3. Ditinggal

77 40 4
                                    


Silent readernya banyak ya

.
.
.
.
.

Raksa mengendarai motornya dengab kecepatan sedang. Semilir angin sore yang menerpa kulitnya, membuat cowok itu tersenyum tipis.

Raksa membentuk mulutnya menjadi bulat. Sedetik kemudian, suara siulan terdengar dari mulut lebarnya. Kepala Raksa turut bergiyang kesana-kemari sesuai irama.

Glessia mengeratkan pelukannya di pinggang Raksa ketika motor direm mendadak. Suara gesekan antara ban motor da. permukaan aspal terdengar nyaring di gendang telinga cewek berbando merah muda itu.

Raksa berdecak. "Anjir, tu mobil. Jalan gak pake mata apa, kalau gue nabrak gimana coba?! Cari mati emang."

Raksa menatap mobil sedan berwarna putih yang hampir menyerempet motor dengan pandangan geram. Sumpah-serapah keluar dengan sendirinya dari mulut cowok itu.

Kedua alis Glessia bertaut. Cewek itu menepuk pelan bahu Raksa, membuat gerakan mulut Raksa terdiam sejenak.

Tubuh Raksa bergerak sembilan puluh derajat ke samping. "Apaan, sihh?! Gue lagi marah sama itu mobil, jangan bikin gue tambah marah lagi!"

Glessia ikut memiringkan badannya agar dapat melihat lebih jelas wajah Raksa. " Mobil 'kan gak punya mata, Raksa. Mobil juga yang jalanin kan orang, bukan jalan sendiri."

Dengan wajah polosnya, Glessia mengatakan kalimat itu kepada Raksa yang menggeram tertahan di depannya. Tanpa aba-aba, Raksa menjalnkan kembali motor dengan kecepatan di atas rata-rata.

Glessia sontak memeluk erat Raksa dari belakang dengan mata Raksa dari belakang dengan mata terpejam rapat. Glessia memekik tertahan. Glessua menyembunyikan wajah ketakutannya di baibhu Raksa.

Udah dibilangin jangan bikin gue tambah marah, malah ngeyel Habis lo hari ini sama gue, Gless!

☆☆☆

Raksa menepikan motornya di pinggir jalan yang tidak ramai daru banyak orang. Sebelah alianya terangkat. Cowok itu berbalik, melihat ke belakang ketika mendengar isakan tangis.

Raksa berdecak ketika mendapati Glessia menangis di bahunya. "Cengeng banget jadi cewek."

Glessia mendongak.
"Gless....hiks....takut, Raksa!"

"Ketakutan apa keenakan?"

"Maksudnya apa? Gless gak ngerti."

"Sepanjang jalan lo meluk gue erat banget. Lo nya keenakan, gue nya yang susuh napas."

"Glessia kan takut, Raksa."

"Ngeles."

Raksa ingin turun dari motornya. Namum pelukan erat di pinggingnya membuat Raksa sulit untul bergerak bebas.

"Lepas," kata Raksa sambil mencoba melepas pelukan erat Glessia.

Glessia menggelengkan kepala cepat. "Gak, gak mau!"

Raksa berdecak untuk kedua kalinya."Gue bilang, lepasin Glessia."

"Raksa mau ke mana?" tanya Glessia.

"Kencing. Cepet, jauhin tangan lo," jawab Raksa kesal.

Glessia menatap jalanan sekitarnya. Sepu, kata itu yang memenuhi pikirannya. Glessia beegidik ngeri, ketika bayangan akan penculikan terjadi padanya terbesit begitu saja di otaknya.

"Gak, gak mau! Raksa gak boleh pergi!"

Raksa menggeram kesal ketika pelukan Glessia semakin erat. Ada dua opsi yang membuatnya menehan marah pada cewek itu. Pertama, Raksa merasa sesak. Kedua, dia sudah tidak bisa menahan sesuatu yang ingin keluar di bawah sana.

"Lepasin sekarang juga atau gue tinggalin lo di sini?!"

"Gak, Raksa gak boleh tinggalin Gless di sini. Gless takut."

"Yaudah kalau gitu, lepasin gue sekarang!"

"Raksa mau ninggalin Gless di sini. Gless gak mau!"

"Gue bukan mau ninggalin lo, Glessia. Buru lepasin, gue udah kebelet!"

"Gless ikut tapi."

Raksa membelalak. "Gila! Kagak! Lo tinggal di sini gue mau kencing sebentar doang."

Glessia menggeleng, tetap pada pendiriannya untuk menahan Raksa pergi dengan memeluk erat cowok itu. "Glessia gak mau ditinggal. Glessia takut...hiks."

Raksa terdiam setelah sempat melakukan berontakan. Setelah sempat berhenti menangis, Glessia kembali mengeluarkan arus sungau itu kembali. Dan anehnya, kali ini Raksa terpengaruh olehnya.

"Gless, takut sendirian...hiks," gumam Glessia du sela tangisnya.

Darah Raksa berdesir. Entag kenapa, ia merasa ada seauatu lain di balik kalimay yang Glessia ucapkan. Raksa merasa kelimat itu bukan tertuju padanya saat ini, tapu masa lampau, mungkin?

Raksa menghembuskan napas. "Kita mempir ke mall, sekalian ada yang mau gue beli."

Setelah mengucapkan itu, Raksa menjalanlan motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang mulai ramai di sote hari ini.

Raksa mendesak pelan ketika menyadari Glessia masih setia menangis di balik punggungnya dengan pelukan masih sama eratnya seperti sebelumnya

ini anak sebenarnya kenapa coba? Batin Raksa.

Setelah kurang lebih 10 menit di perjalanan, Raksa dan Glessia akhirnya sampai ditempat tujuan. Raksa memarkirkan motornya.

Kedua sejoli itu turun dari motor. Glessia terkejut ketika Raksa tiba-tiba menarik tangannya. Alis Glessia bertaut ketika melihat toilet umum di depan sana.

Glessia hanya diam tanpa berniat buka suara. Kali ini dia sedang dalam mode diam. Hanya ada isakan yang terdengar dari mulutnya, membuat beberapa pasang mata menatap aneh kedua pasangan itu.

Raksa menyadari fokus sekitarnya, tapi untuk kali ini saja dia tidak ingin banyak bicara dulu. Di bawah sana, ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Kali ini benar-benar sudah berada di ujung.

Raksa berhenti beberapa meter dari toilet khusus laki-laki. "Tunggu di sini. Jangan kemana-mana sebelum gue dateng. Kalau ada orang yang ngajak lo ngobrol, jangan ditanggepin. Kalau ada yang coba-coba deketin lo, marahin aja. Kalau perlu sekalian tonjok aja. Gue udah kebelet."

Tanpa menunggu jawaban dari Glessia, Raksa berlari cepat memasuki toilet. Sementara Glessia hanya menunduk di tempatnya.

Sekitar sepuluh menit Glessia menunggu, Raksa masih belum kunjung keluar dari toilet. Glessia jadi risau di tempatnya. Ia kembali menangis karena berpikir Raksa meninggalkannya sendirian.

Glessia berjongkok. Ia memeluk tubuhnya sendiri seraya menahan tangisnya agar tidak terdengar kencang. Cewek iti terus memanggil-manggil nama Raksa di sela tangisnya dan berharap cowok itu kembali menemuinya.

"Gless?"

☆☆☆☆

VICINUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang