10. Es Batu

943 150 11
                                    

Siang itu sejuk. Matahari tidak serakah dengan menguasai langit, awan-awan putih bagaikan kapas memenuhi permukaannya. Birunya wajah semesta tertutup oleh putih, meski biru masih muncul disela-sela putih.

Angin berembus sedang. Tidak kencang, tidak pula lambat. Rasa-rasanya sangat pas untuk tertidur saat ini.

Wina mengeratkan jaketnya, langkahnya pelan memasuki bangunan berbau obat-obatan ini. Ia menuju lantai lima, dimana ruang yang ia tuju berada.

Gadis dengan rambut hitam tebal itu mengetuk pintu kamar sebelum membukanya perlahan. Tampak seorang wanita paruh baya sedang mengomel disana.

"Eh, Wina. Kamu dateng lagi?" tanya wanita itu disahut anggukan Wina.

"Iya, Ma," balas Wina pelan.

"Kalau gitu mama titip anak nakal ini ya, Win? Adiknya belum dijemput nih. Suruh makan ya, bandel banget," ujar wanita itu. Wina mengangguk, sementara orang yang berbaring diatas ranjang itu hanya memutar bola matanya malas.

"Iya, ma. Hati-hati," balas Wina.

Wanita paruh baya itu segera keluar dari kamar inap anaknya. Wina segera menatap pemuda yang masih sibuk main game di ponselnya itu. Wina melepas jaketnya dan segera menuju nampan makanan yang tampak belum disentuh sama sekali.

"Kok belum makan?" tanya Wina.

"Belum lapar, nanti aja."

"Makan dong, kalau gak gimana sembuhnya?" tanya Wina.

"Yang luka itu kakiku, kalau belum makan gak akan ngaruh," ujar pemuda itu. Rasanya Wina mau mukul aja kakinya yang patah itu pakai sendok sekarang.

"Sok tahu. Emang kamu dokter?" ujar Wina lagi.

"Iya deh, tau mah yang calon dokter," ujar pemuda itu lagi tetap sibuk menatao layar ponselnya. Wina diabaikan—lagi.

"Heru, aku tuh disini lho. Kamu kok malah main handphone. Disuruh makan malah males, aku tuh khawatir ini kamu gak sembuh-sembuh. Kenapa sih keras kepala banget? Udah tingkah kaya es batu, kepalanya ikutan keras kaya batu," ujar Wina lagi terlanjur kesal.

Mendengar ucapan sang gadis, Heru segera meletakkan ponselnya di nakas, dan meraih sendok dipegangan Wina.

"Jangan ngomong gitu, aku gak suka dengernya," balas Heru terus makan.

"Aku sebel sama kamu. Aku tuh khawatir tapi kamu seolah gak peduli, bahkan sama diri kamu sendiri," ujar Wina sambil menunduk. Mungkin kata-katanya tadi sudah keterlaluan sehingga dingin yang sudah biasa ia rasakan dari Heru menjadi tambah dingin.

"Iya, aku tahu. Maaf, ya?" ujar Heru terus mengacak rambut Wina dengan sayang.

---

Sekarang mereka lagi duduk di bangku taman rumah sakit. Kebetulan cuaca sedang bersahabat. Heru sibuk memperhatikan Wina yang asik bercengkrama dengan beberapa anak yang sedang bermain di taman.

Heru tahu betapa sibuknya Wina dengan kuliahnya, terlebih lagi Wina berasal dari fakultas kedokteran. Tapi ia tetap menyempatkan diri menjenguk Heru dirumah sakit.

Sebenarnya ia tidak luka serius, hanya beberapa luka kecil di kakinya sebab jatuh dari motor. Bukan luka yang parah, tetapi sang mama dan Wina berlagak seperti ia akan meninggal besok saja.

Yah, meski umur tidak ada yang tahu.

"Sedih banget, adik tadi punya kanker kaya bunda. Tapi dia kanker hati," ujar Wina sedih saat menghampiri Heru yang duduk dikursi taman.

"Hm, iya," balas Heru.

"Bunda kira-kira lagi apa, ya? pasti udah gak sakit lagi, kan?" ujar Wina.

Mendadak ia rindu pada bunda yang meninggalkannya tepat disaat ia diterima sebagai mahasiswi baru. Ternyata sudah dua tahun sejak perginya bunda. Tanpa kabar berita, ia pergi meninggalkan Wina sendiri. Bunda diam akan kanker rahim yang dideritanya selama ini. Membuat Wina begitu terpukul.

"Bunda lagi merhatiin kamu dari surga. Kalau kamu sedih ntar bunda ikutan sedih," ujar Heru. Wina segera menampilkan senyum paling lebarnya.

Jika orang lain melihat, mungkin senyum itu tampak senyum paling bahagia yang pernah mereka lihat. Tapi, tidak bagi Heru, itu merupakan senyum paling menyedihkan dari gadisnya.

"Heru."

"Hm?"

"If nobody loves you, i'll be your nobody," ujar Wina sambil menatap Heru.

"Win, kebalik. Yang harusnya ngomong gitu aku."

"Heru ih, kalau cowo lain mah diginiin melting. Dasar es batu," balas Wina sebal.

Heru hanya tertawa kemudian meraih Wina kedalam pelukannya.

"Gak apa aku jadi es batu. Es-es yang biasa kita makan juga gak bakal lengkap kalau gaada es batu," ujar Heru.

"Bisa dimasukin ke kulkas aja biar dingin."

"Hm."

"Hehehe, bercanda."

Wina tertawa sambil mengeratkan pelukannya pada pemuda itu.

"Heru, makasih udah menjadi es batu sebagai pelengkap dikehidupan aku."

"Sama-sama."

"Terimakasih."

"Iya, sama-sama."




End









yeayyy akhirnya #10ChaptersProject seri #4 tamatttt

ketemu lagi di seri kelima atau book wonruto lainnya (kalau aku ada niat bikin sih) hehe

with love,
win 🌸

Ice Cube ✓Where stories live. Discover now