata-kata.
Pemuda itu begitu dekat, aura seksual sangat terasa.
"Apakah kau yang setiap malam datang ke kamarku?" Sinta memberanikan diri menodong.
"Apakah kau tak suka apa yang kulakukan kepadamu? Tapi mengapa kau tak membuat penjagaan ketat di kamarmu?" Pemuda itu malah balik bertanya.

Pemuda itu begitu dekat, lalu tiba-tiba memeluknya. Sinta menengadah untuk protes, tapi malah dicium. Ciuman itu membuat kakinya lemas, ia melingkarkan lengannya ke leher pemuda itu, mencari tempat bergantung supaya tidak jatuh.
Tanpa melepaskan ciuman, pemuda itu menggendongnya, membawanya ke sebuah gubuk tak jauh dari situ.
Sinta dibaringkan ke sebuah balai-balai di tengah gubuk itu, sementara pemuda itu memasang palang pintu, tak ingin ada yang mengganggu.

"Siapa kau, Kisanak?" tanya Sinta.
Rasanya aneh, sudah dicium dan digerayangi tapi tak tahu nama lelaki yang melakukannya.
"Aku Rahwana."
Rahwana mencium kaki Sinta, naik ke betis dan seterusnya, menyingkap kain yang menutupi tubuh gadis itu. Entah darimana timbul keberanian dalam diri Sinta, tanpa malu ia melakukan hal yang sama, sambil melucuti pakaian pemuda itu. Sampai keduanya saling elus di atas balai-balai bambu tanpa sehelai benangpun.
Pemuda itu menarik tangan Sinta, menyuruhnya menggenggam pusakanya. Gadis itu terkesiap merasakannya mekar dalam genggaman. Inikah pentungan yang digesek-gesekkan ke mulut gua garbanya setiap malam.
"Ya, Putri," kata Rahwana seolah membaca pikirannya, "nikmat kan? Akan lebih nikmat bila kauijinkan kumasukkan ke dalam?"
"Man ... mana cukup?" Mata Sinta terbelalak, "pasti sakit."
"Mungkin sakit sedikit, tak akan lama, setelah itu hanya ada kenikmatan, yang akan membuat Tuanku Putri ketagihan."
"Lakukanlah Rahwana, aku ingin merasakan kenikmatan itu."

Jeritan Sinta menggema ke segala penjuru hutan. Jerit kesakitan itu hanya satu kali, karena berikutnya berubah menjadi desahan dan erangan kenikmatan ketika pentungan Rahwana menyodok-nyodok jauh ke dalam tubuhnya.
Pemuda itu menyekap Sinta selama seminggu, menghujaninya dengan kenikmatan berbagai posisi yang sudah dipelajarinya dari buku Kamasutra.
"Kau milikku, Sinta, jangan biarkan lelaki lsin menyentuhmu seperti yang kulakukan."
Walaupun tak mengerti, gadis itu mengiyakan.

Rahwana mengantarkan Sinta pulang ke Istana. Raja Mantili berterima kasih, tapi menolak keinginan pemuda itu mempersunting putrinya.
"Akan ada sayembara, ikut saja dan menangkan kalau kau ingin menikah dengan Sinta."

"Ayahanda Prabu, batalkanlah sayembara itu, restuilah hubungan hamba dengan kakanda Rahwana, kami saling mencintai," pinta Sinta memelas.
"Kau gila? Rahwana itu seorang raksasa. Wataknya berbeda dengan manusia, saat marah ia bisa merusak yang ada di sekelilingnya."
Sinta tak berani membantah, juga tak berani mengaku telah menyerahkan keperawanannya kepada Rahwana tanpa disadarinya. Ia baru tahu ketika sudah kembali ke istana dan pengasuhnya memandikannya, memeriksa seluruh tubuhnya.
"Apakah Ananda Putri telah dinodai raksasa itu?" tanyanya hati-hati, ia telah melihat banyak kissmark dan love bites di sekujur tubuh sang putri.
"Kami tak melakukan hal-hal kotor, Inang," jawab Sinta polos.
"Apakah ia telah melihat tubuh Ananda Putri tanpa sehelai benangpun?" tanyanya lagi.
"Ya," jawab Sinta dengan pipi memerah, "Rahwana menciumi seluruh tubuhku, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Rasanya luar biasa, Inang, aku belum pernah merasakan seperti itu sebelumnya."
Pengasuh itu menarik napas panjang.
"Apakah ia juga bertelanjang di hadapan Ananda Putri?" Sinta mengangguk, "apakah saat itu ada bagian tubuhnya yang membesar?"
"Ya," gadis itu tertawa kecil, "sangat aneh Inang, benda kecil di selangkangannya membesar berkali lipat, dan keras."
"Astaga!" Sang pengasuh hampir pingsan.
"Apakah ... apakah raksasa itu memaksa memasukkannya di tubuh Ananda Putri?"
"Tidak!" Ia hampir bernapas lega, "aku yang memintanya."
"HAH?"
"Ya, Inang, Rahwana hanya menggesek-gesekkannya di sini." Ia menunjuk ke arah gua garbanya, "dan menceritakan keinginannya suatu saat akan memasukkannya ke gua garbaku, memberikan kenikmatan seperti dibawa ke langit ke tujuh."
Pengasuh itu menarik napas panjang.
"Aku tidak sabar menunggu, Inang, aku yang memintanya memasukkannya."
"Apakah Ananda Putri merasa sakit?"
"Hanya sekali itu, Inang, tidak lama. Setelah itu, dan hari-hari berikutnya hanya ada rasa nikmat."

"Ananda Putri," Sang pengasuh meneteskan air mata. "Ananda Putri telah menyerahkan keperawanan kepada raksasa itu. Yang Ananda Putri lakukan bersamanya adalah persetubuhan, hubungan suami istri, dan Ananda Putri bisa hamil."
"Apa?"
"Semoga yang menang sayembara dan menikahi Ananda Putri seorang lelaki yang tidak berpengalaman. Semoga suami Ananda Putri tidak bisa membedakan seorang perempuan masih perawan atau tidak."
Sinta menangis, tapi nasi telah menjadi bubur. Ia takut menghadapi calon suaminya, tapi ia tidak menyesal.

Sambil menunggu waktunya sayembara dilaksanakan sebulan kemudian, setiap malam Rahwana menyelinap ke peraduan sang putri dan bercinta sampai pagi.

Surabaya, 13 Juli 2020
#NWR

SINTA JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang