BAGIAN 6

224 14 0
                                    

Terkesiap juga hati Danupaksi, saat melihat kekuatan Partai Tengkorak Hitam yang muncul dari dalam hutan. Walaupun sudah tahu seberapa besar jumlah kekuatan mereka, tapi tetap saja membuat seluruh aliran darahnya bagai terbalik. Bahkan semua prajurit yang sudah berada pada tempat masing-masing, sempat terpaku melihat jumlah kekuatan lawan yang berlipat ganda dari jumlah yang ada sekarang ini.
Walaupun lawan yang akan dihadapi begitu kuat dan besar, sedikitpun tidak ada kegentaran tersirat di wajah para prajurit Karang Setra. Sementara, Danupaksi yang didampingi Panglima Wirasaba, tampak tegar menanti serangan datang di punggung kuda. Dan hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, semakin jelas terdengar menggetarkan bumi.
Teriakan-teriakan pembangkit semangat pertempuran pun terus terdengar saling sambut. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda semakin dekat saja jaraknya dengan perbatasan Desa Kandaga. Sementara para prajurit Karang Setra sudah siap menunggu perintah dengan senjata terhunus.
"Pasukan panah, seraaang...!" seru Panglima Wirasaba begitu mendapat perintah dari Danupaksi.
Dan seketika itu juga, puluhan prajurit panah yang sudah siap sejak tadi langsung melepaskan anak-anak panah dengan cepat, menyambut kedatangan barisan terdepan orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam itu. Hujan panah yang datang cepat, membuat mereka yang berada di depan tidak sempat lagi menghindarinya. Maka jeritan-jeritan menyayat pun seketika terdengar saling sambut, mengiringi ambruknya tubuh-tubuh berbaju hitam dari atas punggung kuda.
Walaupun dihujani anak panah dengan gencar, tapi orang-orang Partai Tengkorak Hitam tidak gentar. Mereka terus maju, menggebah cepat kudanya sambil berteriak-teriak mengangkat senjata di atas kepala. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar saling sambut. Dan ketika Panglima Wirasaba sudah mengangkat tangannya hendak memberi perintah pada prajuritnya, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Lihat...! Kakang Rangga datang dengan Rajawali Putih...!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke atas.
Memang pada saat itu, terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat dari angkasa, disertai suara menggemuruh bagai guntur membelah angkasa. Di punggungnya, terlihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bercahaya biru terang menyilaukan mata tergenggam di tangan kanan. Pemuda itu tak lain Rangga, dan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hancurkan mereka, Rajawali...!"
"Khraaagkh...!" Sambil mengeluarkan suara serak dan keras menggelegar memekakkan telinga.
Rajawali Putih langsung meluruk deras. Segera disambarnya orang-orang berpakaian serba hitam yang berada pada barisan terdepan. Kepakan sayapnya yang lebar, membuat mereka tidak bisa menahannya. Maka tubuh-tubuh remuk berlumuran darah berpentalan tersambar kedua sayap burung rajawali raksasa itu. Bahkan kedua cakarnya dan paruhnya ikut menghajar orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Sementara Rangga berdiri tegak dengan kedua kaki kokoh di atas punggung tunggangannya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Begitu mendapat kesempatan, cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung burung rajawali raksasa tunggangannya. Dan seketika Itu juga, pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru terang langsung dikibaskan cepat dan beruntun, membuat orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang berada dekat dengannya tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Mereka kontan menjerit, begitu tubuhnya tertebas pedang pusaka yang sangat dahsyat.
"Seraaang...!" Saat itu juga Danupaksi berteriak memberi perintah prajuritnya, untuk membantu Pendekar Rajawali Sakti dan burung rajawali raksasa tunggangannya.
Seketika itu juga, ratusan prajurit Kerajaan Karang Setra berlarian menyerang orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Teriakan-teriakan keras pembangkit semangat bertempur kini berbaur menjadi satu dengan jeritan-jeritan menyayat, mengiringi tubuh-tubuh yang ambruk bersimbah darah.
Sementara Danupaksi, Panglima Wirasaba, dan Pandan Wangi juga sudah menggebah kudanya, merangsek para penyerang dari Partai Tengkorak Hitam. Dengan senjata masing-masing mereka menghajar para penyerang bagai banteng murka. Ringkikan kuda membuat suasana di pinggiran Desa Kandaga ini semakin hiruk-pikuk tidak menentu.
Walaupun jumlah para prajurit jauh lebih sedikit, tapi sangat sulit bagi orang-orang Partai Tengkorak Hitam untuk menembus pertahanan, terlebih lagi Rangga dan Rajawali Putih ikut terjun memperkuat barisan para prajurit Karang Setra. Sehingga semakin sukar bagi orang-orang Partai Tengkorak Hitam bisa menerobos pertahanan itu.
Dan sedikit demi sedikit, mereka terpaksa harus bergerak mundur menjauhi tempat pertempuran. Tampak jelas sekali kalau mereka benar-benar tidak mampu menggempur para prajurit Karang Setra, walau dengan jumlah berlipat ganda.
"Munduuur...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar dari arah belakang orang-orang berpakaian serba hitam. Dan seketika itu juga, mereka langsung memutar kudanya yang langsung dipacu cepat meninggalkan kancah pertarungan.
Saat itu juga, Panglima Wirasaba memerintahkan prajuritnya untuk berhenti menyerang. Tidak ada lagi orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang tersisa ditempat pertempuran ini. Dan jumlah mereka begitu banyak sekali yang gugur. Sedangkan hanya sekitar lima puluh orang prajurit saja yang gugur dalam pertarungan sengit tadi.
Sementara Rangga sendiri berdiri tegak di antara mayat-mayat yang berserakan saling tumpang tindih, dengan pedang pusaka memancarkan cahaya biru terang tersilang di depan dada. Tidak jauh di sebelah kiri, terlihat Pandan Wangi yang menggenggam kedua senjata pusakanya. Di tempat lain yang agak jauh, terlihat Panglima Wirasaba bersama Danupaksi berada di punggung kuda memandangi lawan mereka yang tenis menghilang di balik lebatnya hutan di depan.
Cring!
Rangga memasukkan pedang pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Pandan Wangi |uga menyimpan kedua senjata pusaka. Lalu dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri di sebelah kirinya. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditatapinya mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya.
Sementara di tempat lain, Danupaksi dan Panglima Wirasaba sudah mulai mengatur para prajuritnya untuk membersihkan tempat pertarungan dari mayat-mayat yang berserakan. Rangga dan Pandan Wangi menyingkir ke garis belakang. Pendekar Rajawali Sakti sempat mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya jadi tersenyum melihat Rajawali Putih sudah berada tinggi di angkasa. Tapi burung rajawali raksasa tidak meninggalkannya.
"Kalau begini terus, bisa habis prajurit Karang Setra, Kakang," ujar Pandan Wangi terdengar lirih sekali suaranya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Raja Karang Setra ini juga tidak ingin kehilangan prajuritnya begitu banyak dalam menghadapi orang-orang yang berada di bawah panji Partai Tengkorak Hitam. Walaupun kemampuan prajurit dapat diandalkan, tapi tidak mungkin bisa bertahan terus menerus menghadapi gempuran lawan yang berjumlah sangat banyak. Bagaimanapun juga, manusia tentu memiliki segala macam keterbatasan. Dalam pertempuran tadi saja, sudah cukup banyak mereka kehilangan prajurit. Walaupun dapat memukul mundur pihak lawan.
Sulit diramalkan, apakah prajurit-prajurit Karang Setra dapat bertahan, jika mendapat serangan kembali dengan jumlah yang sudah berkurang. Rangga sendiri tidak dapat membayangkannya. Tapi untuk mengadakan penyerangan, sudah barang tentu tidak mungkin dilakukan. Pertahanan mereka begitu kuat. Terlebih lagi, mereka memiliki benteng pertahanan yang terjaga ketat dengan persenjataan lengkap.
Pada saat kedua pendekar muda itu sedang terdiam, terlihat Panglima Wirasaba datang menghampiri tergesa-gesa. Laki-laki berusia setengah baya dengan keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya, langsung berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti. Langsung diberikannya sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman?" tanya Rangga dengan nada suara sangat berwibawa.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba kedatangan seorang utusan prajurit dari istana. Dia menyampaikan kabar, kalau di perbatasan sebelah utara telah datang satu pasukan berjumlah besar dari Kerajaan Pringgading," lapor Panglima Wirasaba.
"Hm.... Mau apa mereka?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Mereka datang untuk membantu kita. Gusti Prabu. Bahkan Prabu lndrata sendiri yang memimpin prajurit itu," lapor Panglima Wirasaba lagi.
Rangga jadi terdiam beberapa saat dengan kening berkerut. Memang kemunculan Partai Tengkorak Hitam sudah membuat resah seluruh kerajaan di muka bumi ini. Bukan itu saja. Para tokoh persilatan golongan putih pun sudah dilanda keresahan. Terlebih lagi hanya dalam beberapa hari saja. Bahkan sudah menguasai beberapa wilayah kerajaan di wilayah selatan. Dan sekarang, mereka berusaha menguasai wilayah kulon. Tapi ternyata mereka justru malah terbentur di Karang Setra, sebuah kerajaan pertama yang dipilih untuk ditaklukkan.
Sedangkan Kerajaan Pringgading sendiri, letaknya memang berbatasan dengan Karang Setra. Dan kalau Karang Setra jatuh di tangan Partai Tengkorak Hitam, sulit bagi Kerajaan Pringgading untuk bisa mempertahankan wilayahnya. Rupanya ini yang membuat Prabu Indrata, Raja Pringgading tergerak hatinya untuk memperkuat barisan prajurit Karang Setra. Karena dia juga tidak ingin wilayah kerajaannya jatuh ke tangan orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang kekejamannya sudah terkenal itu, walaupun belum ada satu purnama kemunculannya.
"Kirim utusan segera, Paman. Kalau mereka memang ingin membantu, segeralah datang ke sini," perintah Rangga.
"Baik, Gusti Prabu," sahut Panglima Wirasaba, seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Bergegas Panglima Wirasaba meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dihampirinya seorang utusan dari istana yang menunggu di samping kudanya. Hanya sebentar saja Panglima Wirasaba berbicara, lantas prajurit utusan itu sudah langsung melompat naik ke punggung kudanya. Cepat sekali kudanya digebah hingga berlari kencang meninggalkan Desa Kandaga ini.
Rangga memandangi utusan ini hingga lenyap di tikungan jalan yang langsung menuju Kota Kerajaan Karang Setra. Kemudian dihembuskannya napas panjang. Lalu kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi. Kemudian pandangannya beralih kepada Danupaksi yang duduk bersandar di bawah pohon bersama empat orang panglima. Entah apa yang dibicarakan di sana. Tampaknya Danupaksi sedang merencanakan sesuatu untuk menempatkan prajurit-prajuritnya dalam menghadapi serangan Partai Tengkorak Hitam.
"Mudah-mudahan saja raja-raja lainnya yang bertetangga dengan kita, tergerak hatinya mengikuti Gusti Prabu lndrata," desah Pandan Wangi pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
Rangga berpaling sedikit, lantas menatap gadis cantik kekasihnya. Terdengar hembusan napas panjangnya. Selama berdiri, memang Karang Setra baru kali ini mendapat serangan dari musuh yang kekuatannya begitu besar. Juga baru kali ini mendapat bantun dari kerajaan lain. Tapi Memang sebenarnya itu yang sangat diharapkan. Dengan penyatuan kekuatan, mereka akan semakin bertambah besar dan kuat. Dan bukannya tidak mungkin mereka akan menghancurkan Partai Tengkorak Hitam sampai ke akar-akarnya.
"Kakang! Apa tidak sebaiknya kita mengirimkan utusan pada kerajaan-kerajaan lain yang menjadi sahabat kita...?" usul Pandan Wangi selelah beberapa saat lamanya terdiam membisu.
"Tidak perlu, Pandan," sahut Rangga tegas.
"Tapi kita memang membutuhkan bantuan, Kakang. Dengan jumlah prajurit sekarang ini, tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Sedangkan kau tahu sendiri, jumlah mereka begitu besar. Dan tadi kulihat datang lagi satu rombongan besar memperkuat barisan mereka," kata Pandan Wangi agak keras suaranya.
"Aku tidak akan mengirimkan utusan untuk meminta bantuan, Pandan. Tapi kalau mereka datang dan ingin bergabung, tidak akan kutolak. Biarkan mereka berpijak pada pendiriannya sendiri. Dan aku tidak ingin mengusik ketenteramannya," tandas Rangga tetap pada pendiriannya.
"Tapi Kakang. Kalau Karang Setra jatuh, mereka juga akan terancam."
"Tidak, Pandan...," ujar Rangga seraya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku tidak akan membiarkan Karang Setra runtuh. Walaupun harus mati, asalkan Karang Setra tetap berdiri tegak."
Pandan Wangi jadi terdiam mendengar kata-kata yang bernada tegas. Memang sulit bisa melemahkan hati Pendekar Rajawali Sakti. Walau dalam keadaan sulit bagaimanapun juga, Rangga memang tidak akan pernah mengemis meminta bantuan. Dan segala kesulitannya akan ditanggulangi sendiri. Hatinya begitu yakin kalau semua ini dapat teratasi, tanpa harus mengganggu ketenteraman kerajaan tetangganya. Malah sedikit pun tidak terbetik di dalam hatinya untuk mengusik ketenteraman mereka.
"Ayo, Pandan. Kita awasi mereka lagi. Kalau mereka kembali bergerak akan menyerang, kita bisa tahu dengan cepat. Sehingga bisa mempersiapkannya dengan cepat pula," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
Pandan Wangi hanya mengangguk. Dan kini mereka melangkah bersisian tanpa bicara lagi. Para prajurit yang dilewati langsung membungkukkan tubuh memberi hormat. Meskipun saat ini Rangga hanya mengenakan baju rompi putih seperti seorang pendekar pengembara, tapi semua prajurit Karang Setra tetap saja mengenalinya sebagai Raja Karang Setra. Sehingga mereka tetap bersikap hormat pada pemuda itu. Dan Rangga juga tidak bisa melarang lagi. Bahkan Panglima Wirasaba sendiri tidak bisa lagi bersikap biasa pada pemuda itu, karena di tempat ini begitu banyak prajurit berkumpul.
"Kakang, kau akan ke mana...?" teriak Danupaksi saat melihat Rangga dan Pandan Wangi hendak pergi. Bergegas Danupaksi meninggalkan empat orang panglimanya. Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang menjadi tulang punggung kejayaan Karang Setra itu.
Rangga dan Pandan Wangi menghentikan langkahnya, menunggu sampai Danupaksi dekat. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu langsung memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu sampai di depan kedua pendekar ini.
"Aku akan mengamati mereka, Danupaksi. Kau tetap di sini bersama Panglima Wirasaba. Kalau Prabu lndrata dan prajuritnya datang, terimalah dengan baik. Biarkan dia menempatkan prajuritnya di mana saja semaunya, asal tidak keluar dari Desa Kandaga ini," kata Rangga langsung memberi amanat.
"Baik, Kakang Prabu," sahuat Danupaksi dengan sikap hormat.
"Kalau ada yang datang lagi untuk bergabung, terima saja. Asal kau kenal dan mengetahui siapa mereka. Tak usah peduli, apakah itu dari pihak kerajaan tetangga, orang-orang persilatan, atau orang orang dari padepokan silat. Kau harus menerima maksud baik mereka dengan tangan terbuka," pesan Rangga lagi.
Danupaksi kembali menganggukkan kepala.
"Nah! Aku pergi dulu. Kalau aku tidak kembali sampai senja nanti, jangan gusar dan jangan mengirim seorang pun untuk mencari. Aku akan berusaha melemahkan mereka. Kau yang menjadi pimpinan utama di sini, Danupaksi. Bertindaklah adil pada siapa pun juga," pesan Rangga lagi.
"Aku akan jalankan semua pesanmu, Kakang Prabu," sahut Danupaksi sambil memberi sembah hormat lagi.
Rangga tersenyum dan menepuk pundak adik tirinya. Kemudian diajaknya Pandan Wangi meninggalkan Desa Kandaga ini. Danupaksi mengiringi kepergian mereka dengan pandangan mata. Sudah bisa diduga apa yang akan dilakukan Rangga dan Pandan Wangi untuk melemahkan kekuatan pihak lawan. Dan dia hanya bisa berharap semoga kedua pendekar itu tidak mendapatkan kesulitan berarti.
Sementara itu di dalam benteng pertahanannya, Bragata kelihatan berang menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak diduga. Tidak disangka tindakannya akan mendapat batu sandungan begitu besar dari sebuah kerajaan kecil yang dianggapnya lemah. Untuk menembus masuk ke wilayahnya saja, sudah terasa begitu sulit. Padahal, prajurit Karang Setra hanya sedikit. Tapi kemampuannya dalam medan pertempuran sungguh tidak bisa dipandang sebelah mata.
Begitu geramnya, hingga Bragata menarik semua pengikutnya yang masih tersebar untuk memperkuat benteng ini. Kini jumlah mereka semakin berlipat ganda. Kekuatan para prajurit Karang Setra membuat Bragata jadi penasaran dan ingin menaklukkannya. Dia sudah bertekad harus menaklukan kerajaan kecil yang sudah membuat gentar pengikutnya.
Sementara jauh di luar benteng besar itu, tampak Rangga dan Pandan Wangi terus mengamati dari tempat yang cukup tersembunyi. Mereka tampak tertegun melihat jumlah kekuatan lawan yang semakin bertambah besar saja. Bahkan masih saja berdatangan orang-orang berpakaian serba hitam dari segala penjuru. Dan kini, padang rumput yang luas itu penuh tenda yang berdiri. Yang dihuni orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Mereka bagaikan sebuah laskar yang sangat besar, ingin menggempur sebuah kerajaan kuat. Begitu besarnya, membuat Rangga jadi meragukan kekuatan prajuritnya sendiri.
"Aku jadi khawatir, Kakang...," desah Pandan Wangi tiba-tiba, mengemukakan perasaan harinya.
"Hhh...!" Rangga tidak bisa mengeluarkan sapatah kata pun juga. Hanya dihembuskannya napas panjang yang terasa begitu keras. Memang bukan hanya Pandan Wangi saja yang merasa cemas melihat keadaan seperti ini. Rangga juga tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya. Hatinya khawatir, Karang Setra akan jatuh ke tangan orang-orang liar yang tergabung dalam Partai Tengkorak Hitam. Sedangkan mereka sudah menguasai seluruh wilayah selatan. Dan sekarang mereka mencoba menguasai wilayah kulon ini, melalui Karang Setra yang menjadi batu sandungan terbesar.
"Aku rasa walaupun menggabungkan tiga kerajaan, tidak akan sanggup menghadapi mereka, Kakang," ujar Pandan Wangi lagi, dengan suara masih tetap pelan bernada cemas.
"Aku harus menghancurkan mereka, Pandan," desah Rangga juga pelan suaranya.
"Caranya...?" tanya Pandan Wangi.
"Hhh...!" Kembali Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut, kecuali hanya menghembuskan napas panjang saja yang terasa begitu berat. Sukar baginya untuk mengemukakan apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya sekarang ini. Sedangkan dia sendiri belum mendapatkan cara terbaik untuk menghancurkan orang-orang Partai Tengkorak Hitam. Terlalu besar jumlahnya dan tidak mungkin diserang hanya seorang diri saja.
"Pandan.... Sebaiknya kau bantu Danupaksi. Aku merasa bukan hanya dari Kerajaan Pringgading yang datang membantu. Peristiwa ini sudah cepat tersebar luas. Orang-orang dari rimba persilatan pun pasti datang ke sini. Kau bantu saja Danupaksi mengatur mereka, Pandan," kata Rangga meminta.
"Lalu kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Entah kenapa bibirnya hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan itu. Dan Pandan Wangi sendiri tidak menunggu jawaban atas pertanyaannya tadi. Tanpa berkata apa pun, tubuhnya segera berbalik dan melangkah meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti seorang diri di tepi padang rumput yang menjadi pusat pertahanan Partai Tengkorak Hitam. Rangga hanya berpaling sedikit, melihat Pandan Wangi yang terus melangkah pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun juga.
"Hm.... Aku coba melemahkan mereka dengan caraku sendiri. Kurasa mereka perlu digempur lebih dulu sebelum bisa menyerang lagi," gumam Rangga bicara pada diri sendiri.

***

133. Pendekar Rajawali Sakti : Tengkorak HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang