5

7 0 0
                                    

Alvin berdiri tegak dengan posisi kedua tangan di saku celana. Tatapannya yang tajam perlahan menghilang berganti tatapan heran.

"Kamu ngapain tadi? Shalat?" tanya Alvin, kemudian satu tangannya mengusap dagu, "apa perlu kamu melakukan itu saat kafe sedang sibuk-sibuknya?"

Gadis berwajah oval itu menelan ludah karena takut. Sebenarnya bos di depannya itu tidak terlihat marah, malah cenderung bersikap heran dan ingin tahu. Tapi, tetap saja, karena merasa telah melakukan sesuatu di luar ketentuan, ia merasa takut.

Alina memberanikan diri untuk menjawab, "Tentu saja, Pak. Saya muslim, jadi harus melaksanakan kewajiban saya."

"Emm, yang lain juga muslim, tapi ... tak ada yang beribadah seperti dirimu. Bukankah lebih baik kamu beribadah di rumah saja? Jadi, tak akan mengganggu pekerjaanmu," ucapnya datar.

Alina beristighfar dalam hati, menarik napas dalam. Lelaki di depannya ini sepertinya minta ditabok, kalau perlu akan Alina cubit ginjalnya supaya sadar.

"Shalat itu kewajiban setiap orang yang mengaku beragama Islam, Pak Alvin, dan itu dilakukan sehari lima waktu. Jadi, saya juga akan mengerjakannya sehari lima kali," jawab Alina pelan tapi penuh penekanan. Ia berpikir, mungkin saja dosennya itu memang tak tahu tentang kewajiban shalat. Bukankah di kampus dia memang diketahui tak beragama? Begitulah pikir Alina.

Alvin bersedekap, masih menatap Alina. "Tapi, lihat mereka," tunjuknya ke arah dua chef yang sedang sibuk menata menu dan dua pramusaji yang sekilas melihat ke arah Alina dan bos mereka. "Mereka tenang saja melakukan pekerjaan tanpa beribadah."

Alina kembali menghela napas panjang.

"Itu karena Pak Alvin tak menyediakan waktu dan tempat untuk mereka beribadah, dan mungkin mereka takut kalau melakukannya akan Bapak marahin," ujar Alina sembari merapikan kerudung.

"Ya ... karena itu memang mengganggu jam kerja. Bayangkan saja kalau semua harus beribadah saat ada adzan. Gimana para pelanggan nanti?"

"Ah, Pak Alvin ini. Islam itu tak mempersulit kok, Pak. Mereka bisa bergiliran, kan?" jawab Alina yang mulai memasangkan apron ke badan.

Sedangkan Alvin terlihat serius menatap mahasiswinya itu. Seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Boleh saya ke depan?" tanya Alina yang sudah rapi. Ia mulai berlalu dari hadapan sang bos.

"Oh, tentu saja." Alvin tersentak. "Cepat lanjutkan pekerjaanmu. Jangan sampai pekerjaan teman-temanmu keteteran gara-gara kamu tinggal terlalu lama."

Alina menghentikan langkah dan berbalik menatap bosnya. "Bukankah dari tadi Pak Alvin yang mengajak saya ngobrol?" protesnya.

"Oh, ah, iya. Cepat kamu ke depan!" perintah Alvin, sembari mengusap tengkuk. Lelaki itu tak biasanya terlihat kikuk. Ada yang sesuatu yang mengganjal di hati dan mengusik pikiran setelah perbincangan singkat dengan anak buah barunya itu. Ia menatap punggung Alina yang berjalan ke depan.

**

Seminggu kemudian

Selepas Shubuh, Alina dan sang ibu mulai berkutat di dapur. Ida baru saja selesai menanak nasi. Wanita paruh baya itu terlihat mengembuskan napas panjang, pertanda tengah galau.

"Kenapa, Buk?" tanya Alina. Rupanya ia menangkap sesuatu yang lain dari ekspresi ibunya. Ida memang wanita yang ekspresif. Begitu ia sedang bersedih karena suatu hal, akan tampak dari raut wajahnya.

Ida terduduk di kursi plastik di samping meja dapur.

"Besok jatuh tempo pembayaran cicilan bank." Wanita itu mengusap wajah. Bingung. "Tapi belum ada uang, Lin. Uang yang sudah Ibu kumpulin seminggu kemarin, Ibu pakai untuk beli mikser baru. Mikser yang lama benar-benar sudah rusak. Padahal ada pesanan bronis hari ini, terpaksa Ibu membeli mikser dulu."

Cinta Alina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang