6. Es Teh Manis

746 148 19
                                    

Langit mendung, awan putih berarak pergi menjauh ketika sang kelabu tiba. Sang bayu bertiup kencang seperti tengah marah, menerbangkan beberapa dedaunan yang tergolek tak berdaya di wajah jalan. Kendaraan berpacu kencang melawan angin, deru suara motor yang saling adu kecepatan tak terbantahkan. Suara berisik gemerisik angin beradu dengan bunyi knalpot juga klakson kendaraan, membuat jalanan sore itu tampak ramai juga sesak.

Tapi, yang dirasakan perempuan bersweater moka ini hanyalah sepi. Deru motor yang beradu dengan angin tak dapat dia dengar, dunianya senyap. Seolah semua suara yang ada dimuka bumi ini telah terserap kedalam inti bumi.

Tangannya menggenggam tas bewarna senada dengan sweaternya itu dengan kencang, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia... tidak pernah merasa sekacau juga sesedih ini. Ia ingat kapan terakhir kali ia bersedih, itu sekitar 4 tahun yang lalu ketika sang papa dan bunda memutuskan untuk berpisah. Rumah tangga yang mereka jalin sudah tak lagi berasas pada cinta, yang tinggal hanyalah perasaan bimbang kala itu.

Ia bukan anak cengeng, dirinya cenderung banyak mengalah. Ia juga bukan tipe anak yang banyak pinta, tapi untuk pertama kali dalam hidupnya ia berlutut sambil menangis. Butir air mata luruh kearah piala lomba tulis cerpen tingkat provinsi yang ia bawa dengan sukacita, namun semesta tak menyambutnya dengan senyum hangat. Kala itu, yang ia dapati adalah papa dan bunda sedang bertengkar, hal yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Teriakan kecewa, erangan frustrasi, suara benda jatuh, itu yang ia dengar kala itu. Dan itu adalah masa ia pertama kalia merasa menjadi manusia paling dikecewakan sealam semesta.

Hari ini, setelah 4 tahun berlalu, ia merasa dirinya yang lama kembali lagi. Ia kembali merasakan sedih yang tak terbantahkan. Hatinya kembali merasakan yang namanya luka. Ini semua berawal dari saat ia pulang dari rumah Jara dan malah bertemu dengan sang papa.

---

"Mau hujan pekok, gue anter aja udah," sahut Jara sambil mengambil kunci mobilnya. Gadis dengan surai panjang bergelombang ini tetap menolak.

"Mama nyuruh lo ke laundry tadi dan itu beda arah sama rumah gue. Santai aja ah, gue juga kepengen lagi naik bis," ujarnya santai sembari memasukkan flashdisk kedalam tas. Itu semua berisi file materi daei kelas 10 yang sekiranya dapat membantu mereka.

"Serius? Apa gue telfonin Heru?" tanya Jara cemas. Bagaimana tidak? Diluar mendung dan jika menaiki bis harus melewati beberapa perhentian dulu, akan sangat memakan waktu.

"Gak usah, dia lagi belajar. Besok katanya mau ulangan ekonomi," ujarnya segera menolak cepat.

"Serius? Kalau gitu lo hati-hati, ya? Sampai rumah kabarin gue," ujar Jara sembari menatap temannya yang sudah berjalan sambil melempar kiss bye kearahnya.

"Siap, kapten!" ia melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti karena omelan bawel sang teman.

Kakinya menapaki jalanan dengan santai, hujan bukanlah suatu penghalang terbesar dalam hidupnya. Matanya melirik kearah beberapa etalase yang terpajang dibalik kaca toko, kemudian beralih kepada orang yang lalu-lalang bergegas ingin pulang. Berbeda dengan dirinya yang tampak santai.

Matanya terus memproyeksi satu-satu manusia disekitarnya, hingga netra karamelnya menangkap seseorang yang terasa akrab. Punggung dan postur tubuh itu terasa familiar. Hingga semakin mendekat, iris mereka yang serupa bertubrukan.

Sesaat, ia merasa waktu benti dan gravitasi di bumi macet. Tubuhnya menegang tatkala orang yang kerap ia sapa dengan 'papa' itu mendekat. Sebutan itu terasa asing baginya, ia tak pernah 'lagi' dekat dengan seseorang berpanggilan 'papa'.

Ice Cube ✓Where stories live. Discover now