3

4 1 1
                                    

POV Author

Alina menatap lurus ke arah dua pria yang baru saja berlalu meninggalkan halaman rumahnya. Menyisakan pilu pada hati sang ibu. Di kursi teras, Ida menunduk sembari sesekali mengusap matanya yang berembun.

Tadi, sewaktu turun dari motor, Alina disambut oleh kehadiran dua orang debt collector yang tengah menagih hutang kepada Ida, dengan tampang garang mereka. Wanita itu memang memiliki cicilan yang harus ia bayar sebesar empat ratus ribu setiap bulannya. Sisa cicilan masih tiga bulan lagi.

Ida biasa membayar tepat waktu, tapi untuk bulan ini dirinya merasa kesulitan untuk mencicil. Ia meminta penangguhan pembayaran selama satu minggu. Meskipun di awal dua petugas itu sedikit membentak, namun akhirnya memberikan kelonggaran kepada Ida hingga minggu depan.

Orderan kue dan snack Ida tak seramai dulu. Munculnya banyak pesaing membuat usaha wanita empat puluh lima tahun itu mengalami penurunan.

[Seandainya Mas Gani masih ada] batin wanita itu meratapi kesendirian dalam berjuang menafkahi kedua buah hatinya.

Dahulu, suaminya yang bekerja di perusahaan konstruksi mampu memberikannya kecukupan materi. Bahkan, biaya kuliah Alina terbayar dengan lancar di setiap semester. Dika, adik Alina pun mampu mereka  sekolahkan di SMP bonafid di kota Jogja.

Sekarang, Ida merasa kesulitan membayar pinjaman dari bank. Sebenarnya uang untuk membayar cicilan sudah terkumpul sejak kemarin, namun tadi pagi harus digunakan untuk membayar LKS Dika sebanyak dua ratus ribu. Tentu saja jumlahnya kurang.

Dana santunan atas kematian sang suami, ia gunakan untuk melunasi pembayaran gedung sekolah Dika yang tak sedikit. Sedangkan sisanya, ia gunakan untuk pembayaran SPP Alina dan Dika serta menambahi modal usahanya.

Ia bertekad tabungannya di bank akan tetap ia pertahankan untuk biaya pendidikan putra putrinya ke depan. Ia sadar betul kalau pendidikan zaman sekarang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi di masa mendatang. Karena itulah, sesulit apapun keuangannya sekarang, ia harus kuat menahan diri untuk tak mengutak atik rekeningnya di bank yang semakin menipis.

Karena kondisi ekonomi yang kian memburuk, ia pun berencana ingin memindahkan Dika ke sekolah negeri ataupun swasta yang biasa saja. Dengan harapan biayanya bisa lebih ringan.

"Sabar, Buk." Alina menghampiri, mengelus bahu sang ibu. Ingin menyalurkan rasa nyaman pada wanita yang telah melahirkannya itu.

Gadis itu kini semakin kalut dan bingung. Pekerjaan tak ia dapatkan, keuangan semakin sulit, ditambah melihat kesedihan sang ibu, benar-benar membuatnya rapuh, ingin berlari sejauh mungkin dari kenyataan. Tapi, ia tak akan membiarkan sang ibu melewati ujian ini sendirian. Kalau bukan dirinya yang menguatkan sang ibu, siapa lagi? Adiknya yang masih kelas tujuh, belum mengerti urusan orang dewasa.

Alina mendekap ibunya erat. Dua perempuan itu kini menangis bersama dalam pelukan.

"Ibu yang sabar, ya? Ada Allah yang akan selalu menolong kita. Ingat kan, Bu? Kita berjanji untuk berusaha menjadi lebih baik apapun ujian yang akan kita hadapi."

"Iya, Lin, Ibu ingat. Ibu menyesal sudah berhutang ke bank. Sekarang Ibu rasakan hilangnya keberkahan. Perasaan, semakin sulit saja keuangan kita. Padahal, Ibu sudah mencoba berhemat sebisa mungkin," keluh Ida di bawah lelehan air matanya.

"Sudah, Buk. Sudah terlanjur. Kita perbanyak istighfar saja sambil berusaha untuk melunasinya. Tinggal tiga bulan lagi, kan?"

Ida mengangguk, melepaskan pelukan dan menatap putrinya. "Kamu jadi melamar kerja di kafe dekat kampus?" tanya Ida sambil mengusap pipi.

"Maaf, Buk." Alina menunduk. "Lina nggak jadi kerja di situ."

Senyum getir muncul di bibir Ida. "Ibu nggak memaksamu untuk bekerja. Kalau kamu nggak sanggup, fokus saja sama kuliahmu. Biar Ibu yang memikirkan biaya pendidikanmu dan adikmu."

Cinta Alina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang