2. RAMA DAN SINTA

5.4K 90 3
                                    

Pengumuman telah disebarkan hingga ke negeri tetangga, banyak pangeran dan ksatria dari negara sahabat datang menjadi peserta. Semua lelaki pilihan, tampan dan gagah, sangat sepadan dengan Sinta yang jelita. Tanpa sayembara, akan sulit bagi raja Mantili memilih calon menantu.

Laksmana terpukau melihat kecantikan Sinta, kebetulan saat ia memandang, sang putri sedang melihat ke arahnya sambil tersenyum. Pemuda itu langsung jatuh cinta.
Sayangnya ia datang tidak sendirian, ia bersama kakaknya, Rama sang putra mahkota. Sejak kecil ia sudah terbiasa memberikan kesempatan pertama kepadanya, walaupun ia tak merasa kalah darinya.

Rama kakak yang baik, rela berbagi segala hal dengannya, termasuk dayang-dayang yang ditidurinya. Ia hanya minta kesempatan pertama, setelah itu memberikan bekasnya kepada Laksmana, yang memuaskan mereka sampai pagi. Pengakuan merekalah yang membuat pemuda itu yakin ia tak kalah dengan kakaknya.

Kali ini pun begitu, Rama mendaftarkan diri mengikuti sayembara, Laksmana juga, sambil berharap kakaknya melakukan kesalahan dan kalah.
Seandainya bisa bertahan sampai final, ia sudah bersiap mengalah.

Ketangkasan berkuda, lomba berburu, bela diri tangan kosong, membuat peserta berguguran. Akhirnya di sesi lomba memanah, Rahwana membidik tepat di titik sasaran, semua penonton bertepuk tangan. Berikutnya giliran Rama, panahnya membelah panah Rahwana menjadi dua. Laksmana mengundurkan diri, sehingga Rama dinobatkan menjadi pemenang.

Malam itu Rahwana menemui Sinta dengan susah payah, sejumlah penjaga ditempatkan sekitar kamar sang calon pengantin.
"Maafkan Kanda, tidak berhasil memenangkan sayembara," katanya dengan sedih.
"Mungkin sudah nasib Dinda, tidak berjodoh dengan Kanda Rahwana," tangis Sinta, "ini adalah perpisahan, setelah menikah dengan Kanda Rama, tak mungkin Dinda berjumpa dengan Kanda, apalagi bercinta."
"Kanda akan mencari cara supaya kita bersama lagi."
Rahwana menjadi mellow, hatinya pedih membayangkan akan ada lelaki lain menyentuh putri yang dicintainya.

*

Malam pengantin, Sinta menunggu di kamar dengan hati berdebar-debar, kuatir Rama akan membunuhnya bila tahu ia sudah tidak perawan. Ia sungguh berharap suaminya tidak berpengalaman, sehingga tidak bisa membedakan seorang perawan dan yang berpengalaman.
Sayang, harapannya tidak terkabul. Beberapa kali Rama meniduri dayang yang masih perawan, pemuda itu tahu betul bedanya. Sejak mulai mencumbu istrinya ia sudah curiga, tangan Sinta piawai menjelajah tubuhnya. Kemudian ia tak mendapatkan halangan masuk, tak ada jerit kesakitan, walaupun relung tubuh gadis itu sempit dan kesat, memberikan kepuasan kepadanya.

Memastikan kecurigaan, ia bangkit memeriksa seprei, tak ada noda darah. Merasa ditipu, Rama menjadi marah dan memporak-porandakan isi kamar pengantin. Sinta hanya diam di tempat tidur, tak berani berusaha meredakan amarah suaminya, karena dirinyalah penyebabnya.
Memandang Rama yang sedang murka, tak urung gadis itu mengagumi tubuh sempurna suaminya, kecuali satu hal, ukurannya tak sebesar Rahwana, kekasihnya. Tadi pun ia kurang puas.

Tak ada lagi isi kamar yang bisa dihancurkan, pandangan Rama jatuh ke tubuh istrinya. Tubuh Sinta yang molek terbaring sensual tanpa penutup, gairahnya bangkit, bercampur kemarahan, tak rela ada lelaki lain telah mendahuluinya bersetubuh dengan istrinya.
Merangkak naik ke pembaringan, Rama menerkam Sinta dan menggagahinya tanpa kelembutan. Tindakan kasarnya dapat dikategorikan perkosaan, tapi istrinya tak berani menolak, tak berani membantah, berusaha menikmatinya.

Paginya Rama minta disiapkan sebuah kereta kuda, ia mau segera memboyong istrinya ke Ayodya.
Raja Mantili menyiapkan sejumlah pengawal mengiringi putrinya, tapi menantunya menolak, lebih suka perjalanan yang tidak mencolok mata, tidak mengundang perampok menyergap.
Sinta memeluk ayahnya berpamitan, lalu naik ke dalam kereta. Rama menyusul di sampingnya, Laksmana duduk di depan kereta, sebagai sais yang mengendalikan sepasang kuda.

Tertidur karena capai berolahasmara malam sebelumnya, Sinta tidak menyadari kainnya tersingkap, menggugah kelelakiannya. Dilucutinya pakaian mereka berdua, dan seirama dengan kereta yang bergoyang, iapun menggoyang pinggulnya, menikmati hubungan badan dengan istrinya.

Usai menuntaskan hajat, ia pindah duduk ke depan kereta, menemani Laksmana. Rama tidak merasa perlu memakaikan pakaian Sinta, dibiarkannya istrinya begitu saja, tertidur pulas.
Angin bertiup membuat kain penutup kereta melambai-lambai. Diam-diam Laksmana melirik sebentar ke dalam, dan aliran darahnya deras mengalir menuju ke satu titik. Tubuh molek kakak iparnya tergeletak tanpa penutup, semak-semak di pangkal pahanya sangat mengundang, apalagi puting mungil di puncak payudaranya yang kecil.
Desahan dan erangan sepasang sejoli tadi telah membuatnya terangsang, ditambah pemandangan yang barusan dilihatnya, nafsunya langsung naik ke ubun-ubun. Pemuda itu berusaha menepiskan jauh-jauh pikiran buruknya. Betapa ia ingin menyerahkan tali kekang kepada Rama, lalu masuk ke dalam kereta menancapkan dirinya dalam-dalam di ceruk tubuh kakak iparnya yang menggoda.

Laksmana melayangkan pandangan ke alam sekitarnya, mengalihkan pikirannya dari keinginan bersetubuh. Apalah daya pandangan matanya jatuh ke kuda betina di depannya, pinggulnya bergoyang sensual, ekornya melambai nembuka dan menutup bagian vitalnya.
"Aaarrrgh ...," ia menggeram putus asa.
"Ada apa Adinda?" tanya Rama ingin tahu.
"Kuda betina ini menggodaku, Kanda, menggoyangkan pinggulnya mengundang," Laksmana tertawa, "tunggulah nanti sore saat kita berhenti beristirahat, Kuda, akan kusetubuhi kau!"
Rama tertawa, merasa lucu.
"Biarlah nanti Kanda yang mencari kayu bakar dan binatang buruan, kau bisa bercinta dengan kuda yang beruntung ini."

"Kita selalu berbagi, Kanda," Laksmana betkata hati-hati, "apakah Kanda juga akan berbagi Sinta denganku."
"Gila! Tidak akan!" Rama tertawa.
"Selama ini kan kita selalu berbagi perempuan ...."
"Tapi ini ISTRIKU, Dinda! Aku tak ingin membaginya dengan siapapun, walaupun sudah ada lelaki yang mendahuluiku menjamahnya."
"Apa?" Laksmana tak percaya yang didengarnya. Sinta begitu cantik, anggun, tak mungkin ia seorang jalang.
"Ia sudah tidak perawan ketika pertama kali aku menyetubuhinya."
"Kenapa tidak diceraikan?" 
"Kaulihat wajahnya yang anggun? Aku membutuhkannya mendampingiku di tahta kelak."
"Dan urusan sex kan masih banyak selir," komentar adiknya.
"Mungkin aku tidak akan mencari selir ...." Mata Rama terpejam, membayangkan kenikmatan yang direguknya barusan, "Sinta nikmat, Dinda, lebih nikmat dari perempuan manapun yang pernah kutiduri, yang perawan sekalipun."
"Oh ya?" Tanpa sadar Laksmana melirik ke dalam.
"Buang keinginanmu itu! Pandang jalanan di depan!"
Rama tertawa, tangannya mendorong pipi adiknya supaya melihat ke jalan. Sementara itu ia masuk lagi ke dalam kereta, bermaksud membangunkan Sinta supaya berpakaian. Ada rasa tidak suka di hatinya, istrinya melipat satu lututnya, gua garbanya jelas terpampang di hadapannya, ia yakin Laksmana sempat melihatnya.

"Emmm ... Kanda?" Sinta menggeliat bangun berusaha menutupi tubuhnya.
"Tak usah malu, aku sudah melihat semuanya, kan?" Rama menyeringai, batal menyuruh istrinya berpakaian, ia melucuti pakaiannya sendiri.
"Kanda ... nanti didengar Dinda Laksmana ...," Sinta berusaha menolak. Bukannya saat tidur tadi Rama telah menyetubuhinya? Kalau tidak, mengapa ia bangun telanjang bulat? Dan yang lengket-lengket di sekitar gua garbanya ini?

Surabaya, 14 Juli 2020
#NWR

SINTA JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang