Wina pulang kerumah barengan sama sang bunda yang baru turun dari mobil seseorang. Kebetulan tadi dia pulang bersama Jihan dan Jara karena Heru harus rapat tim basket. Terlihat bunda yang berbincang-bincang bersama seorang pria, dari sepenglihatan Wina sih lumayan tampan.
Apa pacar baru bunda, ya?
"Assalamualaikum, bun," Wina menghampiri bundanya, kemudian salim.
"Waalaikumsalam, eh sudah pulang," balas Bunda Erina dengan senyum yang luar biasa menenangkan.
"Siapa, bun?" tanya Wina pelan.
"Oh iya, ini Om Kuntoro. Dia teman kuliah bunda dulu, tadi ketemu di butik," jawab bunda, Wina segera salim sama Om Kuntoro itu sebelum akhirnya masuk rumah duluan.
Ini sudah seminggu lebih sejak Bu Nurma memintanya ikut lomba menulis cerpen, Wina masih belum memberikan jawabannya. Ia ingin meminta pendapat bunda, tetapi ia juga takut jikalau bunda tahu bahwa Wina sudah berhenti menulis sejak kejadian itu.
"Kok tadi pulang bersama Jara?" tanya bunda ketika melihat Wina yang masih merebahkan diri di sofa ruang tengah. Terlalu malas untuk naik ke kamarnya.
"Heru ada rapat basket, bun," ujar Wina.
"Oh..." bunda hanya ber-oh ria, Wina menimbang-nimbang apakah ia harus memberi tahu bunda apa tidak.
"Bunda," panggil Wina.
"Apa?" sahut bunda yang tengah meletakkan beberapa bahan didalam kulkas, kebetulan ruang tengah dan dapur itu terhubung.
"Hm, itu... aku dapat tawaran lomba tulis cerpen untuk mewakili sekolahku. Bagusnya aku terima apa enggak? Bunda tahu kan aku udah kelas tiga," ujar Wina pelan. Bunda tampak memperhatikan Wina sebelum akhirnya lanjut memasukkan bahan kedalam kulkas.
"Bagus dong kalau begitu, terima aja kalau kata bunda. Toh, ini kesempatan bagus. Kali aja nanti sertifikatnya bisa digunakan untuk masuk kuliah," jawab bunda realistis. Wina jadi mikir kalau ada benarnya juga. Selain ingin menerbitkan buku—yang sudah lama tak terpikirkan lagi—Wina ingin menjadi guru bahasa inggris.
"Tapi bun... aku udah lama gak nulis cerpen atau puisi. Terakhir kali 4 tahun yang lalu," cicit Wina, bunda berhenti memasukkan bahan kedalam kulkas, kemudian menatap putri bungsunya yang sedang menunduk.
"Kamu berhenti menulis karena bunda?" tanya bunda pelan.
"Enggak, bukan gitu," geleng Wina cepat, tak ingin bunda salah paham.
"Terus?"
"Aku cuma mikir kalau menulis selalu membuatku ingat kejadian beberapa tahun lalu itu. Makanya aku berhenti menulis," ujar Wina kali ini menunduk lebih dalam. Bunda segera menghampiri putrinya kemudian memeluk Wina.
"Bunda minta maaf ya kalau kejadian itu ngebuat kamu merasa takut. Ngebuat kamu juga menjauhi apa yang kamu sukai. Bunda minta maaf banget," ujar bunda sesekali mencium pucuk kepala putrinya.
"Enggak bun, itu bukan salah bunda. Itu semua cuma ketakutanku," ujar Wina lagi.
"Bunda tahu, nak. Tapi sumber ketakutanmu dari mana jika bukan dari bunda juga papa? Seharusnya kami menyambut kamu yang menang saat itu, bunda benar-benar minta maaf," ujar bunda lagi. Wina terdiam karena tak ada yang bisa ia bantah, "tema cerpennya apa?"
"Keluargaku. Untuk menyambut hari keluarga nasional," jawab Wina, bunda semakin ingin menangis dibuatnya.
"Enggak apa-apa seandainya kamu gak mau ikut, bunda gak akan maksa. Tapi, ketakutan itu harus dihadapi. Kamu harus mampu menghadapi apa yang ada didepan kamu, jangan lari. Namun, seandainya kamu juga tidak bisa, jangan dipaksa. Atau semuanya akan sia-sia. Jika menurutmu kamu mampu, lakukan. Jika tidak, biarkan," nasehat bunda, Wina hanya mengangguk. Tampaknya ia membutuhkan waktu semalam lagi untuk berpikir.
YOU ARE READING
Ice Cube ✓
Teen Fiction#10ChaptersProject seri #4 Kisah Wina yang bertahan dengan cowok kayak es batu bernama Heru. ©winniedepuh, 2020