BAGIAN 7

5 1 2
                                    

Abel duduk termangu di bangku kecil dekat parkiran. Suasana yang tadinya ramai dengan suara kendaraan anak-anak yang mengeluarkan motor dari parkiran kini sudah sepi. Hari ini cuaca tak begitu panas. Justru angin sepoi-sepoi berhembusan membuat cewek yang sudah bosan menunggu itu hingga terkantuk.

Abel menundukkan kepala seperti sedang mengheningkan cipta. Mata nya semakin berat untuk dibuka. Ah apa ia tidur sebentar saja ya. Tiba-tiba Abel dengan mata sayu mendapati sepasang kaki sudah berdiri di depannya.

Senyum Abel mengembang melihat kedatangan cowok yang sedari tadi ia tunggu. Padahal tadi ia pikir usahanya kali ini akan sia-sia lagi. Keputusan bagus untuk mengambil kunci motor Mario. Mario mengulurkan tangannya. Melihat uluran tangan Mario, Abel pun mengambil uluran tangan Mario.

Mario menangkis tangan Abel. "Kunci motor." Kata Mario yang kembali mengulurkan tangannya. Abel mengira Mario mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, tapi ternyata...

"Oh.." Abel tertawa kecil. Ya, menertawakan kebodohannya sendiri. Lagipula mana mungkin seorang Mario mengulurkan tangannya duluan. Cuek dan dingin. Tapi itulah pesona Mario yang membuat Abel jadi suka.

Abel naik ke atas motor setelah Mario memberi isyarat untuk naik. Abel melingkarkan kedua lengannya di pinggang Mario. "Harus ya pegangan gini?" tanya Mario. Walaupun wajahnya tertutup helm, nampak jelas dai suaranya ia merasa terganggu dengan lengan Abel yang melingkar di pinggangnya.

"Harus dong. Kalau gak gini nanti gue jatuh gimana?" jawab Abel. Yahh..walaupun itu sebenarnya cuma alasan saja. Memang kapan lagi Abel bisa sedekat itu dengan Mario. Abel berani bertaruh, belum ada satu cewek pun yang pernah naik motor dan dibonceng Mario.

Mario terlalu malas untuk meladeni Abel. Jadi ia langsung saja menginjak kopling dan langsung melaju.

"Rio, makanan kesukaan lo apa?" tanya Abel.

"Terus warna yang lo suka apa?" tannya Abel lagi.

"Rio, tipe cewek yang lo suka kayak gimana sih?"

"Rio pernah pacaran?"

Selama perjalanan pulang, Abel tak henti-hentinya menanyakan sesuatu pada Mario. Bak burung yang sedang meracau, Abel menanyakan hal-hal random yang terlintas di kepalanya. Sedangkan Mario sendiri sama sekali tak memberi respons apapun.

"Makasih, Rio!" ucap Abel setelah turun dari motor Mario. Cowok itu bahkan tak memberikan sepatah kata pun dan langsung melaju dengan motornya. Tak memedulikan raut wajah Abel yang tampak kesal dari spion.

Abel menghela nafas. Rasanya susah sekali membuat cowok itu untuk tertarik padanya. Huh tertarik apanya. Seorang Mario mengantarkannya pulang walau dengan terpaksa saja itu sudah patut disyukuri oleh Abel.

Abel menghempaskan badannya ke ranjang. Kepalanya mencari tempat yang nyaman dengan badan tengkurap. Aroma lavender tercium dari sarung bantal dan spreinya. Ah, mama nya pasti sudah mengganti sarung bantal dan sprei yang baru.

Abel mengambil guling yang tak jauh dari sisinya dan dijadikan bantal untuk kepala. Abel tersenyum. Tidak. Bukan gila. Hari ini moodnya cukup bagus. Bagaimana tidak? Usahanya selama ini tidak sia-sia.

Walaupun belum berhasil sepenuhnya, setidaknya jalan keberhasilan sudah dibuka selebar mungkin. Tinggal bagaimana ia akan melewatinya saja. Dengan kesepakatan yang ia lakukan bersama Mario, ia yakin pasti bisa meluluhkan hati Mario yang diselimuti oleh es.

***

"Rio!" sapa Abel. Sudah satu minggu ini sejak kesepakatannya dengan Mario berjalan. Selalu ke kelas IPA 1 setiap paginya sudah menjadi rutinitasnya. Bahkan Hana saja sampai bosan melihat Abel yang selalu ke kelasnya untuk menemui Mario.

"Ini cewek datang lagi. Bawa apa lo hari ini?" tanya Jeno. Cowok itu terlihat bersemangat jika melihat wajah Abel. Ia seperti melihat makanan gratisan berjalan ke arahnya. Itu karena setiap menemui Mario, Abel selalu membawa makanan yang berbeda setiap hari nya.

"Jeno kepo!" kata Abel sembari menjulurkan lidahnya untuk meledek Jeno.

"Ini anak kayaknya suka banget sama makanan buatan lo bel, kasihan kasih aja daripada ngiler kan?" timpal Reyhan yang duduk di sebelah Mario. Tak seperti hubungan Abel dan Mario yang lambat seperti siput, Abel justru lebih cepat akrab dengan kedua teman Mario.

"Bakalan dikasih kok. Asal yang makan duluan Rio." kata Abel kemudian menyodorkan wadah makanan bermotif beruang pada Mario.

Mario masih bersikap acuh tak acuh meskipun ia tahu Abel datang hanya untuk menemuinya. Ia pun sudah terbiasa jika Abel datang ke kelasnya dan selalu membawa makanan. Cewek dengan jepit rambut beruang itu pasti akan pergi jika bel masuk berdentang.

"Mario, dicari tuh sama Kak Putra!" ujar Hana sembari memberi isyarat ke arah pintu kelas. Seorang cowok berdiri di sana dengan tangan dimasukkan ke saku. Mario mengangguk kemudian beranjak dari kursinya menghampiri orang tersebut.

"Kak Putra? Kak Putra si kapten basket itu?" tanya Abel pada Hana. Hana mengangguk. "Ada urusan apa memangnya Kak Putra sama Mario?" tanya Abel lagi. "Ya man ague tahu Abel. Udah ah, gue mau nyalin pr matematika dulu," kata Hana kemudian kembali ke bangkunya. Dasar Hana. Temannya itu selalu saja mengerjakan pr di sekolahan. Ia pasti berangkat pagi-pagi sekali tadi. Ah lupakan Hana. Biarkan dia duet maut dengan pr nya.

Abel merasa kakinya hampir kesemutan karena terlalu lama berdiri. Ia kemudian duduk di bangku Mario. Cewek itu menatap ke arah luar. Melihat wajah tampan itu sedang bicara serius dengan lawan bicaranya.

Abel dengan iseng memasukkan tangannya ke laci meja. Ia tak sengaja mendapati banyak kertas di laci tersebut. Cewek itu melongokkan kepala nya mengintip ke dalam laci. Ia mengambil bola kertas berwarna merah muda. "Ini apa?" tanya Abel heran. Pasalnya bola kertas itu bukan hanya ada dua atau tiga tapi ada belasan.

Reyhan dan Jeno menatap satu sama lain. Mereka berdua seperti melemparkan tatapan agar mencegah Abel membuka kertas tersebut. "Sampah itu," kata Reyhan.

"Sampah? Kenapa ditumpuk gini?" tanya Abel. Cewek itu melihat gelagat mencurigakan dari Reyhan dan Jeno. Ia segera membuka bola kertas tersebut. Tentu saja itu bukan bola kertas biasa. Bola kertas itu adalah surat cinta yang ditujukan untuk Mario.

Abel membaca tulisan di surat itu dengan raut wajah kesal. Tiba-tiba sudut bibirnya naik. Abel menunjukkan senyum sinis. Membuat Reyhan dan Jeno merinding sendiri karena Abel yang tadi selalu memasang wajah manis karena ada Mario kini berubah tampak seperti joker.

"Kenapa?" tanya Mario yang entah sejak kapan berdiri tepat di sebelah Abel. Abel mendongakkan kepalanya menatap Mario. "Ini apa?" tanya Abel. "Lo kan pintar, kalau udah baca tulisan di situ masa masih nanya?" kata Mario.

Abel berdiri dari tempat duduknya. Cewek itu membawa semua kertas itu dengan kedua tangannya dan membuang semuanya ke tempat sampah di luar kelas. Setelah memasukkan semua kertas itu ke tempat sampah, Abel kembali menghampiri Mario.

"Buat kamu semua surat itu apa?" tanya Abel pada Mario.

"Sampah,"

"Tapi kenapa gak langsung dibuang aja?"

"Malas,"

"Oke, kalau gitu lo gak keberatan kan tiap ada sampah di laci lo gue buang?" tanya Abel dengan serius. Cewek itu walaupun bicara dengan cukup tenang, sebenarnya ia sedang menahan rasa kesalnya. Apalagi tadi ia menemukan surat cinta yang pengirimnya adalah si nenek lampir, Cindy. Ah menyebalkan.

Mario dengan wajah datarnya menjawab, "Terserah,"

Melihat respon Mario yang acuh tak acuh saat ia membuang kertas-kertas berisi tulisan yang membuat bulu kuduk merinding itu Abel merasa lebih tenang. Ini adalah salah satu keunggulan dari cowok dingin seperti Mario.

"Ternyata saingan gue lebih banyak dari yang gue duga," kata Abel.

Mario tersenyum sinis seraya berkata, "Tanpa saingan pun, lo gak akan berhasil."

Abel menelan ludah kecut. Bagaimanapun juga yang dikatakan Mario ada benarnya. Waktu kesepakatannya dengan Mario sudah berkurang tujuh hari tanpa ada perkembangan yang berarti. 

INFALLIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang