BAGIAN 3

245 16 0
                                    

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahaya di ufuk timur, pasukan prajurit Karang Setra yang berjumlah dua ratus orang sudah berada di Desa Kandaga ini. Mereka dipimpin langsung oleh Panglima Wirasaba. Namun orang tua itu sama sekali tidak memandang Rangga sebagai raja di desa ini. Dan memang selalu begitu yang terjadi kalau Rangga berada di luar istananya. Rangga tidak mau diperlakukan sebagai raja, kalau sedang mengembara.
Pendekar Rajawali Sakti langsung membawa Panglima Wirasaba ke rumah Ki Kahuri, setelah menempatkan prajuritnya diperbatasan desa ini yang dilalui orang-orang Partai Tengkorak Hitam semalam. Ki Kahuri begitu senang sekali menerima kedatangan Rangga dan Panglima Wirasaba yang merupakan panglima tertinggi di Kerajaan Karang Setra.
Namun Rangga, dan Panglima Wirasaba tidak lama berada di rumah kepala desa ini, karena harus kembali bergabung bersama para prajurit penjaga perbatasan yang sudah mendirikan tenda-tenda di sana. Sementara pemuda-pemuda desa yang memang sudah diperintahkan Ki Kahuri, ikut membantu memperkuat prajurit yang akan menyelamatkan desa ini dari kehancuran orang-orang Partai Tengkorak Hitam.
"Kau datang tidak bersama Pandan Wangi, Paman. Di mana dia...?" tanya Rangga langsung, begitu berada dalam tenda yang disediakan untuk Panglima Wirasaba.
"Raden Danupaksi meminta Nini Pandan Wangi membantunya mengatur penjagaan di seluruh gerbang masuk ke Karang Setra," sahut Panglima Wirasaba.
"Apakah sudah ada tanda-tanda mereka berada di sekitar Karang Setra, Paman?" tanya Rangga lagi.
"Belum," sahut Panglima Wirasaba.
"Aku hanya berharap, mereka memang hanya melalui desa ini saja. Sehingga kita bisa lebih mudah memukul mundur mereka," ujar Rangga agak mendesah, seperti bicara pada diri sendiri.
"Mudah-mudahan saja begitu, Gusti Prabu," sahut Panglima Wirasaba.
"Jangan menyebutku begitu, Paman. Panggil saja aku Rangga. Kau tahu, kan? Aku tidak ingin semua orang di desa ini tahu siapa aku sebenarnya," kata Rangga, langsung menegur.
"Oh, maaf," ucap Panglima Wirasaba jadi tersipu.
"Ah, sudahlah.... Yang penting sekarang, kita hrus mempersiapkan diri menghadapi serangan mereka. Aku berfirasat malam nanti mereka akan kembali menyerang desa ini," kata Rangga tidak ingin memperpanjang.
"Tapi yang kudengar, mereka tidak selalu bergerak malam hari, Rangga. Kapan pun mereka mau, pasti akan menyerang dan menghancurkan desa atau kota-kota yang dilalui. Mereka sepertinya ingin menguasai seluruh dunia ini," kata Panglima Wirasaba yang rupanya sudah tahu tentang Partai Tengkorak Hitam.
"Kalau begitu, semua prajurit harus tetap disiagakan siang dan malam," kata Rangga.
"Memang begitu yang diperintahkan Raden Danupaksi," sambung Panglima Wirasaba.
Rangga mengangguk-angguk. Rupanya Danupaksi juga begitu cepat menanggapi akan bahaya ini. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menyiagakan seluruh prajurit Karang Setra. Tindakan yang diambil Danupaksi membuat Rangga menjadi lebih lega perasaannya.
"Aku pergi dulu, Paman," kata Rangga sambil bangkit berdiri.
Dan sebelum Panglima Wirasaba bisa bertanya, Rangga sudah melangkah keluar dari tenda. Sementara, Panglima Wirasaba mengikuti dari belakang. Seorang prajurit langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti sambil menuntun kuda hitam Dewa Bayu. Rangga menerima tali kekang kuda tunggangannya, dan cepat melompat naik. Sebentar ditatapnya Panglima Wirasaba, kemudian kudanya diputar berbalik.
"Hiyaaa...!" Tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung menggebah cepat kudanya meninggalkan perbatasan Desa Kandaga yang kini dijaga dua ratus orang prajurit dari Karang Setra, dipimpin langsung Panglima Wirasaba. Sengaja Rangga menelusuri arah yang dilalui orang-orang Partai Tengkorak Hitam semalam. Masih begitu jelas terlihat jejak-jejak mereka yang terus menembus hutan.
"Hooop...!" Rangga menghentikan lari kudanya, setelah tiba di tengah hutan. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dengan gerakan begitu ringan. Begitu banyak jejak kaki tertera di dalam hutan ini, dan sangat jelas terlihat. Sambil menuntun kudanya, Rangga berjalan mengikuti jejak-jejak kaki itu yang semakin jauh masuk ke dalam hutan ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berhenti, setelah sampai di tepi hutan. Tampak di depannya sebuah padang rumput yang sangat luas, membentang bagai tidak bertepi.
Seketika itu juga seluruh aliran darahnya berdesir, begitu melihat di tengah-tengah padang rumput itu berdiri sebuah bangunan berbentuk benteng yang sangat besar. Dan di tengah-tengah benteng itu, terlihat sebuah umbul-umbul berwarna hitam, yang bagian tengahnya bergambar tengkorak manusia dengan dua buah pedang tersilang.
"Tengkorak Hitam...," desis Rangga perlahan.
Sama sekali Rangga tidak menduga kalau Partai Tengkorak Hitam sudah mendirikan benteng pertahanan, tidak jauh dari Karang Setra. Padahal hanya dibutuhkan setengah hari saja untuk sampai ke Karang Setra dari tempat ini. Sementara halangan satu-satunya adalah Desa Kandaga. Walaupun sekarang sudah diperkuat dua ratus prajurit pilihan, tapi masih juga terselip keraguan di dalam hati Pendekar Rajawali Sakti melihat bangunan benteng di tengah padang rumput itu sangat besar.
Sudah tentu benteng itu bisa memuat ribuan orang. Sedangkan jumlah prajurit Karang Setra seluruhnya tidak sampai tiga ribu orang. Kalau digempur dengan kekuatan sangat besar, apalagi mereka dari kalangan persilatan, rasanya sulit untuk bisa bertahan Rangga bisa menyadari ancaman yang tidak bisa dipandang sebelah mata ini. Bahkan suatu ancaman yang bisa membuat runtuhnya Karang Setra, dari orang-orang yang berada di bawah naungan Panji Tengkorak Hitam.
"Tidak kusangka rnereka begitu besar kekuatannya," gumam Rangga bicara pada diri sendiri.
Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan sekitar bangunan benteng di tengah padang rumput yang luas bagai tidak bertepi ini. Sunyi sekali keadaannya, seperti tidak berpenghuni sama sekali. Tapi dia yakin, tempat itu terjaga sangat ketat, dan tidak mungkin bisa mudah didekati. Mereka yang ada di dalam benteng itu sudah barang tentu bisa cepat mengetahui, siapa saja yang datang. Bangunan seperti benteng pertahanan itu berdiri di tengah-tengah padang rumput yang sangat luas, hingga tidak mungkin didekati secara sembunyi-sembunyi.
"Hm, ada yang keluar...," kembali Rangga menggumam.
Terlihat pintu benteng itu terbuka perlahan-lahan. Kemudian tampak serombongan orang berpakaian serba hitam keluar dari dalam bangunan berpagar tinggi dari balokan kayu pohon yang sangat kokoh itu. Entah berapa orang yang keluar. Tapi yang pasti, jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan mereka semua menunggang kuda. Saat itu juga, jantung Rangga seakan jadi berhenti berdetak, melihat rombongan kuda yang ditunggangi orang berpakaian serba hitam bergerak menuju ke arahnya dengan cepat.
"Uh! Mereka akan menyerang Desa Kandaga lagi," dengus Rangga dalam hati.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, cepat Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Lalu digebahnya Dewa Bayu dengan kecepatan tinggi. Langsung diterobosnya hutan yang tidak begitu lebat ini. Sementara, rombongan orang berbaju serba hitam dari Partai Tengkorak Hitam terus bergerak menuju Desa Kandaga seperti dugaan Rangga tadi. Sedangkan Rangga sendiri sudah terlalu jauh memacu kudanya, menembus hutan yang tidak begitu lebat ini. Begitu cepat Dewa Bayu berlari, hingga sebentar saja sudah dekat dengan perbatasan Desa Kandaga.
Rangga melihat semua prajurit Karang Setra yang ditempatkan di desa itu masih tetap berjaga-jaga. Dan terlihat Panglima Wirasaba berada di antara prajuritnya bersama Ki Kahuri. Melihat kedatangan Rangga yang memacu cepat kudanya, mereka bergegas menghampiri.
"Hup!" Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah berada dekat di depan Panglima Wirasaba dan Ki Kahuri. Kuda hitam tunggangannya berhenti cepat sekali, tanpa mengeluarkan ringkikan sedikit pun juga.
"Ada apa, Rangga? Kenapa seperti dikejar setan...?" tanya Panglima Wirasaba langsung.
"Siapkan semua prajurit, Paman. Mereka sedang menuju tempat ini," kata Rangga memberi tahu.
"Apa...?!" Ki Kahuri jadi terbeliak mendengar laporan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak disangka kalau Partai Tengkorak Hitam akan menyerang kembali malam ini juga. Padahal, menurut perkiraannya mereka tentu akan datang kembali besok malam.
Sementara itu Panglima Wirasaba sudah mengumpulkan seluruh prajuritnya yang ada. Kemudian diaturnya para prajurit untuk mengadakan penyergapan di perbatasan desa ini. Sebentar saja, semua prajurit Karang Setra sudah tidak terlihat lagi, bersembunyi di balik pohon dan gerumbul semak untuk menyergap orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam.
Panglima Wirasaba kembali menghampiri Rangga setelah merasa prajuritnya sudah menempati tempat yang diinginkan. Sedangkan Ki Kahuri sendiri sudah pergi untuk mengamankan penduduknya, setelah mendapat perintah dari Pendekar Rajawali Saka. Malam itu juga, Desa Kandaga kembali terlihat riuh oleh suara orang-orang yang bergerak menjauhi desa ini, ke tempat yang lebih aman dari jangkauan pertempuran yang pasti bakal terjadi. Ki Kahuri sendiri bersama para pemuda desa sudah siap membantu para prajurit Karang Setra yang akan menyergap orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam.
"Berapa orang kekuatan mereka, Rangga?" tanya Panglima Wirasaba.
"Mungkin lebih dari seratus orang," sahut Rangga.
"Hm," Panglima Wirasaba hanya menggumam sedikit.
"Tapi jangan menganggap enteng mereka, Paman. Mereka orang-orang persilatan yang kemampuannya sudah pasti berada di atas rata-rata kemampuan prajurit terlatih. Kau harus membuat siasat, agar mereka tidak sampai menjarah desa ini. Juga tidak mengorbankan prajurit terlalu banyak," kata Rangga memberi pendapat.
"Aku tahu, Rangga. Itu sebabnya, aku persiapkan pasukan panah lebih dulu, untuk menghadang mereka di depan. Kalau jumlah mereka sudah berkurang, baru kukerahkan pasukan penyerbu dari segala arah. Bahkan aku sudah mengatur, supanya mereka berada di tengah-tengah," kata Panglima Wirasaba memberitahukan semua siasatnya.
"Bagus! Aku ingin mereka semua musnah, agar pemimpin mereka berpikir seribu kali untuk menyerang Karang Setra. Mereka harus tahu kalau Karang Setra tidak semudah yang dikira untuk diserang begitu saja," sambut Rangga mantap.
"Aku akan hancurkan siapa saja yang mencoba mengganggu ketenteraman Karang Setra, Rangga," tegas Panglima Wirasaba.
Rangga tersenyum senang mendengarnya. Dan saat itu terdengar suara menggemuruh dari hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari dalam hutan. Dan tidak lama kemudian, terlihat orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam bermunculan dari dalam hutan sambil memacu kudanya begitu cepat. Mereka berteriak-teriak sambil mengangkat senjata masing-masing. Gerakan mereka begitu cepat, seperti hendak menyerang sebuah benteng pertahanan.
"Pasukan panah, siaaap...!" teriak Panglima Wirasaba langsung memberi perintah.
Saat itu juga, dari balik pepohonan bermunculan para prajurit Karang Setra dengan anak panah terpasang dibusur. Sekitar dua puluh orang prajurit pemanah sudah siap menunggu perintah. Sedangkan Panglima Wirasaba menunggu sampai orang-orang berpakaian serba hitam itu berada dalam jangkauan anak panah prajuritnya.
"Seraaang...!" teriak Panglima Wirasaba tiba-tiba. Suaranya keras dan lantang menggelegar.
Dan seketika itu juga, puluhan batang anak panah berhamburan menghujani orang-orang berkuda yang semuanya berbaju hitam gelap. Serangan panah itu sama sekali tidak terduga, sehingga mereka yang berada di depan tidak sempat lagi menghindarinya. Dan malam ini, kembali dipecahkan oleh jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian. Ringkikan kuda berbaur menjadi satu dengan teriakan-teriakan pembangkit semangat pertempuran.
Namun sungguh tidak diduga sama sekali. Walau dihadang puluhan panah yang meluncur bagai hujan itu, mereka tetap bergerak maju penuh semangat. Tidak dipedulikan lagi teman-teman mereka yang berjatuhan tertembus panah. Dan pada saat mereka sudah masuk ke dalam perangkap yang dibuat, Panglima Wirasaba langsung memberi perintah dengan suara lantang menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dari balik gerumbul semak belukar dan pepohonan berlompatan prajurit-prajurit Karang Setra dari segala arah. Kemunculan para prajurit, tentu saja membuat orang-orang berpakaian serba hitam ini jadi terkejut setengah mati. Tapi mereka tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Prajurit-prajurit pilihan dari Karang Setera itu begitu cepat bergerak, menyerang dari segala penjuru. Maka pertarungan tidak dapat lagi dihindari.
Sedangkan pasukan panah sudah tidak lagi melepaskan anak-anak panahnya. Mereka kini sudah siap dengan pedang di tangan, menunggu perintah dari panglimanya. Jeritan-jeritan panjang melengking mengiringi kematian terdengar saling sambut, ditingkahi denting senjata dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur.
Tampak dalam waktu tidak begitu lama, orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam sudah tidak berdaya lagi menghadapi gempuran prajurit pilihan Kerajaan Karang Setra. Mereka juga mendapat kesulitan untuk keluar dari ajang pertarungan ini. Sepertinya, semua sudut sudah dikuasai para prajurit. Tapi beberapa orang berhasil juga melepaskan diri dari ajang pertarungan. Mereka yang berhasil lolos segera memacu cepat kudanya kembali ke benteng pertahanan di tengah padang rumput yang ada di balik hutan itu.
"Mereka tidak mau menyerah juga, Rangga," desis Panglima Wirasaba, saat melihat orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang sudah berkurang jauh jumlahnya masih saja tetap mencoba bertahan. Padahal mereka sudah tidak mungkin lagi memenangkan pertarungan ini.
"Sudutkan mereka ke hutan," perintah Rangga. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Panglima Wirasaba segera berteriak memberi perintah untuk menyudutkan lawannya ke hutan. Maka kini semua prajurit segera mengatur tempat masing-masing sambil terus merangsek lawan. Sedikit demi sedikit orang-orang berpakaian serba hitam itu bergerak mundur mendekati hutan.
"Siapkan pasukan panah, Paman," ujar Rangga memberi perintah lagi.
Panglima Wirasaba segera berteriak memberi perintah pada pasukan panah.
"Perintahkan prajuritmu mundur," perintah Rangga lagi.
"Munduuur...!" teriak Panglima Wirasaba.
"Serang mereka dengan panah, Paman!"
"Pasukan panah, seraaang...!"
Wusss! Wing...! Crab! Jleb!
"Aaa...!" Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar, saat prajurit panah Karang Setra menghujani orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Begitu cepat serangan itu berlangsung, hingga tidak ada satu pun yang sempat menyadari. Hingga dalam waktu yang tidak lama, mereka semua sudah ambruk tertembus panah yang mematikan.
Sedangkan Panglima Wirasaba segera memerintahkan prajuritnya untuk berhenti menyerang. Seketika itu juga, suasana jadi sunyi tanpa terdengar suara pertarungan sedikit pun juga. Sementara Rangga yang masih tetap didampingi Panglima Wirasaba, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di tempatnya. Dalam pertarungan itu, hanya sepuluh orang prajurit yang terbunuh. Dan hanya lima orang saja yang menderita luka ringan.
Siasat yang dijalankan Panglima Wirasaba memang sangat handal. Sehingga tidak perlu mengorbankan banyak prajurit untuk menghancurkan orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam.
"Singkirkan mereka, Paman. Sementara aku akan mengawasi sarang mereka lagi," kata Rangga sambil melompat naik ke punggung kudanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Panglima Wirasaba segera memerintahkan prajuritnya untuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sedangkan saat ini, Rangga sudah memacu kudanya dengan cepat, meninggalkan perbatasan Desa Kandaga, langsung masuk ke dalam hutan yang tidak seberapa lebat itu. Sementara itu, Ki Kahuri mengerahkan penduduk desanya untuk membantu prajurit Karang Setra menyingkirkan mayat-mayat itu.
Ketika semua sibuk membersihkan ajang pertarungan dari mayat-mayat yang bergelimpangan, Rangga sudah kembali berada di tepi padang rumput untuk mengawasi benteng pertahanan Partai Tengkorak Hitam. Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat sekitar lima belas orang yang berhasil lolos dari kepungan prajurit Karang Setra, kembali masuk ke dalam benteng di tengah padang rumput itu.
"Biar mereka terbuka matanya, kalau tidak mudah menyerang Karang Setra...!" dengus Rangga, bernada sinis.

***

133. Pendekar Rajawali Sakti : Tengkorak HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang