10. Amnesia

189 62 54
                                    

Happy Reading

***
     "Araaa!" panggil Dewi dari bawah. Ara yang sedang asyik membaca novel pun langsung menyahut.  "Kenapa, Ma?"

     "Turun dulu sini, masa ngomongnya teriak-teriak gini?" suruh Mamanya.

     Ara menutup novelnya, tak lupa ia memberikan penanda sudah sampai mana ia membaca. Karena Ara termasuk orang yang pelupa. Ia saja kadang lupa apa yang ingin dilakukannya. Jadi, Ara selalu membuat pengingat atau catatan di ponselnya jika itu sangat penting.

     Setelah sampai di anak tangga terakhir. Ia menoleh ke sofa yang biasanya menjadi tempat untuk keluarganya berkumpul. Begitu terkejutnya Ara saat melihat sosok yang sangat dirindukannya.

     "Papa?"

     Ara segera menghampiri kedua orang tuanya.

     "Papa kok bisa di sini?" tanya Ara. Pertanyaannya tersebut membuat Firman—ayah Ara terkekeh mendengarnya.

     "Papa pulang bukannya ditanya kabarnya malah ditanya gitu. Memangnya Papa nggak boleh pulang? Ini kan rumah Papa juga. Kamu nggak senang, ya, Papa di sini?"

     "Bukan gitu, Pah, maksud Ara gak gitu. Kan pas ditelepon kemarin, Papa bilangnya satu minggu lagi baru pulang. Tapi, malah hari ini pulangnya," tutur Ara.

     "Ya kan Papa pengen kasih kejutan buat anak kesayangan Papa."

     "Ya udah pasti aku anak kesayangan Papa, kan cuma aku anak Papa sama Mama, kecuali aku punya saudara," ujar Ara membuat Dewi dan Firman saling menatap.

     "Kamu nggak mau peluk, Papa?" tanya Firman sembari merentangkan tangannya.

     "Gak deh, Papa bau. Mandi dulu sana!" titah Ara. Dewi yang melihat ekspresi suaminya tidak bisa lagi menahan untuk tidak tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak sampai membuat Ara dan Firman menatapnya heran.

     "Kalian ini aneh, ya? Bukannya saling pelukan, ini malah berdebat. Terus kamu Ara, kamu malah ngatain Papa kamu bau," ujar Dewi masih dengan sisa-sisa tawanya.

     "Iya dong, Ma. Kami kan selalu beda dari yang lain," ujar Ara seraya ber-tos dengan Papanya. "Lagian kalau pelukan muluk nanti kayak Teletubbies lagi."

     "Ya udah Papa mandi sana gih, udah bau gitu juga," suruh Ara.

     "Ini yang anak kamu apa Papa sih? Kok kamu yang merintah Papa?" tanya Firman heran.

     "Gak pa-pa dong Ara merintah Papa, yang penting kan merintahnya dalam hal kebaikan. Kalau Ara perintahkan Papa buat nikah lagi baru gak boleh, iya kan, Ma?" Ara meminta persetujuan Mamanya.

     Dewi mengangguk dengan cepat. "Kalau itu nggak boleh banget," tambahnya.

     "Ya udah, Papa nurut. Lagian kalau Papa berdebat sama kamu, pasti kamu yang menang. Papa ngerasa kata-kata itu benar sekarang."

     "Kata-kata yang mana, Pah?" tanya Ara.

     "Yang katanya perempuan selalu benar dan laki-laki selalu salah itu lho."

     Ara dan Dewi tertawa mendengarnya. Setelah itu Firman segera pergi ke kamarnya dan mandi.

***
     Malam telah tiba. Keluarga yang sudah lengkap ini pun sedang menikmati makan malam dengan tenang. Tidak ada yang bersuara kecuali sendok dan garpu yang saling beradu.

     Setelah selesai makan Ara membantu Dewi membereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.

     Ara hendak ke kamarnya karena dirasa pekerjaannya sudah selesai semua di dapur. Tetapi langkahnya terhenti saat ingin menaiki tangga. Panggilan dari Firman yang menghentikannya.

Ara & ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang