4. Diary

554 367 287
                                    

     Arka memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Rafka, karena tadi gerbangnya terbuka. Jadi Arka langsung masuk saja.

     Arka keluar dari mobilnya dan berjalan ke pintu. Ia mengetuk pintu dan tak lama pintu itu pun terbuka. Tampaklah Rafka yang memakai baju kaos dan celana pendek, sedangkan Arka dari tadi masih mengenakan seragam sekolah dan tas di pundaknya.

     "Astaga, Arka! Lo belum ganti seragam juga," kaget Rafka seolah dia adalah orang tua Arka. Arka hanya menatapnya malas.

     "Lo pasti belum pulang ke rumah kan," tebak Rafka. "Lo darimana aja tadi? Sama siapa?" tanyanya menyelidik.

     "Lo mau ngomong terus atau nyuruh gue masuk? tanya Arka malas. "Kalau nggak gue pulang nih." Arka hendak membalikkan badannya ke belakang dan pergi dari rumah Rafka, tetapi ditahan oleh sang empunya rumah.

     "Lo sensitif banget sih jadi orang, gue kan cuma nanya," Rafka membela diri. Ia menyuruh Arka untuk masuk ke rumahnya.

     Sekarang Arka sudah ada di kamar Rafka. Sedangkan Rafka sedang mencari bajunya yang pas untuk dipakai Arka.

     "Nih, pakai baju gue." Rafka menyerahkan bajunya kepada Arka.

     Arka menerimanya dan langsung ke kamar mandi untuk mengganti seragamnya. Arka sudah terbiasa dengan rumah Rafka karena ia sudah sering berkunjung bahkan menginap.

     "Jawab pertanyaan gue tadi!" suruh Rafka saat Arka sudah duduk di sebelahnya. Mereka sekarang berada di balkon kamar Rafka.

     "Emang lo siapa?" sinis Arka.

     "Gue itu sahabat lo dari kita SMP sampai sekarang, yang selalu sabar dan tabah ngadepin sikap lo yang dingin, cuek, sensitif, nggak jelas, dan masih banyak lagi lah sifat buruk lo," jawab Rafka yang bertingkah seolah dia adalah orang yang sangat sabar sedunia.

     Arka hanya menatap Rafka datar.

     "Gue kepo nah, kasih tahu dong Arka yang ganteng tapi masih gantengan gue." Arka sudah terbiasa dengan sikap satu-satunya sahabatnya ini, yang selalu ingin tahu segala urusannya melebihi orang tuanya sendiri.

     "Gue tadi habis nganterin Ara pulang. Dah, puas lo." Rafka mengangguk mengerti.

     "Sejak kapan lo peduli sama cewek? Bukannya selama ini lo selalu dingin dan cuek ya, sama yang namanya kaum hawa?" tanya Rafka. Ia sangat heran dengan sahabatnya, yang tiba-tiba peduli terhadap cewek.

     Arka bingung mau menjawab pertanyaan Rafka, kalau tidak dijawab pasti dia bakalan nanya terus. Bisa-bisa sampai pagi gue disini.

     "Itu dulu, waktu gue masih SMP. Gue sekarang udah SMA, Rafka, sahabat gue yang paling kepo. Jadi terserah gue lah kalau gue peduli sama cewek dan mau temenan, daripada gue temenan sama lo terus. Bosan gue."

     Rafka menatap Arka menyelidik, "Lo bohong kan?" Rafka tahu sekali bagaimana Arka jika sedang berbohong.

     Arka pasrah karena sekarang ia ketahuan berbohong. Arka menceritakan semuanya kepada Rafka. Mulai dari kisahnya dengan Ara saat kecil, sampai Ara yang seperti tidak mengingat apapun saat bertemu lagi di SMA.

     "Oke, gue paham sekarang," ucap Rafka saat Arka mengakhiri ceritanya.

     "Menurut gue ya, Ka. Ara itu pasti anemia." Rafka memberikan pendapatnya yang membuat Arka terkekeh mendengarnya.

     "Amnesia tolol."

     "Sejak kapan namanya diganti?"

     "Otak lo tuh yang harus diganti," jawab Arka.

Ara & ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang