1

16 2 1
                                    

Sebuah senyum getir terulas di bibir Alina, gadis manis berhijab marun yang sedang bersimpuh di samping pusara yang masih menggunduk tanahnya.

"Ayah, semoga Allah menempatkan Ayah di tempat terindah di sana, ya?" Bibirnya gemetar. "Lina kangen," lirih gadis itu.

Meskipun sekuat tenaga berusaha untuk tak menitikkan air mata lagi, toh nyatanya bulir bening itu meluncur begitu saja di sudut mata. 

Rintik gerimis menyentakkan pikiran Alina tentang masa kebersamaan dengan sang ayah. Ia mendongak, mata menyipit menatap garis air. Kemudian kembali menunduk menatap tanah basah di hadapannya. Tak mempedulikan tetes-tetes air yang semakin rapat.

"Ya Allah, mudahkanlah hisab-Mu untuk ayahku." Kembali gadis itu bergumam penuh harap. Do'a kembali melantun beriringan untuk cinta pertamanya.

Gani, ayah Alina telah berpulang tujuh bulan yang lalu karena sakit maag kronis yang telah lama diderita. Sebagai anak yang paling dekat dengan sang ayah, Alina merasa begitu kehilangan.

Susah payah gadis itu mengembalikan kondisi hati yang berduka karena ditinggal pergi. Bahkan tujuh bulan belum mampu menghilangkan rasa pilu itu.

Sebuah payung terulur menutupi tubuh mungilnya yang mulai basah. Gadis berkulit putih itu kembali menengadah untuk melihat siapa gerangan yang menaunginya.

"Arga?" Alina mengusap air mata, lalu perlahan berdiri. Terlalu lama duduk menyebabkan rasa pegal di kedua kakinya.

Perempuan itu sedikit terhuyung ke samping, namun sebuah tangan kekar terulur menyambut lengannya.

"Hati-hati," ucap lelaki itu pelan, "maaf," lanjutnya sembari melepaskan tangan dari lengan Alina yang tertutup blus panjang.

Aura canggung menyelimuti keduanya. Terlebih Arga, sang sahabat yang selama ini selalu menemani hari-hari Alina. Lelaki dua puluh satu tahun itu tersenyum kikuk dan menggaruk pelipisnya sendiri.

"Pulanglah, Ibumu menyuruhku untuk menjemputmu ke sini."

"Oke," jawab Alina pelan dengan kaki yang sedikit ia hentakkan untuk mengurangi rasa kesemutan yang merayapi.

"Jangan sedih terus, Lin," ucap lelaki berlesung pipi itu dengan tatapan sendu.

"Iya, Ga, aku cuma berdo'a untuk ayah tadi." Netra gadis itu menatap mata kecoklatan sang lelaki, kemudian berpaling memandang rintik hujan dengan mengembuskan napas berat.

Mereka berjalan beriringan meninggalkan area pemakaman ditemani rinai gerimis yang mulai menjelma menjadi hujan.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" Langkahnya terhenti diikuti Alina yang juga berhenti. Matanya menelisik ke dalam iris hitam sang gadis.

"Alhamdulillah, aku baik-baik aja," jawab Alina sembari berusaha tersenyum. "ada perlu apa nih, kamu ke sini?" alihnya, tak ingin terlarut dalam kesedihan.

"Oh, itu ... modulmu ketinggalan di ruang A. 2 tadi, lalu aku antar ke rumahmu." Arga menjelaskan maksud kedatangannya ke rumah Alina.

"Kan bisa kamu bawain besok, Ga? Bisa kamu bawa dulu ke rumahmu."

"Jadi ... aku nggak boleh main ke rumahmu, nih?" sindir Arga pura-pura marah.

"Ish! Maksudku tu biar kamu nggak repot."

"Aku seneng kok kamu repotin."

Suara guntur bergemuruh di langit. Bersamaan dengan ucapan Arga yang baru saja ia katakan.

"Apa?" tanya Alina meminta Arga mengulangi kalimatnya.

"Oh, nothing." Lelaki jangkung itu menggeleng. "Ayo, cepetan. Keburu deras ini."

Cinta Alina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang