🌷🌷🌷🌷
"Alina! Cepat lanjutkan pekerjaanmu!"
Deg!
Itu suara Pak Alvin. Dengan cepat aku kembali berdiri, berbalik menghadapkan badan ke dosen itu.
"Hehe, Pak Alvin. Kok tumben jam segini sudah datang? Biasanya pas Maghrib baru datang," tanyaku, berusaha menutupi kesalahan.
"Saya bebas datang ke sini kapan pun," ujarnya datar.
Gawat, dia terlihat marah.
"Ini tadi saya cuma bantuin Arga sebentar kok, Pak," ucapku beralasan pada pak bos. "Sorry, Ga, aku harus kerja," pamitku pada Arga kemudian.
"Oke, sorry ya, Lin, udah gangguin," ujarnya.
"Besok lah kalau ada waktu kamu ke rumahku," pesanku padanya.
"Ehheemm!!"
Aku terlonjak kaget.
Terdengar Pak Alvin berdehem cukup keras. Itu pertanda dia tak suka.
"Iya, iya, Pak Alvin, maaf. Saya akan lanjutkan pekerjaan saya." Aku beringsut menjauh dari bangku Arga sembari membawa baki yang sedari tadi teronggok di meja sebelah.
"Eee, maaf, Pak Alvin, jangan memarahi Alina nanti. Dia tidak bersalah. Tadi saya yang memintanya membantu saya," ujar Arga, membuatku menoleh dan urung ke belakang.
Kulihat Pak Alvin masih memasang wajah datar tanpa ekspresi menatap Arga. Selama beberapa detik dua lelaki di hadapanku ini saling beradu pandang dengan tatapan yang ... entahlah. Aku tak mampu menafsirkannya. Tapi, keduanya terlihat tegang. Ada kilat amarah yang muncul di mata mereka.
"Saya harap kamu tidak mengganggunya lagi," tegas Pak Alvin pada Arga, kemudian berlalu masuk ke dalam, melewatiku tanpa menoleh sedikit pun. Galak sekali dia. Ah, salahku juga sih.
Kutatap Arga dengan perasaan tak enak.
Pandangannya terfokus ke punggung dosen kami yang mulai menghilang di balik dinding, lalu beralih menatapku.
"Sorry," ucapku pelan di antara jajaran meja yang terisi pengunjung kafe.
Arga menggeleng, melambaikan tangan memberi isyarat kalau bukan aku yang salah. "Aku yang salah, sorry," ucapnya menyesal. Dia menatapku dengan wajah sendu.
Ah, ekspresi itu membuat perasaanku tak karuan. Ada rasa tak kasat mata yang semakin mengusik hati. Ingin sekali kuungkapkan, namun, rasa takut lebih mendominasi. Takut persahabatan ini akan selesai dan malah menciptakan jarak di antara kami. Kutepis jauh-jauh rasa itu.
Kuanggukkan kepala lalu berbalik, bergegas masuk ke dapur untuk menjemput pesanan berikutnya. Kutinggalkan lelaki itu di sana sendirian.
**
POV Author
Azan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Alina dan Reni mulai bergantian untuk melaksanakan salat di gudang.
"Ren, dengar-dengar, ada kafe baru ya, di pertigaan barat sana?" tanya Alina sembari mulai melepas jarum peniti di leher.
"Hu'um, Kafe Diamond namanya. Kamu belum tahu? Rame lo, Lin." Reni mulai memasang apron setelah selesai salat.
"Aku kan nggak pernah lewat sana," ujar Alina, "kapan dibuka itu?"
"Sudah hampir sebulan kok."
Alina memanggut-manggutkan kepala tanda mengerti. Ia menghubungkan antara sepinya Mamamia dan munculnya kafe baru itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alina
RomanceAlina mengalami dilema, haruskah ia memilih Alvin, sang bos dengan sejuta pesona? Atau Arga, sahabat yang selalu ada dan mengerti dirinya?