BAGIAN 4

250 16 1
                                    

Tidak ada seorang pun lagi yang keluar dari dalam bangunan berbentuk benteng di tengah padang rumput itu, sampai matahari naik tinggi menerangi jagad raya ini. Sementara Rangga masih tetap mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi. Dan di sampingnya kini sudah ada Panglima Wirasaba bersama Pandan Wangi yang datang kembali ke Desa Kandaga pagi-pagi tadi, dengan membawa tambahan prajurit sebanyak tiga ratus orang.
Pandan Wangi sendiri sudah mengamati semua gerbang masuk ke Karang Setra. Dan gadis itu tahu kalau tidak ada satu kelompok pun dari Partai Tengkorak Hitam di sana. Mereka memang semua berada di tempat ini. Partai Tengkorak Hitam mencoba menyerang Karang Setra dari Desa Kandaga, karena memang bisa dikatakan sangat lemah pertahanannya. Untung saja, Rangga dan Pandan Wangi cepat mengetahui. Sehingga mereka tidak sempat mendekati Karang Setra. Dan tampaknya, mereka kini benar-benar mendapat rintangan berat untuk menaklukan Karang Setra.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita pusatkan saja pertahanan di sekitar daerah ini..?" ujar Pandan Wangi memberi saran.
"Tidak mudah bertahan di tempat terbuka seperti ini, Pandan. Mereka bisa dengan mudah menerobos dari bagian lain. Aku kira, bertahan di Desa Kandaga lebih baik. Mereka tidak akan bisa masuk dari arah lain. Hanya hutan ini satu-satunya yang bisa dilewati," kata Rangga langsung menentang saran Pandan Wangi.
"Benar, Nini Pandan. Hutan ini diapit jurang-jurang yang dalam, dan tidak bisa dilalui seorang pun. Kalau mereka memilih menyerang dari sebelah timur, harus melewati bukit itu lebih dulu," sambung Panglima Wirasaba, seraya menunjuk sebuah bukit batu yang menjulang tinggi di sebelah timur.
"Kalau mereka pergi juga ke sana, itu lebih baik lagi, Paman. Mudah bagi kita untuk menghancurkannya. Karena di sana ada lembah buntu yang bisa digunakan untuk menyudutkan mereka," sambung Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi yang pasti mereka tidak bodoh untuk ke sana, dan tentu akan terus berusaha menggempur dari sini. Karena jalan ini yang termudah ke Karang Setra," kata Panglima Wirasaba lagi.
"Tapi kalau mereka melalui sebelah barat, bagaimana...?" tanya Pandan Wangi.
"Aku sudah mengirim seorang utusan untuk Danupaksi, agar memusatkan pertahanan di sebelah barat. Di sana memang mudah dilaluinya," jelas Rangga.
"Benar, Gusti Prabu. Tapi mereka harus menyeberangi Sungai Nagarawi lebih dulu. Jadi, sudah tentu prajurit kita bisa mudah menghalau mereka sebelum sampai menyeberangi sungai," selak Panglima Wirasaba. "Aku kira, mereka tidak akan menempuh jalan lain lagi. Mereka pasti akan tetap menyerang dari sini dengan segala cara. Apalagi mereka sudah mendirikan benteng pertahanan di sini. Sudah pasti semua kekuatan sekarang berada di tempat ini."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak menyerang saja lebih dulu, Paman?" kembali Pandan Wangi memberi saran.
"Tidak semudah seperti bayanganmu, Pandan. Kau lihat sendiri keadaannya. Belum juga sampai ke sana, pasti prajurit kita sudah habis dibantai dengan panah," kata Rangga.
Pandan Wangi jadi tertegun. Memang serba sulit keadaan ini. Mereka tidak bisa menyerang benteng itu. Tapi orang-orang di dalam benteng itu juga mendapat kesulitan untuk menyerang Karang Setra. Karena memang hanya satu jalan ini yang mudah untuk masuk ke Karang Setra. Sedangkan untuk melalui jalan lain, mereka tentu tidak mau mendapat bahaya yang terlalu besar. Dan Pandan Wangi cepat menyadari keadaannya.
"Kakang, coba lihat di sana...!" seru Pandan Wangi seraya menunjuk ke kanan.
Rangga dan Panglima Wirasaba segera melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk si Kipas Maut. Seketika kedua bola mata mereka jadi tercengang, melihat serombongan orang berpakaian serba hitam yang begitu besar jumlahnya, bergerak menuju benteng Partai Tengkorak Hitam. Dan saat itu, pintu pagar benteng terbuka lebar. Rombongan orang-orang berpakaian serba hitam yang berjumlah sangat besar itu langsung masuk ke dalam benteng pertahanan di tengah-tengah padang rumput yang sangat luas ini.
Tampak di antara mereka terlihat sebuah kereta kuda yang sangat indah, ditarik delapan ekor kuda putih. Di dalam kereta itu, duduk seorang pemuda berwajah tampan, berpakaian indah seperti seorang raja yang dikawal ratusan orang berpakaian serba hitam. Tak lama rombongan itu pun masuk ke dalam bangunan benteng di tengah padang rumput ini. Pintu gerbang benteng itu kembali tertutup perlahan-lahan, setelah semuanya masuk.
Entah berapa jumlah mereka yang baru datang itu. Tapi Rangga sudah bisa memperkirakan kalau jumlah mereka lebih dari dua ratus orang. Dan semuanya tertampung di dalam benteng yang sangat besar itu. Untuk beberapa saat, mereka bertiga jadi terdiam. Tidak bisa dibayangkan, berapa jumlah kekuatan Partai Tengkorak Hitam yang ada di dalam benteng itu. Sedangkan mereka yakin, jumlah itu mungkin belum ada setengahnya dengan mereka yang masih berada di seluruh penjuru rimba persilatan. Rangga jadi berdecak sambil menghembuskan napas panjang.
"Kakang.... Apakah kita mampu menghadapi mereka...?" ujar Pandan Wangi dengan nada terdengar ragu, melihat kekuatan lawan yang begitu besar.
"Hhh...!" Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menghembuskan napas panjang-panjang dan begitu dalam. Pendekar Rajawali Sakti sendiri juga tidak tahu, apakah jumlah prajurit Karang Setra yang mungkin hanya kurang dari setengahnya bisa menghadang orang-orang Partai Tengkorak Hitam? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tapi yang pasti, kejayaan Karang Setra kini benar-benar terancam. Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu mempertahankan tanah kelahirannya dari kehancuran...?
Sementara mereka bertiga tengah terdiam membisu, dari arah lain muncul rombongan lagi dan orang-orang berpakaian serba hitam yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah tadi. Mereka juga masuk ke dalam benteng itu. Dan saat itu juga, terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dari dalam benteng. Tidak lama kemudian, kembali terlihat satu rombongan lain lagi datang ke benteng dengan jumlah tidak kalah besar. Dan kali ini, mereka tidak masuk ke dalam benteng, melainkan mendirikan tenda tenda di sekeliling benteng yang mungkin sudah padat.
Pintu gerbang pun kini terbuka lebar-lebar. Mereka kini benar-benar bagai pasukan prajurit sebuah kerajaan yang sangat besar, hendak menggempur Karang Setra. Entah berapa ribu orang yang ada sekarang. Sedangkan saat ini masih saja ada yang berdatangan walau lebih sedikit. Dan Rangga sudah memperkirakan kalau jumlah mereka lebih dari sepuluh ribu orang. Hal ini tentu saja membuat hatinya semakin gelisah saja. Dibanding kekuatan prajurit Karang Setra yang hanya berjumlah tidak lebih dari dua ribu, rasanya sangat sulit menghadapi gempuran Partai Tengkorak Hitam yang berlipat ganda itu.
"Ah! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga dalam hati.
Kali ini Rangga benar-benar diliputi kegelisahan yang amat sangat, melihat jumlah yang akan menyerang tanah kelahirannya demikian besar. Bahkan berlipat ganda daripada prajurit yang ada di Karang Setra. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri, tidak mungkin bisa menghadapi orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam seorang diri saja. Walaupun dirinya seorang pendekar digdaya pilih tanding, tetap saja seorang manusia yang memiliki keterbatasan.
Rangga hanya bisa memerintahkan Panglima Wirasaba untuk menarik sebagian besar prajurit Karang Setra ke Desa Kandaga. Karena, memang hanya dari desa ini saja orang-orang Partai Tengkorak Hitam bisa masuk ke Karang Setra. Bahkan Danupaksi dan Cempaka juga sudah berada di desa ini bersama para panglima Kerajaan Karang Setra. Danupaksi sendiri mengerahkan satria-satria Karang Setra, untuk memperkuat pertahanan di Desa Kandaga ini.
Sehingga desa yang semula selalu sunyi, kini ramai dihuni para prajurit dari Karang Setra dan para satria yang dibawa Danupaksi. Sedangkan Rangga sendiri tidak lepas, selalu mengamati segala bentuk kegiatan yang terjadi di sekitar bangunan besar berupa benteng yang dihuni orang-orang Partai Tengkorak Hitam itu.
"Hhh...! Mungkinkah ini akhir dari kejayaan Karang Setra...?" desah Rangga mengeluh lirih.
"Belum, Kakang," tandas Pandan Wangi Rangga melirik sedikit pada gadis cantik yang selalu mendampinginya. Terdengar tarikan napasnya yang begitu dalam dan terasa berat. Sedangkan Pandan Wangi sendiri hanya memandangi raut wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga. Bisa dirasakan keresahan yang melanda hati pemuda ini. Keresahan yang teramat sulit digambarkan dengan kata-kata.
Beberapa kali Karang Setra dilanda kerusuhan dan serangan dari luar. Tapi tidak sehebat kali ini. Dan selama itu, mereka selalu dapat menghalau para perusuh yang mencoba mengganggu ketenteraman kerajaan ini. Rangga sendiri sebelumnya belum pernah terlihat resah seperti sekarang. Seakan-akan sudah bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi pada kerajaan yang didirikan dengan pengorbanan darah itu.
"Kau lihat, Pandan.... Jumlah mereka lima kali lipat jumlah prajurit yang kumiliki. Dan mereka rata-rata dari kalangan persilatan yang sudah berpengalaman dalam segala bentuk pertempuran," ujar Rangga lagi bernada mengeluh.
"Tapi kita memiliki banyak satria yang berkepandaian tinggi, Kakang," sambung Pandan Wangi, kembali memberi dorongan semangat.
"Hanya lima puluh orang satria yang ada di Karang Setra sekarang ini, Pandan. Dan itu tidak cukup untuk menghadapi ribuan orang yang sudah berpengalaman dalam pertempuran."
"Kakang... Kenapa kau jadi ragu dengan kekuatan sendiri...? Kau seperti bukan seorang pendekar yang kukenal," dengus Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti kembali melirik gadis cantik di sebelahnya ini. Entah kenapa hatinya jadi begitu ragu untuk bisa mempertahankan Karang Setra sekarang ini. Perasaan yang sama sekali belum pernah ada dalam hati sebelumnya. Rangga sendiri tidak tahu apa yang menjadi penyebab dari kegundahan hatinya.
Sementara Pandan Wangi sendiri cepat bisa menangkap kegundahan itu. Dan ini membuat si Kipas Maut menjadi gusar. Seakan-akan kegagahan yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah sirna dari dalam dirinya. Dan gadis itu tidak ingin Rangga kehilangan-semua yang dimiliki selama ini.
"Kakang.... Apa tidak sebaiknya kita mencoba mengurangi jumlah kekuatan mereka...?" ujar Pandan Wangi memberi usul.
"Maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Seperti yang sudah-sudah, Kakang. Menghancurkan sedikit demi sedikit, sambil menggoyahkan keyakinan mereka," sahut Pandan Wangi mencoba menjelaskan.
Rangga terdiam dengan kening sedikit berkerut. Sebentar dipandanginya wajah Pandan Wangi. Kemudian tatapannya beralih kearah bangunan benteng besar yang berdiri di tengah-tengah padang rumput dan dikelilingi ratusan tenda itu. Jelas sekali kalau saat itu Rangga sedang merenungkan kata-kata Pandan Wangi barusan. Kata-kata yang mengingatkan dirinya sebagai seorang pendekar digdaya, yang tidak pernah kehilangan akal.
Dan tiba-tiba saja, seulas senyuman mengukir bibirnya yang sejak tadi selalu berkerut mencerminkan keresahan. Lalu kepalanya berpaling, kembali menatap Pandan Wangi dengan wajah cerah. Saat itu juga. Pandan Wangi memberi senyuman lebar. Entah apa arti senyuman gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
"Kau benar, Pandan. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa mengusir mereka dari sini," ujar Rangga, bernada penuh semangat kembali.
"Kita berdua saja pasti mampu membuat mereka harus berpikir seribu kali untuk menyerang Karang Setra, Kakang," kata Pandan Wangi terus mengobarkan api semangat Pendekar Rajawali Sakti yang sudah kembali menyala.
"Ya.... Seperti biasa.... Kita berdua yang akan menghadapi mereka," ujar Rangga semakin lebar senyumnya.
Pandan Wangi langsung mengangguk setuju.
"Ayo, Pandan. Kita cari tempat lapang dan jauh dari penglihatan orang lain," ajak Rangga.
"Untuk apa?" kali ini Pandan Wangi yang jadi tidak mengerti.
"Untuk mengurangi dan membuat gentar hati mereka, kita membutuhkan bantuan Rajawali Putih. Kita obrak-abrik mereka, lalu kita pergi menghilang untuk sementara. Begitu seterusnya, sampai mereka gentar. Lalu kita pergi dari sini," kata Rangga menjelaskan rencananya.
"Bagus, Kakang. Mereka pasti tidak mampu menahan gempuran Rajawali Putih," sambut Pandan Wangi gembira.
"Ayo, Pandan. Selagi masih pagi, kita hancurkan mereka sedikit demi sedikit sampai tuntas semuanya."
Pandan Wangi mantap menganggukkan kepala. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian bergerak cepat meninggalkan tempat itu.
Tepat pada saat kedua pendekar muda itu menghilang ditelan lebatnya hutan, muncul Panglima Wirasaba bersama Danupaksi dan Cempaka. Mereka tampak heran, tidak melihat Rangga dan Pandan Wangi berada di tempat ini. Padahal, mereka tahu Pandan Wangi dan Rangga selalu berada di tempat ini mengawasi bangunan benteng yang menjadi markas Partai Tengkorak Hitam. Tapi belum juga mereka bisa menghilangkan rasa keheranannya, tiba-tiba saja Cempaka sudah berseru sambil menunjuk ke langit.
"Lihat...!"
"Oh...?!"
"Khraaagkh...!"
Di langit yang bening dengan sedikit awan berarak tertiup angin, terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang melesat begitu cepat dari arah selatan. Dan burung rajawali raksasa itu langsung menukik turun dengan kecepatan kilat menuju tengah hutan. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap. Binatang itu bergerak bagai menembus bumi di tengah hutan lebat, yang menjadi pembatas dari Desa Kandaga dengan padang rumput yang kini sudah dikuasai orang-orang Partai Tengkorak Hitam.
Namun tidak lama menghilang di tengah hutan, burung raksasa berbulu putih keperakan itu sudah kembali terlihat. Dia melesat tinggi ke angkasa dengan kecepatan bagai kilat, disertai teriakan yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa. Tampak di punggung burung rajawali raksasa itu duduk Rangga dan Pandan Wangi. Mereka kini langsung melesat cepat sekali hingga menembus awan. Sebentar saja burung rajawali raksasa itu sudah berputar-putar di atas bangunan benteng yang berada di tengah-tengah padang rumput ini.
Sementara, Panglima Wirasaba, Danupaksi, dan Cempaka terus mengawasi dengan mata tidak berkedip dan dada berdebar keras. Mereka ingin tahu apa yang akan dilakukan Rangga dan Pandan Wangi bersama burung rajawali putih raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga yang berada dipunggung Rajawali Putih, terus mengawasi bagian dalam benteng itu. Kini sudah dapat diketahui persis, bagaimana kekuatan yang dimiliki Partai Tengkorak Hitam. Dan keyakinan dalam hatinya semakin bertambah kuat. Tidak mungkin prajurit Karang Setra menghadapi mereka dengan jumlah yang begitu besar. Dan kekuatan itu harus dikurangi seperti yang diusulkan Pandan Wangi tadi.
"Siapkan senjatamu, Pandan," ujar Rangga meminta.
"Baik," sahut Pandan Wangi, langsung mencabut pedangnya. Sedangkan senjata Kipas Mautnya tetap terselip di pinggang.
"Serang mereka yang ada di dalam benteng, Rajawali!" seru Rangga langsung memberi perintah.
"Khraaagkh...!" Tanpa diperintah dua kali, burung rajawali raksasa itu langsung berteriak nyaring. Dan bagaikan kilat, dia meluruk deras ke bawah. Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa, membuat orang-orang yang berada dalam benteng itu jadi terkejut setengah mati.
Dan begitu mendongak ke atas, seketika itu juga kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Seakan tak dipercayai apa yang sedang disaksikan. Dan belum juga rasa keterkejutan mereka lenyap, Rajawali Putih sudah berada tepat di atas kepala mereka semua. Sayapnya yang lebar dan kokoh langsung dikibaskan. Sementara Rangga sendiri sudah melesat turun dari punggung burung rajawali raksasa itu, sambil mencabut senjata pedang pusaka dari punggung.
"Kau tetap bersama Rajawali Putih, Pandan. Hyaaat...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti memberi perintah.
Tring! Bet!
Seketika itu juga, kilatan cahaya biru terang menyilaukan yang memancar dari pedang pusaka itu berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, membabat beberapa orang yang berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya serangan itu hingga beberapa orang tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan mereka langsung menjerit nyaring, dengan tubuh terbelah terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan.
"Khraaagkh...!"
"Hiyaaat...!" Sementara Rajawali Putih terus berkelebatan sambil cepat mengibaskan kedua sayapnya. Rangga juga berlompatan sambil mengecutkan pedang dengan kecepatan bagai kilat. Kini jeritan-jeritan melengking tinggi yang begitu menyayat semakin sering terdengar saling bersahutan.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri tidak mau ketinggalan. Sambil berdiri mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi di atas punggung Rajawali Putih, pedangnya juga cepat dikebutkan membabat orang-orang berbaju serba hitam itu.
"Hup! Yeaaah...!" Rangga kembali melesat tinggi ke atas. Langsung kakinya menjejak di punggung Rajawali Putih dengan manis dan ringan sekali, setelah berhasil merobohkan puluhan orang dalam waktu singkat.
"Cepat pergi, Rajawali...!" seru Rangga keras.
"Khraagkh...!" Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke angkasa, disertai jeritan yang begitu keras memekakkan telinga. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap di balik awan yang menggantung di angkasa. Sementara kilatan cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti juga lenyap di angkasa.
Sementara itu, mereka yang berada dalam benteng jadi kalang kabut, melihat begitu banyak yang ambruk bergelimang darah mendapat serangan mendadak yang begitu cepat dan tidak terduga. Hanya dalam waktu singkat saja, hampir seratus orang yang mati bersimbah darah. Rasa terkejut masih tersirat di wajah mereka. Namun tidak seorang pun yang bisa berbuat sesuatu. Dan beberapa orang terlihat mendongakkan kepala ke atas, seakan ingin memastikan kalau burung rajawali raksasa yang ditunggangi sepasang anak muda itu tidak akan kembali lagi.
Dan saat itu, dari seberang padang rumput tempat benteng besar itu berdiri, terlihat Danupaksi dan Cempaka yang didampingi Panglima Wirasaba, gembira melihat raja mereka sudah mulai melakukan serangan ke benteng Partai Tengkorak Hitam dengan menunggang burung rajawali raksasa. Walaupun tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam benteng itu, tapi mereka sudah bisa menduga kalau tidak sedikit korban yang jatuh di sana.
"Huh! Biar mata mereka terbuka, siapa itu Kakang Rangga...," dengus Cempaka.
"Tapi itu akan membuat mereka jadi murka, dan mereka tentu akan menyerang balas habis-habisan," ujar Panglima Wirasaba jadi cemas.
"Kakang Rangga pasti akan menghalau mereka dengan burung rajawalinya, Paman. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi burung rajawali raksasa tunggangan Kakang Rangga," bantah Cempaka, tetap mengagungkan kakak tirinya.
"Aku percaya, Nini Cempaka," ujar Panglima Wirasaba.
"Kalau sudah percaya, kenapa masih ragu pada Kakang Rangga, Paman?" terdengar agak sinis nada suara Cempaka.
"Bukannya meragukan kemampuan Gusti Prabu. Tapi aku hanya khawatir kalau tindakannya tadi akan membuat keadaan semakin bertambah parah."
"Aku yakin, Kakang Rangga sudah memperhitungkan semuanya, Paman."
"Mudah-mudahan saja begitu," desah Panglima Wirasaba.
Sementara Danupaksi sendiri tetap diam, seperti tidak mendengarkan semua perdebatan itu. Tatapan matanya terus terarah pada bangunan benteng di tengah padang rumput di depannya. Tampak orang-orang yang berada di luar benteng sudah ada yang masuk ke dalam. Jelas mereka tengah terlanda kekacauan di sana. Dan terlihat juga mereka tampak seperti bersiap-siap bertempur.
Sementara di angkasa, tidak lagi terlihat Rajawali Putih yang ditunggangi Rangga dan Pandan Wangi. Burung rajawali raksasa itu seakan sudah pergi jauh, dan tidak akan kembali lagi. Namun di saat ketegangan sedang melanda hati Danupaksi, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Lihat...!" seru Cempaka tiba-tiba sambil menunjuk ke angkasa. Saat itu terlihat Rajawali Putih seperti muncul dari dalam gumpalan awan yang menggantung di angkasa. Tapi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu tidak menyerang orang-orang Partai Tengkorak Hitam, melainkan hanya berputar-putar saja di atas bangunan besar berbentuk benteng pertahanan itu, sambil mengeluarkan suara keras memekakkan telinga, bagai hendak meruntuhkan padang rumput di bawahnya.
"Khraaakh...!" Di atas punggung burung rajawali raksasa itu, terlihat Rangga berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Aneh! Tidak terlihat Pandan Wangi di sana. Padahal tadi ketika muncul dan menyerang, Pandan Wangi ada bersama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sekarang, gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu tidak ada lagi di sana. Sementara itu, bukan hanya mereka yang berada dalam bangunan benteng itu saja yang mendongakkan kepala ke atas. Bahkan orang-orang yang berada di luar benteng pun ikut melihat ke alas, ke arah burung rajawali raksasa yang berputar-putar di angkasa.
Sementara Rangga masih tetap beidiri dengan gagah di punggung burung rajawali raksasa tunggangannya, bagai seorang dewa yang hendak menghancurkan Partai Tengkorak Hitam. Namun tidak lama Rajawali Putih dan Rangga muncul di angkasa, sudah kembali melesat tinggi dengan kecepatan bagai kilat. Lalu mereka menghilang begitu menembus gumpalan awan yang menggantung di langit.
Mereka tidak muncul-muncul lagi, membuat semua orang yang menjadi anggota Partai Tengkorak Hitam jadi bertanya-tanya. Bahkan Danupaksi, Cempaka, dan Panglima Wirasaba sendiri jadi bertanya-tanya. Sulit dimengerti apa yang diinginkan Rangga dengan menampakkan diri bersama Rajawali Putih di angkasa tadi, tanpa melakukan tindakan apa-apa.

***

133. Pendekar Rajawali Sakti : Tengkorak HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang