3 - Percayakan

11 2 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

KARENA bisnis Warteg bekerja sama, untuk menyiapkannyapun dibagi menjadi dua. Linda–Ibu Erdy bertugas memotong sayuran. Sedangkan Iin–Ibu Rizqon yang akan membuat bumbu masakan. Agar kerjapun efektif.

"Bu, sampai kapan Ibu berhenti kerja?." Pertanyaan beribu kali itu muncul sembari berhenti mengulek bumbu pada cobek. Menatap Ibunya sibuk mengupas lengkuas.

"Qon. Jawabannya masih sama." Tekun dengan lengkuasnya.

"Kerja sebagian dari kebutuhan Ibu?." Rizqon mengulang jawaban yang biasa Ibunya berikan.

"Iya." Kembali Rizqon mengulek. Ia tidak akan membiarkan Ibunya lelah. Sebab itu, ia ajukan diri untuk mengulek.

Segala upaya Rizqon lakukan agar Ibunya tidak bekerja lagi. Termasuk saat Ibunya ingin membuka usaha Warteg. Rizqon tidak menyetujuinya karena mengkhawatirkan keadaan Ibunya. Berbagai cara, Widia pikirkan. Hingga ia menemukan cara agar melancarkan keinginanya.

Dengan mengajak sahabatnya–Linda. Untuk bekerja sama dengannya. Meski modal dan warung Iin yang sediakan. Bagi Widia tidak mengapa. Terpenting anaknya tidak terus mengkhawatirkan keadaannya. Kemudian, Rizqon pasrah untuk menyetujuinya.

"Qon. Ada kabar nggak tentang kematian almarhum Ustadz Abdu?." Kali ini Iin menatap anaknya.

"Ada. Cuma Rizqon belum tau."

"Pak Haji atau Pak Adam nggak bilang apa-apa?."

Rizqon berhenti mengulek. Menatap Ibunya yang haus jawaban. "Ketemu aja belum Bu. Tadi, pas mau ngobrol sama Pak Haji ba'da Ashar. Eh! Pak Salim nelpon, suruh Rizqon kepabrik. Insyaa Allaah besok mau nanya."

Rasa kesal juga ada. Ia sudah bolak-balik kesana-kemari mencari H.Karyadi. Sudah menemukannya, malah disuruh balik kepabrik.

Iin menghela nafas. Melanjutkan kegiatannya.

Rizqon merenungi bumbu belum halus dicobek. Sebenarnya sudah lama ia ingin mengatakan masalah pabrik pada Ibu. Karena ia lelah menyimpan masalah ini berdua saja dengan H.Karyadi.

Berbagai cara sudah dilakukan. Dan saking buntunya. Ia dan H.Karyadi pertama kali meminta bantuan pada seseorang, Ustadz Abdu. Malah Ustadz Abdu meninggal. Pasti ini dicurigai oleh H.Karyadi, pantas saja beliau sibuk dengan Polisi.

Yang dikhawatirkan Rizqon sama, jika ia mengatakan masalah pabrik. Akan terjadi tidak baik pada Ibunya. Namun, mengaitkan kematian Ustadz Abdu dan masalah pabrik. Selagi belum ada yang jelas. Seharusnya ia lebih percaya pada takdir Allaah. Termasuk takdir kematian Ustadz Abdu. Dan takdir masalah pabrik yang tak kunjung usai.

Nafas dihela. Tidak ada yang salah dari mencoba. Jika Ia tidak mengatakan masalah pabrik pada Ibunya karena fikiran negatif. Itu artinya, ia tidak percaya akan takdir Allaah.

Lafadz Basmallah diucap lirih. Menatap Ibunya. "Bu. Rizqon mau ngomong penting."

"Bicara. Ibu dengarkan." Ucap Widia sibuk mengupas.

"Tiap sebulan dua kali. Gudang selalu kehilangan dua puluh enam karung padi, Bu. Waktunya berbeda, tapi karung yang hilang sama. Berbagai cara Rizqon dan Pak Haji lakuin supaya tau yang sebenarnya. Tapi, nggak ada hasil. Sepertinya ini permainan Ilmu hitam Bu."

Berkerut dahi Iin. Ia mendongak menatap anaknya. "Berfikir rasional dulu Qon. Nggak selalu yang hilang harus dihubungkan dengan yang ghaib."

"Sudah Bu. Tiap bulan Rizqon ganti kunci gembok. Pak Haji sampai memasang kamera CCTV didalam gudang. Pak Haji nyuruh enam orang jaga gudang siang-malam satu bulan itu. Bahkan, pengiriman penjualan sebulan dan isi gudang. Semuanya dikirim kegudang rumah pak Haji dengan beralasan pada pekerja, bagian dalam gudang sedang diperbaiki. Tapi, tetap saja. Sama Bu. Rizqon jadi kesal sendiri."

MayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang