Terluka

19 3 0
                                        


Tawuran siang ini benar-benar mencekam. Batu dengan berbagai bentuk dan ukuran bertebaran memenuhi jalan, termasuk potongan-potongan balok dan kayu seukuran tongkat softball yang teronggok begitu saja.

Ada banyak korban luka dari kedua belah pihak, termasuk aku. Aksi jalanan tersebut bubar setelah aparat kepolisian datang dan dengan dibantu oleh warga sekitar meredam aksi brutal tersebut. Beberapa orang siswa tertangkap, termasuk dengan barang bukti senjata tajam berupa pisau belati, gear set, bahkan samurai. Beruntung, aku berhasil meloloskan diri dari kejaran aparat dan warga yang geram dengan peristiwa itu.

Sore ini aku sedang membersihkan luka dengan alkohol serta cairan antiseptik di ruang tengah. Rasa sakit, pedih dan perih akibat memar kebiruan, bengkak dan aneka bentuk luka terbuka yang sudah sering terlukis di tubuh bukanlah hal baru lagi yang sulit untuk dinikmati rasanya.

Aktivitasku terhenti ketika menyadari kehadiran Rachel di seberang meja. Ekspresi sedih tergambar jelas di wajahnya, namun sorot mata itu terlihat berbeda. Apakah Rachel mengkhawatirkan aku? Tapi kenapa sinar mata itu begitu gelap?

"Chel ..." Suaraku tercekat di tenggorokan, tak menyangka kalau setelah sekian lama Rachel akan mengunjungi rumahku lagi. Rumah yang kutempati seorang diri semenjak kepergian Papa beserta istri barunya. Termasuk dengan kakak perempuanku yang kini tinggal bersama suami dan anaknya di kota sebelah.

Dadaku didorong dengan keras ketika sudah berdiri tegak di hadapannya. Karena tak menduga diperlakukan demikian, tubuhku terhuyung ke belakang, menabrak meja dan menyebabkan berbagai benda yang terletak di atasnya berpindah tempat. Baskom kecil berisi air panas yang sudah menghangat tumpah membasahi lantai, termasuk dengan cairan antiseptik dan alkohol yang botolnya tidak tertutup.

Rasa sakit, pedih dan perih yang sudah cukup berkurang mendadak kembali terasa, bahkan lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Luka di atas luka selalu lebih sakit bila dibandingkan dengan luka baru, bukan?! Mataku nanar memandang Rachel yang terlihat seolah tanpa dosa.

"Kamu kenapa?" tanyaku dengan tatapan tajam setelah kembali berdiri tegak di hadapannya dengan sedikit bersusah payah.

"Aku benci kamu, Rick!"

"Aku sudah tahu, Chel. Semenjak mengenal Arnold dan menjadi pacarmu, aku berubah menjadi musuh besarmu, kan?" jawabku datar. Jika bukan Rachel pelakunya, tentu sudah babak belur kuhajar. Pantaskah menyakiti orang yang justru sedang terluka?

"Dan kejadian hari ini semakin membuatku tak akan pernah bisa memaafkanmu!" Netra coklat terang berbingkai kacamata yang pernah kubelikan untuknya dulu mulai berkaca-kaca.

"Jangan menyusahkan diri sendiri, Chel. Dulu kamu memang pernah beberapa kali menasihati aku agar jangan jadi bad boy, troublemaker yang sering keluar masuk ruang BP. Tak masalah bila tidak bisa memaafkan aku karena tidak mengindahkan nasehat dan peringatanmu. Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Kalaupun tidak baik-baik saja, tak ada seorangpun yang peduli. Ayah dan kakakku sendiri telah pergi dan tak mau tahu apapun tentang aku, apalagi kamu yang hanya kukenal sebagai teman sekolah, yang dulu pernah dekat dan akrab," jawabku sinis, netraku menatapnya tajam.

"Aku tidak menghawatirkan kamu, tetapi Arnold!!" Intonasi suara Rachel mulai meninggi.

"Kamu salah tempat, Chel. Arnold tidak berada di sini, apalagi tinggal bersamaku," jawabku acuh sambil melangkah dan membereskan berbagai benda yang berserakan di lantai.

"Arnold sedang kritis di rumah sakit, Rick. Ia terluka parah akibat tawuran siang tadi." Aku terkejut mendengarnya, sementara tampak satu bulir air mata menetes turun, membasahi pipi mulusnya.

Hadiah Ulang TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang