8 - Perkembangan Kasus

10 2 1
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Wa'alaikumussalam. Bu Iin?."

Wajah pucat pasi itu tersenyum hangat. Tanpa berfikir lama. Nurul mempersilakan Iin masuk dan duduk. Nurul masih diam menelaah keadaan. Ia begitu terkejut melihat Ibu Iin yang semalam masih terbaring sakit. Ajaibnya datang kesini.

Iin yang sudah duduk menyadarkan Nurul yang masih berdiri. Langsung ia langkahkan kaki kedapur. Setelah Iin menatapnya hangat. Sejujurnya Nurul bingung dengan sikap wanita paruh baya itu. Terlalu hangat. Membuat Nurul tidak nyaman.

"Siapa Neng?." Ratna bertanya penasaran melihat Nurul berjalan kearahnya.

"Bu Iin."

Ratna mengangguk faham. Selanjutnya ia memperhatikan Nurul mengambil panci. Memasukkan air mentah kedalamnya. Lalu menyalakan kompor.

"Mau buat apa Neng?."

"Teh. Buat Bu Iin." Nurul sibuk memperhatikan air dalam panci itu.

"Kalo buat Bu Iin. Dia sukanya Teh Tubruk pait Neng."

Pandangan Nurul alihkan pada Ratna. "Ouhh, kirain Teh Celup manis Mbak. Hrrm, Mbak Ratna kok bisa tau?."

Ratna terkekeh geli. "Ya tau atuh Neng. Bu Iin itu juga pernah bertamu, Alhamdulillaah masih ingat. Kan Mbak tanya dulu sebelum buat minumannya. Neng Nurul nggak tanya yah?."

Nurul tersenyum sendiri. Ia baru sadar tidak menanyakan apapun pada Ibu Iin. Sungguh, dia terlalu sibuk memikirkan sikap Ibu Iin padanya.

"Hmm iya Mbak."

"Ya udah. Mbak aja yang buat, Neng ngobrol aja sama Bu Iin." Tawar Ratna mengingat pengakuan Nurul yang tidak biasa didapur.

"Eh! Nggak usah Mbak. Nurul bisa kok." Nurul menampakkan raut se-menyakin mungkin menatap Ratna. Lalu, ia sadar akan sesuatu. "Dipondok, Nurul biasa buat minuman sendiri. Terkadang juga meracik ramuan herbal buat haid. Kalo memasak itu Mbak, buat porsi besar. Jadi, dikhususkan. Tapi, kalo minuman, individu. Dan juga dapurnya khusus. Nurul bisa Mbak."

Ratna mengangguk faham. Kembali ia memperhatikan gerak-gerik Nurul membuat minuman Teh Tubruk selera Ibu Iin. Sesekali, ia juga mengaduk masakannya dipanci sedang sebelah tungku panci air masak Nurul.

Teh Tubruk selera Ibu Iin telah selesai Nurul buat secepat mungkin. Langsung ia berjalan keruang tamu. Tanpa mengganggu Ratna yang sedang mencuci piring diwastafel dapur.

"Maaf Bu, Nurul lama."

Nurul menaruh Teh Tubruk pahit itu dimeja depan Iin yang beralaskan piring kecil kaca pada bawah gelas kaca itu. Teh itu tidak terlalu panas. Nurul meracik setengah air panas dan setengah air biasa. Agar bisa langsung diminum.

Nurul duduk didepan Iin disekat meja. Menatap wanita itu tersenyum hangat. Membalas sikapnya.

"Teh Tubruk pait?."

Nurul mengangguk cepat. "Mbak Ratna yang kasih tau."

"Padahal, Ibu kesini nggak minta minum Neng. Ibu ingin bicara sama kamu." Nadanya terdengar serius.

"Hmm. Ibu kan masih sakit, jangan dipaksain ketemu Nurul. Biar Nurul aja kerumah Ibu." Ucap Nurul melupakan adanya Rizqon dirumah itu.

Hembusan nafar gusar terdengar dari Iin. Matanya berubah sendu. Mendengar ucapan ikhlas itu, tanpa memikirkan perilaku buruk anaknya pada dia.

"Kamu anak yang baik. Memikirkan orang lain tanpa peduli keadaanmu."

Diam. Matanya menatap kearah lain, asal tidak pada Ibu Iin. Berusaha menyembunyikan ekspresi. Nurul tidak suka dipuji sebegitunya karena otaknya otomatis mengingat ilmu 'bahayanya dipuji' saat dipondok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang