BAGIAN 11

5 2 1
                                    

Melihat Mario tertawa seperti itu membuat Abel senang. Cewek itu hanya bisa diam menatap Mario. Kalau mata terasa belum perih, ia tak akan berkedip. Pemandangan langka ini kan sayang jika harus dilewatkan.

Merasa kedua bola mata hitam milik cewek sedari tadi diam menatapnya, Mario kembali memasang wajah datar. "Rasanya jauh sama makanan yang selalu lo bawa ke kelas gue," kata Mario.

Bibir Abel mengerucut. "Ya kan ini mendadak. Kalau yang gue bawain tiap hari kan hasil percobaan ke sekian kali," kata Abel.

"Emang harus berapa kali percobaan?" tanya Mario.

Abel memutar otaknya Cewek itu mencoba mengingat berapa kali percobaan yang ia lakukan biasanya hanya untuk membawakan makanan setiap hari ke kelas Mario.

"Dulu waktu pertama belajar sih 17 kali. Tapi karena tiap hari belajar masak ya paling dua atau tiga kali percobaan udah enak." Jelas Abel.

Mario mengernyitkan dahinya. "Sebanyak itu?" tanya Mario.

Abel meringis seraya berkata, "Kenapa? Keahlian gue masak payah banget ya?".

"Bukan, bukan itu." Kilah Mario. "Terus?" tanya Abel tak mengerti dengan alur pembicaraan mereka.

Mario menghela nafas. Sebenarnya, cowok itu sama sekali tak menyangka kalau Abel akan bertindak sejauh ini hanya karena dirinya. Sebenranya apa yang Abel cari dari dirinya. Bahkan ia selalu bersikap acuh pada Abel. Tapi cewek itu sama sekali tak goyah.

"Lo masih suka sama gue?" tanya Mario.

"Ya. Tentu." Jawab Abel dengan tegas.

"Kenapa lo suka sama gue?" tanya Mario lagi.

"Karena lo gak suka sama gue," jawab Abel. Jawaban Abel itu justru membuat Mario semakin tak mengerti dengan jalan pikiran cewek di hadapannya itu.

"Maksudnya?" tanya Mario yang masih tak mengerti walau ia sudah mencerna jawaban yang keluar dari bibir mungil Abel.

"Yang mau sama gue banyak, tapi yang bilang gue bukan tipenya cuma lo." Kata Abel. "Sekilas terlihat seperti penghinaan. Tapi lo lebih jujur daripada mereka yang cuma suka karena fisik dan kepopuleran gue di sekolah." Tambah Abel.

Mario menatap Abel lekat. Melihat kedua bola mata yang menyorotkan kesungguhan dengan raut wajah penuh keyakinan. Sungguh. Mario sedikit terkejut dengan jawaban yang tak disangkanya.

"Terus apa yang lo suka dari gue?" tanya Mario lagi.

"Ganteng,"

Mario mendengus pelan. "Terus apa bedanya lo sama orang-orang yang ngejar lo karena fisik dan kepopuleran?"

"Ganteng versi Amabel itu beda,"

"Apa bedanya?"

"Jadi pacar gue kalau mau tau lebih lanjut!" kata Abel. Cewek itu terang-terangan meminta Mario untuk jadi pacarnya. Lagipula, mana ada kata menyerah di dalam kamus hidup seorang Amabel.

"Udah malam. Lo pulang gih!" ujar Mario. Cowok itu mengalihkan pembicaraan kemudian mengedarkan pandangannya menghindar untuk menatap kedua bola mata yang seperti bulan sabit itu.

Abel melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Memang sudah cukup larut untuk Abel. Apalagi jarak dari rumah Mario dan rumahnya cukup jauh.

"Lo ke sini naik apa?" tanya Mario.

"Taksi online," jawab Abel.

"Udah malam. Gue antar." Kata Mario. Cowok itu kemudian beranjak dari kursinya untuk mengambil kunci motor di laci meja belajar di kamarnya.

"Jangan. Lo kan masih sakit." Larang Abel. Aduh. Niat Abel kemari kan memang untuk merawat Mario yang sakit. Kalau cowok ini mengantarnya pulang, ia bisa-bisa merasa tak enak dan kepikiran terus. Abel kan bukan cewek yang akan membiarkan orang sakit mengendarai motor malam-malam begini.

"Gue antar," kata Mario.

"Jangan. Lo di rumah aja. Orang tua lo juga pasti bentar lagi pulang kan," kata Abel. Abel bersikeras menolak. Seandainya Mario menawarkan untuk mengantarkan dirinya saat sehat wal afiat, Abel tak akan menolak.

"Gue gak suka hutang budi sama orang. Gue antar!" kata Mario. Gaya bicaranya memang tampak biasa saja, tapi nadanya penuh penekanan di setiap katanya. Hal itu membuat Abel mengalah dan menerima tawaran Mario untuk mengantarkannya pulang.

***

Suara motor di malam hari terdengar nyaring karena suasana jalan saat itu memang sepi jika sudah di atas jam 8 malam. Abel turun dari motor kemudian melepas helm yang ia gunakan.

"Hati-hati, Rio." Ucap Abel. Cewek itu menatap Mario yang bahkan tak menampakkan wajahnya karena masih mengenakan helm fullface. Mario tanpa banyak basa-basi memutar motornya dan meninggalkan Abel. Yahh.. cewek itu juga kali ini tak mengharapkan apapun. Mario kan juga bukan tipe cowok yang banyak bicara.

Abel dengan tergesa membuka pintu gerbangnya agar dapat masuk. Suasana yang gelap itu terasa agak seram mengingat rumah Abel yang letaknya berjauhan dengan rumah-rumah yang lain. Sedikit kesal rasanya. Harusnya tadi Mario lebih peka dan membiarkannya masuk lebih dulu. Tapi cowok dingin itu malah pergi lebih dulu dan membiarkannya sendirian.

"Pacar ya? Kenalin ke mama dong!" ujar Dina yang masih berdiri di dekat jendela. Abel yang baru saja masuk ke dalam rumah berkata, "Dih, mama ngintip ya?"

"Ganteng ya." Kata Dina. Abel mengerutkan keningnya karena heran. Ia ingat dengan pasti kalau tadi Mario sama sekali tak menunjukkan wajahnya karena mengenakan helm fullface.

"Ganteng sih. Tapi mama tau dari mana? Kan Mario gak nunjukkin mukanya,ma," Tanya Abel.

Dina membulatkan mulutnya sembari mengangguk-angguk. "Oh, Mario yang nolak kamu itu ya?".

"Tau lah mama. Orang ganteng itu kelihatan bel dari auranya," Kata Dina. Mendengar ucapan mamanya, Abel tak kuasa menahan tawa. "Aura apa ma? Aura semacam gletser?" ujar Abel. Memangnya aura macam apa yang mengelilingi cowok seperti Mario. Kalau adapun, pasti aura bongkahan es.

"Loh. Jangan salah, Bel. Dulu mama waktu ketemu papa juga mama langsung tahu kalau papa itu ganteng walaupun mukanya ditutupin pakai masker dan badannya dibalut pakai seragam scrub." Jelas Dina dengan semangat.

"Iya deh. Terserah mama aja," Kata Abel yang kemudian berlalu untuk menuju kamarnya.

"Udah makan malam? Mama panasin sayurnya ya?" tanya Dina.

Abel menggeleng malas. "Udah ma, makan bubur asin." Jawab Abel. Cewek itu mengingat kembali kejadian memalukan di rumah Mario tadi. Ah, padahal ini kesempatan yang baik untuk meluluhkan hati Mario. Tapi dengan kecerobohannya, ia malah menyia-nyiakan kesempatan dan justru mempermalukan diri sendiri.

Abel menghamburkan diri ke atas ranjangnya. Ia mengambil sebuah boneka beruang yang berukuran lebih kecil dari telapak tangannya.

"Ibel, gimana ya caranya supaya cowok itu juga suka sama aku?" gumam Abel seraya menggerak-gerakkan kedua lengan boneka yang ia beri nama Ibel. Abel yang tadinya berbaring menghadap langit-langit kamar mengubah posisinya menjadi tengkurap. Cewek itu juga tak melepaskan pandangannya pada Ibel.

"Huh. Gimana bisa bongkahan es itu mencair hanya dalam waktu 36 hari!!!" keluh Abel sambil menendang-nendang udara dengan kaki yang masih terbungkus dengan kaos kaki. 

INFALLIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang