Pukul 21.00
Aku terbaring lemah di atas kasur sambil menunggu kapan giliranku akan tiba. Seharian ini aku menghabiskan waktu dengan banyak orang, dan itu semua membuatku lelah. Hati. Dan pikiran. Ku harap ketika aku terlelap semuanya akan kembali putih. Hatiku. Dan pikiranku. Tapi nyatanya, aku justru membuka gerbang pada dimensi baru yang siap menguras habis tenagaku.
Nalarku...
Pukul 21.05
Giliranku belum juga tiba. Aku terus membuka dan memejamkan mataku secara bergantian. Aku takut memejamkan mata. Takut tenggelam dalam dimensi yang akan menghanyutkanku pada sosok diriku yang lain. Aku pun tak mau terus membuka mata. Karena jika aku membuka mata, giliranku tidak akan pernah tiba. Pilihan paling logis adalah untuk memejamkan mata tanpa masuk ke dimensi yang lain. Tapi, rasanya sulit sekali untuk dilakukan. Baru lima detik saja aku memejamkan mata, aku sudah tidak kuat. Aku buru-buru membuka mata dan menarik kembali jiwaku dari dimensi yang lain. Dan, begitulah alasan mengapa giliranku tak kunjung tiba.
Pukul 21.10
Aku sudah tidak kuat. Aku harus segera mendapatkanya. Aku harus menemukan 'obat'-ku. Sudah berkali-kali aku mengganti posisi berbaringku tapi aku tak kunjung menemukannya jua. Aku menoleh ke arah kanan, kiri, depan, atas, tengkurap, masih tak ada juga. Aku mulai 'sakau'. Aku sudah tidak kuat lagi. Riuh berkecamuk dalam kepalaku, menanti jiwaku keluar untuk mereka ajak pergi. Tapi, aku tak akan membiarkannya pergi. Aku tak akan memejamkan mataku. Meski aku harus menahan sakit di kepalaku, demi menjaga jiwaku tetap bersamaku, aku akan menahannya. Paling tidak untuk dua puluh sampai tiga puluh menit lagi.
Sabar...
Tahan...
Pukul 21.20
Sudah sepuluh menit. Tubuhku terasa makin lelah. Kepalaku terasa makin pusing. Kini sakitnya mulai memusat pada satu titik, di sebelah kiri pelipisku. Tapi, tanda-tanda giliranku akan tiba masih belum juga nampak.
Sunyi. Riuh yang berkecamuk itu nampaknya sudah mulai lelah. Hanya samar-samar saja aku mendengarnya. Apakah kini aku sudah bisa memejamkan mataku? Aku tidak tahu. Aku tidak mau mengambil risiko. Aku takut penantianku selama sepuluh menit ini akan berakhir sia-sia dan mengulang giliranku dari awal lagi.
Perlahan mataku sudah mulai sayup-sayup melihat ke langit-langit kamar. Aku berada di titik penentuan, apakah giliranku akan tiba, atau justru aku akan ditarik mundur menuju dimensi yang lain. Aku tidak tahu.
Mari kita lihat....
Aku pun memejamkan mataku.
Pukul 21.25
Aku berada di cafe bersama dengan wajah-wajah yang ku kenal. Aku tidak pernah ingat siapa nama mereka. Tapi aku bisa mengenal mereka hanya dari suara yang mereka keluarkan. Mereka adalah teman-teman yang selalui ku jumpai setiap malam. Merekalah yang selalu menjadi pelarianku ketika aku lelah seharian beraktivitas. Merekalah yang selalu mau mendengarkan ceritaku dan keluh-kesahku. Merekalah yang tidak pernah memotong kalimatku dan membiarkan aku puas bercerita.
Merekalah teman-teman khayalanku.
Nampaknya pertaruhanku sudah jelas. Aku masuk pada dimensi yang lain dari kehidupanku. Lihatlah bagaimana mereka menjemputku tanpa suara, bahkan di detik-detik terakhir ketika giliranku akan tiba. Aku sudah memutuskan bahwa aku akan bersama mereka terlebih dahulu, setidaknya selama beberapa menit saja, sambil menunggu giliranku tiba. Ku nikmati kisah dari berbagai belahan dunia yang mereka bawa. Tentang mereka di masa lalu, dan tentang aku di masa depan. Kami semua tertawa, dan aku merasa bahagia. Tapi, tubuhku memberi sinyal sebaliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[Short Story Series] Ruang Imajinasi
Short StoryMerupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) dengan berbagai genre dan topik yang asik untuk diceritakan.