5 - Tidak Sendiri

9 1 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"KENAPA Abah? Ulul sendirian disini." Gemetar bibirnya. Matanya mulai panas.

Abdu mengusap kepala anaknya. Senyuman hangat ia lemparkan mencoba menyakinkan anaknya. "Siapa kata Ulul sendirian? Kan ada Allaah."

"Allaah selalu ada. Tapi, Abah manusia yang selalu ada buat Ulul. Umi udah nggak ada. Bah, jangan pergi." Pujuk Nurul. Air matanya sudah jatuh. Memelas meminta Abahnya tidak pergi.

Senyuman Abdu semakin lebar. Ternyata, sudah pintar anaknya bermain kata. Bertambah yakin untuk meninggalkannya.

"Mau tau kenapa Abah pergi ke Indramayu?."

"Nggak mau!." Nurul memalingkan kepala dengan kedua tangan memeluk tubuh. Dengan tegap.

Kedua tangan Abdu ikut memeluk tubuh. Mengikuti gaya anaknya. "Ya udah!. Abah juga nggak mau tinggal disini."

Nurul melemaskan tubuh menatap abahnya. Kesal juga bila abah meniru gayanya. Sangat tidak kreatif. Sudah tidak pandai berekspresi marah. Tidak pantas abah berakting seperti itu.

"Ceritalah Bah." Nurul mencebikkan bibir. Jika ia tetap keras kepala. Abahpun akan lebih keras kepala.

Abdu meleraikan tangan dari tubuh. Memandang Nurul yang menampakkan raut cemberut. Sudah cukup ia memanjakan anaknya. Sekarang waktunya untuk mandiri. Dan melakukan keinginan almarhumah istrinya yang meninggal usai melahirkan Nurul.

"Umi minta Abah buat dakwah ditanah lahirnya. Sebenarnya, Umi yang pengen nglakuin itu. Tapi, dia milih nikah ama Abah terus nglanjutin impiannya abis kamu besar nanti. Qadarullaah. Allaah ngambil Umimu usai melahirkanmu. Itu sebabnya Abah harus ke Indramayu."

Bagi gadis tiga belas tahun. Sulit memahami perkataan itu. Tapi, untuk mengingatnya disaat otak masih memiliki banyak ruang memori. Itu mudah. Dan Nurul memilih mengingatnya daripada memahami.

"Tapi, kenapa Abah nggak bawa Ulul buat ikut?."

Abdu menghela nafas. "Ulul masih banyak PR disini. Kalo udah saatnya. Ulul bakal dipanggil Allaah buat jalan dijalan-Nya."

Nurul mendengus kesal. "Kapan Abah?. Nurul pengen tinggal ama abah!."

Abdu tersenyum. "Jika kita sampai akhir hayat tetap berjalan dijalan Allaah. Abah, Umi, ama Nurul. Disatukan didalam surga milik Allaah."

Lantas Nurul memeluk Abahnya. Abdu menepuk pundak Nurul seraya berkata. "Ingat pesan Abah Nak. Cukup miliki Allaah dalam hati, maka kamu memiliki segalanya. Utamakan Allaah melebihi keinginanmu. Allaah nggak akan menyengsarakan hambanya, kecuali IA sedang mengujinya. Jadikan ketiganya, prinsip hidupmu Nak."

Sepuluh tahun yang lalu. Saat terakhir ia melihat wajah Abahnya dengan jelas. Menyimpan senyuman abah dalam memori. Yang akan selalu muncul tiap ia merindu.

Nurul semakin memeluk baju kokoh putih abahnya, yang ia ambil dari Masjid. Air mata masih deras. Rindu yang hanya terbalas dengan air mata. Tiada perjumpaan. Tiada senyuman. Hanya bercakap pada kenangan.

Kejadian diklinik. Sejujurnya, membuat Nurul tertekan. Karena untuk pertama kali bagi Nurul dibentak sebegitunya. Bahkan, almarhum abah. Tidak pernah membentaknya.

"Dasar gadis teledor?!."

Pemuda tidak sopan yang pernah ia dapati dirumah paman Adam. Ternyata mempunyai hati berbeda sekali dengan ibunya. Bicaranya seperti anak ta'at pada ibunya. Tapi, memperlakukan perempuan tidak selurus dari caranya memperlakukan Ibunya, seorang perempuan juga.

MayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang