CHAPTER 47

310 24 1
                                    

Kinara terduduk disisi ranjang menghadap ke luar jendela, ia sempat mengunci pintu kamar dan mematikan lampu, lalu mendarat tepat di samping pot tanaman hiasnya yang sudah mulai menguning.

Setiap hembusan nafasnya mengharapkan kekosongan yang sempat beradu mata menjadi sebuah kebohongan pasti. Panggilan di ponsel ia biarkan menggema di sudut-sudut ruang kamarnya. Tidak ingin tahu siapa yang berusaha terhubung di balik layar, ia hanya butuh waktu untuk sendiri.

Matanya mencari, bukan kepada ponsel yang sedang bergetar. Namun lebih ingin mengetahui, apakah benar ini adalah Kinara yang dulu. Pantulan raganya di cermin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, tapi dari dalam ia tidak bisa menyangka dirinya bukan lagi jadi Kinara. Ada yang lain disana.

"Harus ya Kara kayak gini terus? Kenapa sedihnya lama banget? " ia meraih kalender yang entah sudah keberapa kali tak lupa ia beri tanda.

Tanggal demi tanggal yang ia beri tanda merah hampir memenuhi bulan April, bulan kesedihannya sekaligus hari istimewa yang menjadi kebalikan. Dan tepat bulan depan, itu adalah bulan istimewa untuk papi dan juga Benaya yang sudah hilang. Dan nanti atau jika tidak bisa ia berharap bisa bahagia meski akhirnya akan kembali seperti ini lagi.

"Hidup memang gak adil, maunya Kara terus yang sedih. Senyum ini bahkan udah gak berfungsi lagi. Senyum Kara kehilangan letaknya. Kamu hilang kemana senyum? Kembali! Bantu Kara memeriahkan bulan ini. "

Satu hari memang bukan waktu yang lama, tapi ini berbeda, Kinara tidak salah menyalahkan semesta, semesta tidak mau berpihak kepadanya. Benaya harus ada disini, harus menemaninya, harus menjaganya meski kedengarannya egois. Benaya tidak kembali seolah apa yang di putuskan oleh Kinara waktu itu benar-benar melukainya.

Ya, meskipun penyesalan baru saja datang, tapi Kinara tidak begitu menyesali kata demi kata yang ia lontarkan kala itu. Pelajaran perlu diberikan kepada seorang Benaya karena sudah kelewatan menghadapi manusia bernama Barra, tapi tidak seperti ini juga balasannya. Seolah semua kesalahan di lemparkan kepada Kinara dan tanpa sadar Benaya lah yang menciptakan sebuah masalah itu bisa terjadi.

Meski dulu pernah menjadi orang paling menyebalkan dan sekarang sudah tidak lagi, dia tetap dia, Benaya masih menjadi kekasih di dalam kotak hatinya, kalau tidak ada dia, ya, sudah hancur semestanya.

Menjual rumah yang entah sudah di rencanakan berapa lama, dan tidak tahu siapa pembelinya. Kinara berharap siapapun yang mengisi nanti, dia ingin sosoknya sama seperti dengan Benaya.

"Kara capek nangis terus, nangis untuk orang yang lagi pergi, nangis untuk orang yang ninggalin Kara sendirian. Habis pabrik tisu kalau begini caranya. " ia mengusap pipinya dengan kasar.

Setelah menemukan surat yang di cari tadi, yang tiba-tiba ada di atas meja belajar, terlipat dengan rapi, kini surat itu terlihat lebih berani untuk di baca.

Tangannya mulai tergerak untuk membuka dan menutup surat, meski tanpa niat dan berani. Andai saat ini ia tidak dalam kondisi sedih, mungkin surat itu tidak akan takut untuk di baca. Bisa saja surat itu tidak hanya berani ia genggam dengan segala sesal, terpaksa dan penasaran. Kinara tidak seberani itu untuk tahu kelanjutan ceritanya.

Seperti ada malaikat dan iblis yang saling mengiriminya keyakinan, kepalanya berdenyut dengan hebat, sakit sekali, hingga dia terpaksa memukul-mukulinya. Kinara di hadapkan oleh satu pilihan, pilihan yang harus pahit agar dapat mewakili hatinya hari ini, besok, lusa atau bisa jadi selamanya.

"Bacalah, petunjuknya ada di balik sana. Kalau tidak di baca, mau tau jawabannya dari mana?"

"Sudah jelas Benaya memang maunya pergi. Dia gak mau sama kamu."

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang