Kulihat ia berjalan menyusuri jalan setapak yang berujung di hutan di dekat persembunyian kami. Ia memang sudah pamit padaku tapi entah kenapa perasaanku berkata lain. Ada yang mengganjal di hatiku dan aku tidak nyaman dengan diriku sendiri. Firasat buruk menghantuiku saat melihat figurnya yang semakin mengecil menjauhi rumah tempatku berdiri sekarang.
Aku harus pergi.
Aku harus menyusulnya.
Kukemas semua perbekalan yang bisa dimuat dalam ransel yang tak pernah lepas dari tubuhku. Beberapa cadangan peluru dan satu pistol mungkin cukup. Aku tidak terlalu menyukai memakai pistol. Kutambahkan beberapa pisau yang aku ambil tanpa ijin dari tempat penyimpanan senjata milik sahabatku. Ia mungkin bakal tidak menyukainya, tapi masa bodoh. Aku tidak peduli.
Kumasukkan beberapa bungkus biskuit yang kutemukan di dalam lemari gantung dapur rumah ini. Yang lain masih sibuk menyisir keamanan dan ini kesempatan emasku untuk pergi menyusulnya. Menyusul dia yang selalu berusaha melindungiku tanpa peduli betapa berbahaya kondisi yang akan ia alami.
"Kau mau ke mana?" Terdengar suara dari balik punggungku dan membuatku terpaku di depan pintu yang baru akan kubuka.
"Aku harus menyusulnya." jawabku membalikkan tubuh. Bahuku berdenyut dan aku berusaha mengabaikannya.
Byron mengernyitkan dahinya. "Kau tidak boleh pergi. Memangnya lukamu sudah sembuh?"
Aku menggelengkan kepalaku dan menatapnya nanar. Bahuku masih berdenyut dan rasa nyerinya perlahan menguat tapi aku masih bisa menahannya. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan Byron. "Ini beda, aku harus menyusulnya. Aku takut terjadi sesuatu padanya, Byron."
"Sebenarnya aku mau membiarkanmu pergi, tapi ia menitipkanmu padaku. Ia tak mau kau bepergian sendiri, terutama dengan bahumu yang belum sembuh benar." ucap Byron dengan lemah. Aku tahu kalau ia tidak senang berdebat, apalagi denganku. Ia tahu aku ini keras kepala jadi kenapa ia masih tetap menahanku.
Aku menyisirkan jari-jariku di rambut kusutku dengan frustasi. "Aku akan tetap pergi." Sedetik kemudian, aku sudah berbalik menghadap pintu dapur rumah ini dan merasakan nyeri yang menjalar dari bahuku. Sakitnya tak tertahankan tapi aku harus berlari. Byron pasti mengejarku karena aku mendengar langkahnya yang berusaha menyamai langkahku.
Begitu cepatnya aku sampai aku tak mendengar lagi suara langkah Byron. Aku berhenti di tepi hutan dan menengok ke belakang. Byron meneriakkan namaku dan berusaha bernapas dengan normal. Dadanya naik turun karena kehabisan napas akibat mengejarku. Aku tersenyum menyeringai dan melambaikan tangan padanya lalu melanjutkan lari ke dalam hutan.
Dengan siaga, aku membawa tubuhku semakin dalam ke hutan yang sunyi itu. Aku berusaha tidak menimbulkan suara apapun atau kumpulan mayat berjalan itu akan mengetahui keberadaanku. Di mana dia? Seingatku ia hanya mencari tas senjata yang Macy jatuhkan di sekitar sini.
Mataku menangkap seseorang yang berlari ke arahku dan beberapa manusia yang berjalan mengejarnya. Aku tahu ini gawat tapi kakiku masih tidak bergerak. Orang itu masih berlari ke arahku dan ternyata bukan orang yang aku inginkan. Itu Ollie.
"Kita harus pergi!" seru Ollie di depan wajahku. Andai saja dia bukan temanku, sudah kutancapkan pisau ke lehernya karena berteriak dengan sopannya di depanku.
Aku menggeleng dan segera berlari ke belakang punggung Ollie dan menancapkan pisauku ke kepala orang-orang mati yang mengejar Ollie. Tiga orang itu kulumpuhkan dalam waktu yang singkat. Aku heran kenapa bukan Ollie yang melawan mereka tapi malah aku.
"Di mana ia?" tanyaku pada Ollie yang masih tersengal-sengal.
Ollie menggelengkan kepalanya berulang kali dengan lemah. "Aku tidak tahu ke mana perginya. Aku diminta kembali, katanya ia bisa pergi sendiri. Aku hendak membantah tapi kau tahu bagaimana hasilnya kalau melawan. Keputusannya sudah tidak bisa diganggu gugat."
Aku terdiam. Mendadak nyeriku terasa bertambah kuat dan semakin melemahkanku. Mengingatnya pergi membuatku stres sendiri. Aku menyalahkan diriku karena membiarkan dia pergi di saat aku tahu ia memang hendak meninggalkan kawananku ini cepat atau lambat. Ia merasa tidak nyaman dengan beberapa orang di dalam grup kami.
Aku terduduk lemas di tanah. Menerawang ke mayat-mayat yang sudah kujatuhkan ke tanah lalu memandang ke deretan pohon hijau nan lebat di sekitarku. Aku tidak bisa membayangkannya pergi. Aku tidak bisa melihatnya sendiri dan ketakutan. Aku tahu dalam hatinya ada rasa takut. Rasa takut akan wabah ini. Wabah yang sudah membabat habis populasi manusia di negeri ini. Mendengar pikiranku sendiri, aku hanya bisa menekuk lutut dan terisak dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajahku.
*****
Note: Semua peristiwa, tempat, dan karakter yang disebutkan dalam cerita ini benar-benar fiksi. Kesamaan pada media lain adalah murni kebetulan. Luke dalam buku ini tidak berhubungan dengan Luke yang sebenarnya, selain dari nama dan penampilannya. Semua nama-nama tempat dalam buku ini juga merupakan fiksi.
.
Casts:
Kelly Gibson by Sophie Turner
Luke Hemmings by himself
Howard Gibson by Mark Harmon
Tom Gibson by Thomas Sangster
Byron Smith by Dylan O'Brien
Oliver 'Ollie' McHall by Ellar Coltrane
KAMU SEDANG MEMBACA
outbreak (l.h.)
Fanfictionluke hemmings and kelly gibson are now living in the very different world. together they try to stay safe, to stay survive, and to stay alive. but will they? will they be the best team in fighting a viral outbreak? (written in Bahasa Indonesia)