3. LAKSMANA DAN SINTA

4.7K 87 6
                                    

"Betapa malang nasibku," keluh Laksmana, "sekali lagi mendengar desahan dan erangan mereka. Kalau tidak tahan, bisa-bisa kuda betina ini kugagahi sambil terus menyuruhnya menarik kereta."

Ini bukan pertama kalinya Laksmana berada di dekat Rama ketika kakaknya berhubungan sex. Biasanya mereka memanggil seorang dayang ke kamar Laksmana, lalu Rama mengambil giliran pertama menidurinya. Pemuda itu akan meninggalkan perempuan itu setelah selesai, adiknya yang akan melanjutkan sampai pagi.
Sudah biasa Laksmana mendengar desahan dan erangan kenikmatan, tapi kali ini berbeda, karena ia jatuh cinta kepada perempuan itu.

Rama sudah kembali duduk di depan ketika mereka berhenti di tepi sebuah sungai. Membantu adiknya melepaskan kuda dari kereta dan mengikatnya ke pohon, Rama lalu berpamitan masuk ke hutan membawa pedang dan busur serta anak panahnya.
"Silakan, kalau ingin bercinta dengan si kuda, tapi pastikan istriku tidak melihat. Aku kuatir ia shock."
Rama tertawa, menepuk bahunya dan pergi.

Sinta turun dari kereta, melangkah gontai ke arah sungai. Tersandung jatuh, tapi masih jauh dari tanah sepasang lengan kekar meraih pinggangnya. Tidak jadi berdebum di bumi, tubuh gadis itu terhempas ke dada Laksmana.
Pemuda yang sedang tegangan tinggi itu, dari tubuhnya menguar aroma seksual yang menghanyutkan. Sinta tak segera melepaskan diri, malah menyandarkan kepala di situ, menghirupnya.
Bila mengikuti kata hati, Laksmana ingin menindih dan menggagahinya, tapi ia berusaha menguasai diri. Rama telah menegaskan tidak mau berbagi, iapun tak ingin mencuri.

Mengiring Sinta ke tepi sungai, pemuda itu melangkah lebih ke hilir. Kebetulan aliran sungai berkelok, ia bisa mandi tanpa terganggu memandang kakak iparnya.
Melepaskan semua pakaian, ia merendam tubuhnya ke air, mengelus pusakanya, berusaha menidurkannya. Usahanya gagal, karena memeluk Sinta sesaat tadi telah membangunkan lagi gairahnya. Bukannya tidur, bagian sensitif itu justru mekar mengeras sampai ukuran maksimal. Sambil mengeluh ia mengocoknya, hanya itu jalan satu-satunya supaya tak tersiksa lebih lama.

Belum lama menikmati swalayan, didengarnya teriakan ketakutan Sinta.
"ULAR! TOLOOONNGGG!"
Tanpa berpikir panjang ia berenang ke hulu, ke tempat kakak iparnya mandi.
Seekor ular sebesar lengan orang dewasa melilit tubuh Sinta, cepat dipegangnya kepala ular itu, tangan yang lain mengurai belitan di tubuh telanjang kakak iparnya. Ia berkonsentrasi ke ular, tapi Sinta jadi panas dingin tubuhnya tersentuh adik suaminya.
Laksmana mengambil batu, dipukulnya kepala ular itu sampai pecah. Mati.

Sinta menangis lega memeluknya, lupa kalau mereka berdua telanjang, sampai dirasakannya ada pentungan yang menyodok perutnya. Ia meraba sebelum melihatnya, jelas ukurannya lebih besar dari Rama. Iapun menggerakkan tangannya sepanjang pentungan itu.
Laksmana mengerang, tangannya memegang tangan Sinta menyuruhnya melepaskan genggamannya. Namun gadis itu malah membawa tangan adik iparnya ke semak-semaknya.
Mendapatkan lampu hijau, pemuda itu tak bisa berpikir jernih. Diciumnya Sinta, dibaringkannya di tanah, dan iapun menyatukan tubuh mereka, melupakan dimana mereka berada, hanya ada nafsu sampai keduanya mencapai puncak.

*

Laksmana sedang berada di dekat kuda betina ketika Rama datang membawa seikat kayu bakar dan dua ekor ayam hutan. Menyerahkan ayam, ia menepuk pundak adiknya sambil tertawa, dilihatnya wajah Laksmana berseri-seri, dipikirnya ia benar-benar menyetubuhi binatang itu.
Dua kali berhubungan sex di siang hari, malamnya Rama tidur nyenyak di dekat api unggun. Diam-diam Laksmana naik ke atas kereta dan membangunkan Sinta.
"Laksmana?"
"Ya, Kanda .... Anu ... mmm ...."
Pemuda itu kehilangan kata-kata, rasanya tak sopan mengutarakan mengajak bercinta, tapi ada Rama tak jauh dari situ, bila ia langsung mencumbu, kuatir Sinta akan berteriak.
"Apakah Dinda menginginkanku lagi?"
Laksmana menjawab dengan membuka celananya, Sinta bangkit, menyingkap kainnya lalu menunggingkan pantat. Pemuda itu menggesek-gesekkan dirinya sampai gadis itu basah, lalu masuk dengan tempo cepat. Berusaha tidak bersuara, hanya derit goyangan kereta mengiringi mereka berdua menuju puncak.

*

Bangun dengan bersemangat, mereka meneruskan perjalanan.
Rama melihat Laksmana duduk terkantuk-kantuk sehingga kudapun berjalan tidak lurus.
"Tadi malam sekali lagi?" goda Rama, tanpa sadar Laksmana mengangguk, tawa kakaknya berderai.
"Sini aku yang menjadi kusir, kau tidurlah di dalam kereta."
Rama melihat Laksmana ragu, "sudah puas dengan kuda, kau toh tidak tertarik kepada kakak iparmu, kan? Dan ini siang hari bolong, tak ada setan yang mempengaruhimu."

Laksmana membaringkan tubuhnya berlawanan arah dengan Sinta, kepalanya di arah depan kereta.
Tak ada setan di dalam kereta, yang ada perempuan jalang sedang boring. Digulungnya celana pemuda itu sampai tinggi, memudahkan tangannya menyusup ke dalam, mengelusnya.
"Aarrrgggh!" Pemuda itu menggeram ketika mencapai puncak.
"Ada apa, Dinda?" tanya Rama tanpa menoleh.
"Hamba bermimpi diperkosa kuda betina, Kanda," jawab Laksmana berharap kakaknya percaya dustanya.
Mereka bertiga tertawa.
Laksmana bangkit, berbisik di telinga Sinta, "tunggulah Kanda, entah nanti malam atau saat mandi, tergantung kesempatannya. Hamba tidak terima diperlakukan sepihak tanpa bisa membalas."

*

Hari ini tak menemukan sungai, tapi ada aliran air kecil. Mengikutinya lebih ke hulu, mereka menemukan air menetes deras dari atas laksana pancuran air. Lokasinya di dekat sebuah tanah lapang. Ideal untuk beristirahat.
Laksmana berinisiatif ke hutan, meninggalkan Rama mengurus kereta dan kedua ekor kuda, menambatkannya pada pohon. Setelahnya pemuda itu mengajak istrinya mandi bersama, saling menggosok badan, dan berakhir dengan bercinta dekat kereta, agak jauh dari pancuran. Begitu asyiknya, tak menyadari adiknya sudah kembali dan sempat menonton sambil membersihkan dua ekor kelinci yang didapatkannya.

Setelah makan malam, Rama jatuh tertidur. Pulas. Ia selalu begitu setiap kali puas bercinta.
Laksmana ke Pancuran, membersihkan tubuhnya ketika ia merasakan ada yang mendekatinya.
"Kanda Sintakah itu?"tanyanya tanpa menoleh.
Tak ada jawaban, hanya gemersik suara kain dilepaskan. Pemuda itu menoleh, dalam kegelapan Sinta berdiri di hadapannya tanpa busana.

Entahlah berapa kali mereka bercinta sampai fajar menyingsing. Ketika Laksmana bangun, Sinta telah masuk kembali ke dalam kereta.

*

"Apa enaknya skidipapap dengan kuda?" tanya Rama penuh rasa ingin tahu sambil tertawa.
"Sulit dijelaskan dengan kata-kata," jawab Laksmana juga tertawa, "harus mencoba sendiri."
"Cih! Tak sudi! Lagian kan aku ada istri."
"Itulah, Kanda, asal hamba tak mendengar desah dan erangan erotis Kanda berdua, hamba tak akan terangsang. Di perjalanan seperti ini, bagaimana hamba mencari penyaluran?"
"Tapi kami kan pengantin baru, harap maklum."
"Lakukanlah sore hari, ketika hamba berburu dan mencari kayu bakar."

"Aku masih tak habis pikir," kata Rama berjam-jam kemudian, "kuda betina itu kan terbiasa dengan kuda jantan yang besar ... apakah enak? Tidak longgar?"
"Sangat longgar, Kanda," Laksmana tertawa, "karena itu kemarin Dinda tidak melakukannya dengan si kuda."
"Lalu ...?"
"Kelincinya Dinda perkosa sebelum disembelih."
"Hoeeek."
Rama merasakan isi perutnya bergolak.

"Sabar. Sabar, Kanda. Dinda hanya bercanda." Laksmana panik.
"Kemarin Dinda datang waktu Kanda berdua sedang asyik. Dinda tidak mendekat, tidak mendengar apa-apa, tidak terangsang, tidak memperkosa kelinci."
Rama memukul pundak adiknya, gemas.

Surabaya, 14 Juli 2020
#NWR

SINTA JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang