BAGIAN 9

5 1 0
                                    

Hanya terdengar suara jarum jam yang meninggalkan detik di ruangan yang penuh itu. Seorang wanita dengan seragam dinasnya sebagai guru tampak berjalan dengan tangan di belakang. Semua siswa siswi duduk di bangkunya dengan kepala tertunduk. Mereka menatap fokus lembaran kertas buram di atas meja masing-masing.

"Saya sudah selesai pak!" ujar Abel memecah keheningan. Suara yang tiba-tiba menggema membuat seluruh penghuni menoleh pada sumbernya. Mereka menatap Abel dengan maklum. Yah, sudah tidak mengejutkan jika seorang Amabel Garcia Meidy mengerjakan soal ulangan matematika kali ini dalam kurun waktu kurang dari 30 menit.

Bu Martha yang tak lain adalah guru matematika kelasnya menerawang lembar jawab Abel. Bu Martha mengangguk-angguk. "Oke, kamu boleh pulang." Jawab Bu Martha kemudian kembali berjalan untuk mengecek supaya tidak ada siswa-siswi yang curang.

"Yes!" batin Abel. Abel bergegas mengemasi alat tulisnya yang bertebaran di atas meja. Ia melirik Mia yang sbuk mengoret-oret lebar jawabannya. Abel menyenggol siku Mia. "Apaan?" tanya Mia dengan berbisik. "Gue duluan ya, ada urusan!" kata Abel yang juga ikut berbisik. Mia mengangguk sembari memberi isyarat dengan membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. Abel pun bergegas keluar setelah selesai mengemasi barangnya.

"Harus beli buah dulu!" gumam Abel. Cewek itu setengah berlari. Kelasnya yang ada di lantai dua membuatnya mau tidak mau harus berlari menuju gerbang sekolah. Ia sudah memesan taksi online untuk menjemputnya. Namun, tiba-tiba seseorang menarik tas selempangnya. Membuat tubuh Abel oleng dan akhirnya tersungkur ke aspal.

Abel meringis menahan sakit di sikunya yang mengeluarkan cairan merah. Abel mendongakkan kepala, mencari tahu siapa yang membuatnya terjatuh tadi. Abel tersenyum sinis melihat tiga cewek yang berdiri di hadapannya.

Cindy dan kedua anteknya, Lusi dan Sonya. Abel meghela nafas, mengumpulkan tenaga dan kemudian bangkit dari duduknya. "Ada apa?" tanya Abel. Yah, pertanyaan itu hanyalah basa-basi. Abel sebenarnya pun sudah tahu dengan niat apa Cindy and the genk berlaku demikian padanya.

"Lo kan yang kemarin buang surat cinta gue buat Mario ke tempat sampah?" tanya Cindy yang bersikap superior.

Abel menaikkan sudur bibirnya, "Iya. Toh udah jadi sampah juga. Makanya gue buang." kata Abel.

"Dasar cewek gatal!" cibir Lusi. Ah, Abel rasanya ingin menjambak rambut cewek kuncir loli itu. "Lo mending jauhin aja Mario. Dia udah punya nya Cindy." Kata Sonya. Mendengar ucapan demi ucapan tak masuk akal itu membuat Abel merasa geli sendiri.

"Gue gak mau!" kata Abel dengan tegas. Cewek itu sudah malas meladeni cindy and the genk. Bagaimanapun juga, tujuan utamanya pulang lebih awal adalah untuk menejnguk Mario. Padahal ia sudah menguras otak dan tenaganya untuk mengerjakan soal ulangan matematika dengan lebih cepat. Tapi para siluman ini malah menghadang jalannya.

Abel memutar badannya hendak meninggalkan ketiga cewek itu. Baru beberapa langkah, Cindy berseru, . "Mau ke mana lo? Urusan kita belum selesai ya!". Tentu saja Abel tak mempedulikan Cindy yang meracau di belakangnya dan terus berjalan. Di pikirannya saat ini hanyalah membelikan sesuatu sebagai buah tangan untuk menjenguk Mario yang sakit.

Cindy memegang pundak Abel dan membaliknya paksa dengan kasar. Plak!!! Tamparan mulus mendarat di pipi Abel. Abel terkejut. Pipi nya terasa begitu perih dan panas. Sejenak Abel terdiam untuk menjernihkan isi kepalanya. Berusaha menetralkan emosi yang menggebu-gebu.

Tidak bisa. Orang seperti Cindy harus diberi pelajaran supaya tak berulah lebih jauh lagi. Hari ini ia kena tampar. Kalau dibiarkan bisa-bisa ia akan diremehkan dan menjadi bahan bullyan Cindy and the genk di kemudian hari.

Bukk!

Abel membalas tamparan Cindy dengan kepalan tangannya dengan kuat. "Di sini yang punya tangan bukan lo doang!" kata Abel. Cewek yang selalu tampak manis itu tampak lebih garang dengan sorot matanya yang tajam menatap Cindy.

Cindy yang jatuh tersungkur memegangi rahangnya yang seperti mau copot. Cewek berambut ombre itu hanya duduk tak berani menatap balik Abel. Mungkin karena ia tak menyangka akan mendapat tinju dari Abel. Sedangkan Lusi dan Sonya bukannya menolong kawannya malah mundur perlahan dengan teratur.

Melihat nyali tiga cewek yang sudah ciut itu, Abel bergegas pergi dari sana. Ah, mood nya berantakan. Tapi di satu sisi ia puas karena membuat Cindy and the genk kehilangan keberaniannya tadi. Setidaknya mereka tak akan mengusik Abel lagi nanti.

"Eh, taksi online gue!" gumam Abel kemudian mengambil langkah seribu. Hampir saja ia lupa dengan taksi online yang dipesannya. Untung saja sopir taksi masih berbaik hati menunggu Abel di depan gerbang sekolah.

***

Di sebuah kamar di lantai dua. Tak ada cahaya matahari yang bisa menerobos masuk karena terhalang gorden. Si pemilik kamar memang sudah bangun sejak pagi tadi, namun yang ia lakukan hanya tidur telentang menghadap langit-langit kamarnya.

Mario kembali memejamkan matanya. Kepalanya pening. Suhu tubuhnya sudah menurun, tak seperti tadi malam. Ia juga sudah minum obat dengan teratur. Yang harus ia lakukan saat ini hanyalah beristirahat yang cukup.

Sayup-sayup terdengar suara bel yang tak henti-hentinya berbunyi. Cowok itu mengira itu hanya imajinasinya saja. Mario membuka matanya setelah yakin bahwa suara bel itu adalah suara bel rumahnya.

Mario mengernyitkan dahinya. Ia mengira-ngira siapa yang datang ke rumahnya. Hanya ada beberapa orang yang akan mengunjungi rumah ini. Itu pun bisa dihitung dengan jari.

Mario yang masih tampak lemas beranjak dari tempat tidurnya dan turun untuk membukakan pintu.

"Siang, Rio!" sapa seseorang dengan ramah tamah. Ia tak lain adalah Abel. Cewek itu membiarkan rambut panjangnya tergerai hingga ke pinggang. Abel memasang senyum manisnya sambil memperlihatkan parcel berisi buah-buahan.

Melihat orang yang tak diundang itu tiba-tiba datang ke rumahnya, tanpa pikir panjang Rio segera menutup kembali pintu rumahnya.

"Eh, Rio!" Abel menahan daun pintu itu dengan kaki kanannya.

"Lo ngapain sih ke sini?" tanya Mario masih berusaha menutup kembali pintu rumahnya.

"Kok kenapa sih? Memangnya ada alasan lagi ya selain gue mau jengukin lo?" kata Abel.

"Gue gak butuh dijengukin. Lo pulang aja sana!" usir Mario.

Bibir Abel mengerucut. Cewek itu membuka paksa pintu dengan memanfaatkan kondisi Mario yang masih lemah karena sakit. Mario kalah karena badannya yang teramat lemas.

"Gue gak butuh dijengukin." Kata Mario lagi, namun kali ini dengan nada lebih kalem. Abel menatap wajah Mario yang masih tampak pucat. Mario mengenakan kaos putih dan celana pendek selutut. Terlihat juga kalau cowok itu belum mandi hari ini. Sial. Abel justru ingin mengumpati dirinya sendiri karena sempat-sempatnya mengagumi wajah Mario yang masih tetap tampan walau dalam keadaan sakit.

"Kalau lo gak sakit pun gue bakal tetap ke sini," kata Abel.

"Buat apa? Buang waktu." Kata Mario cuek.

"Rindu itu gak mengenal waktu. Gue bisa rindu sama lo walaupun kita baru tiga detik berpisah." kata Abel dengan kesungguhan.

INFALLIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang