6 - Amarah (2)

7 1 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Udah Neng. Ibu kenyang."

Baru saja tiga suapan bubur ayam. Ibu Iin mengatakan kenyang. Mustahil. "Bu, mana bisa. Ini baru tiga suap. Ayolah Bu, biar cepat sehat okey?." Pujuk Nurul menyendok satu sendok bubur tanpa peduli ucapan Ibu Iin.

Satu sendok bubur yang berada didepan mulut Ibu Iin terhenti karena tangan Ibu Iin menahannya. Nurul menghela nafas sabar. Sendok itu ia masukan lagi kedalam mangkuk. Membatalkan niat.

"Makan itu kalo laper. Dan berhenti kalo udah kenyang. Walaupun saat itu kita masih menikmatinya. Sunnah Nabi."

Anggukan kepala dengan senyuman lebar Nurul buat. Sudah pasti ia faham akan ucapan Ibu Iin. Itu salah satu penjelasan hadits dari salah satu kitab dasar yang dipelajarinya saat mondok.

Senang jika ia berada didaerah orang, bisa bertemu dengan Ibu Iin yang selurus pada hadits. Punya teman penerapan ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari.

Ibu Iin bisa dijadikannya sebagai kekuatan dalam pengamalan ilmunya. Bahwa ia berada dijalan Allaah tidak sendirian. Berjuangpun tidak sendirian.

Nurul merenung mangkuk bubur. Senyuman hilang. Mengingat satu perkara yang sangat meresahkan jiwanya.

Ba'da Maghrib. Nurul meminta Zahid untuk mengantarnya kerumah Ibu Iin. Setelah Zahid mengatakan bahwa Ibu Iin sudah pulang dari Klinik. Ia bermaksud meminta maaf dan melihat keadaannya. Meski harus bertemu pemuda tidak sopan itu.

Zahid langsung memenuhi permintaan Nurul. Sesampai dirumah Ibu Iin. Adzan Isya' berkumandang. Lantas Zahid mengajak Rizqon berjama'ah diMasjid. Untuk mempercayakan Ibunya pada Nurul, harus melalui perdebatan antara Zahid dan Rizqon dahulu. Rizqon pasrah bila mendengar Iqamah dari Masjid.

Satu jam sudah tapi keduanya belum pulang dari Masjid. Membuat Nurul harus melambatkan lagi shalat Isya'nya. Ia tidak bisa meninggalkan Ibu Iin sendirian. Ini amanahnya. Namun sisi lain Nurul harus cepat melaksanakan kewajibannya.

Dua bantal tumpuk dan satu bantal miring guna menyandarkan punggung Iin. Menyamankan saat ia makan. Merasa tubuh makin menurun. Iin menegakkan lagi. Tidak sengaja ia melihat Nurul yang bergeming lama.

Dalam hati Iin, apakah ucapannya itu menyakitkan?. Sampai gadis yang belum diketahui namanya ini melamun menatap mangkuk bubur.

"Neng, maaf atas ucapan Ibu." Iin menjadi serba salah.

Nurul mendengar ucapan Ibu Iin. Lain sisi ia juga ingin mengatakan keresahan hatinya. Kepala didongakkan menatap Ibu Iin yang sedang menatapnya.

"Nggak usah minta maaf Bu. Perkataan Ibu bener banget." Tanpa senyum.

Iin menatap bingung sendiri. Bahasa tubuh dan ucapan tidak selaras. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan.

"Ada apa Neng?."

Raut muka Nurul berubah. Tatapan Ibu Iin padanya menjadi serius. Mau tidak mau Nurul harus mengatakan sebenarnya.

"Bu, saya......Belum shalat Isya'." Kepala langsung ditundukkan. Nurul tidak ingin melihat ekspresi Ibu Iin.

"Astaghfirullaahal 'adziim. Ya udah Neng, shalat aja. Pakai mukena Ibu. Nggak usah sungkan." Terkejut bukan main Iin mendengarnya.

"Tapi. Ibu gimana? Ibu kan amanah saya."

"Ya udah dalam hati. Neng amanahkan saja Ibu pada Allaah. Jadi, Neng nggak usah khawatir. Shalat yang khusyuk ya. Dalam rumah ini ada ruang shalat, dekat kamar mandi. Neng bisa pake."

MayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang