Lalu lalang mahasiswa mulai memadati kampus. Alina memarkirkan motornya, lalu berjalan menyusuri halaman kampus menuju FE.
"Lina!" sapa Arga di belakang Alina. Lelaki itu sebenarnya sudah datang sedari tadi dan memilih duduk-duduk di bangku kantin. Begitu muncul Alina, dirinya bergegas menghampiri.
"Hei!" Dengan senyum lebarnya Alina membalas sapaan Arga.
Dua sejoli itu berjalan beriringan. Beberapa pasang mata memandang mereka dengan tatapan penuh tanya.
"Ga, kamu lihat mereka?"
"Hm? Siapa?"
"Itu, tadi, mereka mungkin mengira kita ada apa-apa, lho."
"Oh, biarin aja."
Hati Alina tercubit. Lelaki di sampingnya hanya berucap sesingkat itu. Dirinya semakin yakin kalau Arga memang hanya nenganggapnya sahabat. Tidak lebih. Ia akan menepis jauh harapannya.
"Eh! Malah bengong." Arga menepuk pundak Alina pelan.
"Oh, hehe. Aku cuma bingung, Ga."
Seketika wajah Arga menyiratkan keprihatinan. Menatap sendu gadis di sebelahnya.
"Soal kerjaan?" terka Arga.
"Iya," jawab Alina sedikit berbohong sembari terus berjalan. Sebenarnya bukan hanya masalah perekonomian keluarganya saja yang mengganggu ketenangan pikiran, melainkan sikap lelaki itu juga mengusik ketenangan hatinya.
Tak ingin berharap muluk-muluk pada angannya, Alina beralih menceritakan peristiwa di kafe Mamamia, juga kebingungannya yang ingin bekerja tapi tetap ingin kuliah. "Bukankah perusahaanmu hanya beroperasi di siang hari? Kalau aku kerja, otomatis harus berhenti kuliah."
"Sebenarnya bisa saja aku meminta Ayah untuk memberimu posisi yang bisa kamu handel sebisamu. Jadi, saat jadwal kuliahmu nggak terlalu padat, kamu bisa ke kantor."
"Apa?" Alina berdecak. "Itu namanya nggak prosfesional, Ga. Apa kata pegawai lainnya nanti? Huh, bisa-bisa mereka protes nanti. Sama saja aku makan gaji buta."
"Kamu meminta uang berapapun bakal aku kasih tanpa harus bekerja, Lin," ucap Arga pelan. Pelan sekali, sampai Alina hampir tak mendengarnya.
"Apa?" Kembali Alina terkejut. Namun kali ini ingin memastikan telinganya tak salah dengar.
Arga hanya menggeleng dan tersenyum kecut.
Getar ponsel Alina di dalam tas, menyela percakapan keduanya. Panggilan dari sebuah nomer asing muncul di layar. Alina buru-buru menggeser tanda hijau di layar.
"Halo."
"...."
Gadis itu menghela napas dalam. Muncul ekspresi marah sesaat, kemudian perlahan berganti senyum kecil.
Senyuman Arga terkembang menikmati perubahan ekspresi gadis di sebelahnya. Dari mulai marah, kemudian berubah datar, lalu sedikit senyuman mulai tercetak di wajah cantik Alina. Lelaki itu terkesima oleh wajah Alina yang seperti bidadari. Hingga pekikan Alina menyadarkannya.
"Alhamdulillaaah, Ga! Akhirnya aku diterima di kafe Mamamia!" Tawa riang Alina pecah.
Alis Arga bertaut, keningnya mengkerut. Baru saja gadis itu bercerita tentang kejadian tak mengenakkan di kafe itu kemarin, sekarang tiba-tiba mau bekerja di sana.
"Apa?" tanya Arga, "kok bisa?"
"Iya, jadi akhirnya Pak Alvin ngijinin aku tetap pakai jilbab saat kerja nanti, tapi ya ... harus tetap pakai
seragam." Alina mengembus napas lega. "Oke, aku bisa pakai manset." Mata Alina berbinar, masalahnya terpecahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alina
RomanceAlina mengalami dilema, haruskah ia memilih Alvin, sang bos dengan sejuta pesona? Atau Arga, sahabat yang selalu ada dan mengerti dirinya?